Conversations with the Earth

Endapan mineral di Finlandia dan Swedia

Perjalanan saya ke lingkaran kutub utara

Atlas of ore minerals: my collection

Basic information of ore mineralogy from different location in Indonesia

Sketch

I always try to draw a sketch during hiking

Apa itu inklusi fluida?

Inklusi fluida adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan adanya fluida yang terperangkap selama kristal tumbuh. Gas dan solid juga bisa terperangkap di dalam mineral.

Situ Cisanti di Pengalengan, Bandung

50 km dari Bandung, Situ Cisanti terkenal karena menjadi sumber mata air sungai Citarum

Sunday, July 14, 2013

Apa arti sebuah cita-cita?

Cita-cita bagi banyak orang merupakan hal yang menjadi angan-angan, yang sering kali digantung tinggi-tinggi di atas awan, atau digantung langit. Namun, saking tingginya cita-cita itu digantung, sehingga kadang orang mengambil jalan pintas untuk mencapainya, atau bahkan menyerah sebelum cita-citanya tercapai.

Bagi saya, cita-cita bukan hal pencapaian, namun sebuah proses. Apalah arti pencapaian itu kalau kita tidak menikmati proses-nya, yang sering kali berliku, naik turun, bahkan sering membuat orang jatuh bangun. Kenikmatan dari proses itu yang membuat "cerita" dari perjalanan itu menjadi indah untuk dikenang, kemudian untuk diceritakan dan dibagi dengan siapa pun di masa mendatang. 

Seperti saya yang saat ini menggemari nikmatnya bersusah payah mengayuh pedal, pelan-pelan, untuk mencapai tempat yang saya tuju. Pedal akan terkayuh sangat pelan ketika menanjak, dan bisa berputar sangat kencang ketika menemui turunan.
Atau seperti para pendaki gunung, yang ingin mencapai puncak gunung di akhir petualangannya. Hemm,,, walaupun sepertinya kurang pas, karena sering saya jumpai beberapa orang pendaki memilih bukan puncak yang menjadi tujuan utama, namun sampai batas apa dia mampu mendaki. Tidak salah, itu juga betul kok.
Cita-cita kadang bisa menjadi absurd, kalau kita tidak menciptakan titik akhir dari pencapaian kita, namun apa salahnya kita selalu menyiapkan rencana cadangan di balik rencana utama kita, untuk mencegah kekecewaan yang sangat berlebihan ketika kita gagal mencapai cita-cita tersebut, karena kadang kita sangat fokus terhadap hasil, bukan proses.Apalah artinya kalau kita tidak menikmati perjalanan yang sudah kita rancang dari jauh hari?


Dalam proses kuliah, nilai kadang kali menjadi tolok ukur keberhasilan dalam proses kuliah. Atau kelulusan dari siswa SD, SMP maupun SMA, yang ditentukan dalam proses UAN. Proses itu bukan lah yang paling sempurna dan akan selalu terjadi perdebatan mengenai hal tersebut, selama orang memandang dari perspektif yang berbeda. Sama ketika orang yang buta dan bercerita tentang binatang gajah, ada yang bilang gajah itu kurus karena dia memegang buntut,ada yang bilang gakah itu panjang karena dia memegang belalai, atau tipis karena dia memegang telinga. Selama kita tidak berada di satu titik yang sama, pendapat itu akan selalu berbeda-beda.

Biarkan perbedaan itu tetap ada supaya ada diskusi. Biarkan si anak memilih cita-cita nya, dan orang tua harusnya membantu mengarahkan, bukan malah memaksakan.

Hal ini yang membuat saya mencoba untuk lebih menikmati pencapaian untuk menggapai "cita-cita" itu, bukan dengan mengambil jalan pintas supaya cita-cita itu langsung terwujud. Tidak ada bangunan tinggi yang dibangun dalam sekejap seperti kisah Sangkuriang, Candi, maupun kisah-kisah rakyat dari berbagai daerah. Bangunan tinggi selalu dibangun dengan pondasi yang kuat, supaya kuat di kemudian hari. Mengutip dari pepatah asing, 

- Even tall building, build from the ground - 

Saya sendiri pun belum selesai mencapai cita-cita saya, karena saya masih harus melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi lagi, kemudian terus melanjutkan perjuangan, yang belum akan terhentikan langkahnya.

Share:

Wednesday, July 10, 2013

Analisis Mineral Butir, Derajat Liberasi, Tekstur Mineral dan Kadar Mineral

Bagi orang-orang yang banyak berkutat pada mineral, tentu tak asing mendengar istilah analisis mineral butir, atau yang disebut sebagai grain counting. Ketika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia pun, maknanya tidak jauh dari maksud sebenarnya. Grain adalah butiran, counting adalah menghitung butiran mineral. Jika diartikan, maka grain counting adalah salah satu metode yang digunakan untuk mengetahui kadar dari suatu sampel (konsentrat mineral berat, sayatan poles, maupun sayatan tipis), dengan membandingkan antara persen volume suatu mineral tertentu terhadap mineral secara keseluruhan. 

Umumnya analisa ini dilakukan untuk mendeteksi mineral-mineral logam, yang mempunyai densitas yang lebih besar dibanding mineral pengotor. Cara untuk mendapatkan mineral berat dapat dilakukan dengan pengkonsentrasian mineral berat seperti dengan jig, flotasi, maupun yang paling sederhana, dengan pendulangan. Sebagai contoh, kuarsa mempunyai nilai SG 2,59-2,63, akan sangat mudah dipisahkan dengan magnetit yang mempunyai SG 5,17-5,19, dengan pirit yang mempunyai SG 4,95-5,10, atau pun dengan emas yang mempunyai SG 19.

Kembali kepada grain counting, apa yang akan digunakan sebagai perhitungan? Pertama-tama, kita harus mengenal konsep mineral dengan butir bebas dan mineral dengan butir terikat. Mineral dengan butir bebas artinya mineral yang akan kita amati, telah terliberasi/ terbebaskan dan tidak berikatan dengan mineral lain. Adanya proses kominusi (penghancuran) dan liberasi bertujuan untuk memisahkan mineral berharga dengan mineral pengotornya pada ukuran yang optimal (mineral liberation). Rumus dari derajat liberasi adalah:
Keterangan :
α = derajat liberasi
NA = jumlah butir mineral A
SG = Specific Gravity
Sebagai contoh gambar liberasi pada mineral sulfida. Pada kasus 1, mineral sulfida akan mudah dibebaskan, dibandingkan pada kondisi 2, dimana mineral sulfida berada pada kondisi disseminated atau menyebar. Begitu pula ketika mineral sulfida muncul sebagai inklusi, maka perlu dilakukan adanya pemisahan hingga didapatkan butir sulfida yang dapat dibebaskan dari mineral pengotornya.(http://technology.infomine.com/enviromine/ard/Images%20Prediction/Sulphide%20Liberation.gif). 
Analisis grain counting dilakukan dengan cara menghitung jumlah butir tiap jenis mineral yang ditebarkan pada area-area berbentuk bujur sangkar memiliki luas area yang sama (lima atau tiga kotak) dan tersusun secara diagonal. Metode yang umum digunakan adalah metode 5 kotak untuk butiran yang relatif kasar dan metode 3 kotak untuk butiran yang relatif halus.
Metode 3 kotak (2.5 cm x 2.5cm) dan 5 kotak (1cm x 1cm)

Sebelum dilakukan perhitungan, perlu dilakukan sizing ukuran dari mineral, dimana ukuran mineral harus relatif seragam satu sama lain. Butiran yang akan di counting harus memiliki ukuran yang relatif seragam atau berasal dari satu fraksi ukuran tertentu, dengan asumsi bahwa butiran yang berasal dari fraksi ukuran yang sama akan memiliki volume yang sama, sehingga jika diketahui jumlah butiran masing-masing mineral dari analisis grain counting, kemudian berat jenisnya diketahui, maka hasil perkaliannya analog dengan berat masing-masing mineral, dengan demikian kadar masing-masing mineral dalam sampel dapat dihitung dalam % berat.
Berikut beberapa contoh mineral yang pernah saya analisa untuk keperluan analisis mineral butir pada konsentrat mineral dulang.

Mineral magnetit berwarna kehitaman dan mineral silika yang berwarna putih kusam  (sampel dari Blitar, Jawa Timur)
Mineral magnetit berwarna kehitaman dan mineral silika yang berwarna putih kusam, tampak mineral emas berwarna emas (sampel aluvial dari Sulawesi Tenggara, Jawa Timur)
Mineral emas yang teridentifikasi dari sampel konsentrat aluvial  (lokasi sampel Bangka Belitung)
Mineral zirkon, Ilmenit sebagai mineral utama, serta mineral titanit berwarna orange-kemerahan sebagai mineral jejak (lokasi sampel Bangka Belitung)
Emas aluvial bersama-sama ilmenit dan kuarsa (lokasi sampel Sulawesi Tenggara)

Amstutz, 1961 membagi klasifikasi geometri untuk tekstur mineral dan karakteristik liberasinya (dikutip dari http://www.cps-amu.org/sf/notes/lect12.htm)
a. Texture/Interlocking: Equigranular, straight, rectilinear, cuspate margins. Simple locking (Fig 1).
Liberation Properties: Fairly easy liberation. Common occurrence especially in orthomagmatic and highly metamorphosed and recrystallized ores. Also in ores showing successive depositional sequence.

b.Texture/Interlocking: Mutually curving boundaries with negligible interpenetration. Simple locking (Fig 2).
Liberation Properties: Fairly easy liberation. Common occurrence in simultaneously crystallized ores where interfacial free energies are similar.

c. Texture/Interlocking: Mottled, spotty, careous, with partial penetration. Relatively simple locking (Fig 3).
Liberation Properties: Fairly easy liberation. Common occurrence in ores where interreplacement processes have been active.

d. Texture/Interlocking: Graphic, myrmekitic, visceral locking. Deep micropenetration (Fig 4). 
Liberation Properties: Complete liberation difficult or impossible. Not common as a major texture in ores. Produced by exsolution and replacement. Eg. Galena/sphalerite and chalcocite/bornite.

e.Texture/Interlocking: Disseminated, drop like, emulsion, eutectoidal locking. Finely dispersed phases (Fig 5)
Liberation Properties: Complete liberation difficult or impossible; chemical treatment often required. Common occurrence by exsolution (left) Au/arsenopyrite, chalcopyrite/sphalerite; by replacement (right) pyrite/sphalerite.

f. Texture/Interlocking: Intergranular rim; coating mantled, enveloped, atoll-like locking (Fig 6).
Liberation Properties: Liberation may be difficult if free grain is continuously enveloped by layer. Not uncommon, often formed by replacement reaction. Eg. Hematite film on gold; chalcocite or covellite on pyrite, galena or sphalerite.

g. Texture/Interlocking: Concentric, spherulitic, scalloped, colloform-layered locking (Fig 7).
Liberation Properties: Liberation fairly difficult or difficult; common occurrence in Fe, Mn, and Al ores. Also U (pitchblende) intergrained with sulfide. Usually associated with colloidal precipitation.

h. Texture/Interlocking: Planar, lamellar, sandwich-type locking. Lamellae may vary in size (Fig 8).
Liberation Properties: Liberation fairly easy to variable. Produced by exsolution (Eg. Cubanite/chalcopyrite, ilmenite/magnetite). Also by replacement (Eg. Magnetite and hematite).

i. Texture/Interlocking: Reticulate (net-like) boxwork. Finely interpenetrating locking (Fig 9).
Liberation Properties: Liberation variable to difficult. Common occurrence by replacement (Eg.bornite/chalcopyrite, anglesite/covellite/galena). Also by exsolution (Eg. hematite/ilmenite/ magnetite).

Follow me: @andyyahya
Share:

Friday, July 5, 2013

‘Gunung Gamping’, Contoh Buruk Eksploitasi Karst (Budi Brahmantyo)

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Artikel box pada “Geologi Linewatan” Geomagz Vol. 3 No. 2 Maret 2013

Setelah perjalanan panjang langlangbumi (geotravel) dari Bandung, Tasikmalaya, Ciamis dan menembus perbatasan Jawa Barat – Jawa Tengah ke Majenang dan Wangon, beristirahat di hotel kecil di Purwokerto merupakan anugrah tak ternilai. Energi baru terisi kembali untuk melewati hari kedua langlangbumi yang rencananya akan menyusuri jalur lintas selatan Jawa Tengah hingga Yogyakarta.

Di hari kedua, setelah berhenti di beberapa objek seperti di Jembatan Serayu, Rawalo, singkapan lava yang terrendam Kali Tambak, Gombong, Karanggayam, Sokka dan Kali Lukulo, menjelang sore iring-iringan mobil memasuki batas kota Yogyakarta. Teringatlah satu “tugu” pengingat tamaknya industri kapur. Menjelang pudarnya cahaya Matahari, akhirnya mampirlah kami ke suatu tempat yang tidak jauh dari jalur utama, tetapi seolah-olah terpencil dari perhatian, Tugu Gunung Gamping.



Gunung Gamping menjadi inspirasi bagi saya dalam perjuangan menyelamatkan karst Citatah, Bandung Barat di awal hingga pertengahan dekade 2000. Pencarian bermula dari penemuan dokumen tua tak sengaja saat membereskan satu lemari buku di Laboratorium Geologi Rekayasa di Prodi Teknik Geologi ITB. Tersembullah satu cetakan berukuran A5 berjudul “Gunung Gamping, Sebelah Barat Jogjakarta.” Cetakan yang telah menguning itu diterbitkan oleh Pusat Djawatan Geologi Bandung dan dikeluarkan “Pada Peringatan 200 Tahun Kota Jogjakarta,” tertanggal Bandung, 7 September 1956. Masih dengan ejaan lama. Tidak tercantum nama penulis selain Kepala Pusat Djawatan Geologi.

Isinya merupakan keprihatinan Pusat Djawatan Geologi akan satu warisan geologi di Gunung Gamping. Di dokumen tersebut disebutkan perihal catatan Junghuhn yang disertai sketsa indah, dimuat di Java Album 1849, suatu perbukitan karst luas dengan bukit-bukit gampingnya mencapai ketinggian 150 kaki, atau lebih dari 50 m, dari permukaan tanah. Menurut Junghuhn pula, pada 1883 dikeluarkan suatu aturan yang disebut “pranatan” yang membolehkan penggalian batugamping. Maka kota Yogyakarta pun terbangun dengan sumbangan kapur dari Gunung Gamping yang hanya berjarak 4 km dari pusat kota itu. Selain itu, diperkirakan kebutuhan tepung gamping untuk pemurnian gula ikut menyumbang musnahnya Gunung Gamping.


Situasi “angker” beberapa tahun sebelumnya yang dikaitkan pada satu gua yang dipercayai sebagai pesanggrahan Sri Sultan Hamengkubuwono I di Ambarketawang, Gunung Tlogo, tidak menjadikan penggalian kapur berhenti. Akhirnya penggalian yang terus menerus itu hanya menyisakan bongkah setinggi 10 m di tahun 1950-an. Dalam dokumen itu, dua foto hitam-putih yang diambil oleh geologiwan dari Swis, Dr. Werner Rothpletz pada tahun 1956, memperlihatkan bongkah batugamping yang tersisa tampak tersendiri di antara dataran pesawahan.

Kini yang yang tampak hanyalah bongkah berukuran kira-kira 2 x 10 m dan tinggi 10 m. Persis seperti foto Rothpletz 1956. Bedanya, pagar tinggi mengelilinginya dengan sebuah plank bertuliskan: Cagar Alam Gunung Gamping 0,015 Ha dikeluarkan 16 Desember 1989 melalui SK Menhut No. 758.Kpts.II-1989. Rupanya “desakan” Pusat Djawatan Geologi pada tahun 1956 untuk melindungi sisa-sisa terakhir Gunung Gamping yang berumur Eosen dan tergolong langka tersebut, baru terwujud 33 tahun kemudian!




Foto Rothpletz 1956 dan insert kondisi tahun 2013 sbg bangkah yg dilindungi


Tentu keputusan perlindungan itu baik walaupun sangat sangat terlambat! Gunung Gamping menjadi contoh buruk bagaimana kita selalu terlambat melindungi warisan atau pusaka geologi. Tindakan muncul setelah penyesalan ketika semuanya musnah dan hanya meninggalkan puing-puing saja. Sebagai penghiburan yang kecut, puing-puing ini hanya menjadi tugu pengingat bahwa dulu ada perbukitan karst luas yang bernama Gunung Gamping.

(Budi Brahmantyo, Teknik Geologi ITB)., dikutip dari 

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Menurut pendapat saya, tidak semua penambangan itu berdampak negatif bagi lingkungan, namun tidak dipungkiri, tidak semua penambangan telah dikelola dengan baik. Kawasan karst, yang banyak banyak diperdebatkan oleh banyak ahli mengenai status kegiatan nya, memang harus dikelola dengan sangat berhati-hati. Penambangan yang kelewat batas, sebenarnya bisa dipandang dari beberapa aspek, karena akan menyangkut prinsip ekonomi "supply, demand, dan regulasi".

Adanya pembangunan yang bersifat intensif di seluruh aspek kehidupan, baik sebagai sarana konstruksi, perumahan, jalan raya, membuat permintaan akan semen meningkat. Hal ini berimplikasi pada target produksi yang meningkat, sehingga eksploitasi dapat menjadi berlebihan. Namun, eksploitasi ini haruslah berwawasan lingkungan, dimana tidak semua kawasan batugamping dapat ditambang. Kawasan karst, yang memiliki karaktersitik banyak memiliki rongga dengan bentuk terumbunya yang indah, perlu untuk dilindungi keberadaaannya.

Tambang gamping batukumbung, Tuban



Share:

Tuesday, July 2, 2013

Kalsit, marmer, kuarsa,batu mulia, bagaimana membedakannya?



Saya mendapat kesempatan berkeliling di Padalarang untuk meninjau lokasi pengabdian nmasyarakat dari dosen Teknik Pertambangan ITB kepada masyarakat di sekitar tambang, yang difasilitasi oleh LPPM. Memang ini bukan pertama kalinya saya berkesempatan untuk "berjalan-jalan" di Padalarang, karena sebelumnya, saya sudah beberapa kali mengantar adik kelas saya untuk mempelajari struktur dan morfologi pada kuliah Pemetaan Eksplorasi.


Apa oleh-oleh kali ini? Biasanya, sering kali jika kita berjalan-jalan di Padalarang, kita akan melihat kenampakan Goa Pawon, Gunung Masigit, Pasir Bancana dari jalan raya. Atau kita bisa melihat variasi batugamping, baik batugamping yang klastis maupun batugamping yang menyerupai terumbu. Kali ini saya mendapati mineral kalsit (rumus kimia: CaCO3), merupakan kelompok batuan karbonatan, yang mempunyai kekerasan Mohs skala 3. Apa sih yang menarik dari batu ini, perasaan sering kita jumpai di dekat laut. Masih ingat dengan terumbu karang yang ada di pinggir laut? Nah, kalau masih ingat, sekarang bayangkan, kenapa ya bisa ada komplek batu gamping di Padalarang, padahal kan jarak dengan laut sangat jauh? hmmmm,,, kalau kita flash back, ternyata Padalarang dulu merupakan sebuah basin atau cekungan, dimana dulu sempat mengalami penurunan permukaan, terendam laut, baru kemudian terangkat seperti sekarang. Hal ini yang mendasari mengapa kita bisa menjumpai fosil kerang di Padalarang.
Kenapa saya ulas mineral yang umum dijumpai ini? Saya masih terkesan dengan belahan-nya yang terlihat jelas pada ketiga arahnya, dengan sistem kristal trigonal, kilap kaca, dengan menunjukkan adanya birefringence atau rangkap ganda. Kalsit mempunyai belahan konkoidal atau jelas, dengan warna gores putih. Kalsit mempunyai polimorfisme dengan mineral aragonit, dimana umumnya aragonit dibedakan karena mempunyai bentuk yang menyerupai terumbu.


Bagaimana membedakan kalsit dengan mineral lain? Seringkali kita susah membedakan antara kalsit dengan kuarsa, karena keduanya kadang-kadang sedikit membingungkan satu sama lain. Hal paling mudah yang harus kita lakukan, adalah dengan mencari asam klorida (HCl), dan meneteskannya ke atas mineral yang akan kita cek. Jika mineral tersebut bereaksi dengan mengeluarkan buih, maka mineral yang kita identifikasi tersebut adalah kalsit, karena terjadi reaksi antara kalsium karbonat dengan asam klorida. Namun, jika tidak bereaksi dengan HCl, maka mineral yang kita identifikasi adalah kuarsa. Reaksi antara kalsit dengan HCl adalah sebagai berikut:

CaCO3(s) + 2 HCl(aq) --> CaCl2(aq) + CO2(g) + H2O(l)

Sering kali, kita tidak membawa HCl ke lapangan, sehingga kita tidak dapat menentukan apakah mineral tersebut kalsit atau kuarsa. Maka, kita dapat memanfaatkan sifat fisik lain yang berbeda kontras, yaitu dengan menggunakan skala kekerasan Mohs. Kalsit mempunyai kekerasan 3, sedangkan kuarsa mempunyai kekerasan 7. Sehingga kita perlu mencari mineral atau bahan lain yang mempunyai kekerasan antara 3-7, kemudian menggoreskannya. Sebagai contoh, kita dapat menggunnakan belahan kaca yang mempunyai kekerasan relatif 4-5, atau pun paku besi yang mempunyai kekerasan 5-6. Jika mineral tersebut dapat menggores mineral yang kita cari, maka confirm , mineral tersebut adalah kalsit.

Di tengah maraknya batu mulia ini, sifat kekerasan di atas dapat digunakan untuk mengetahui batu mulia yang akan kita cek itu asli atau tidak. Pada beberapa kasus, karena kadang kita menjumpai batu yang sangat menarik ketika sudah dipoles, namun ternyata, batu yang kita jumpai bukan merupakan batu yang asli. Sebagai contoh, lihat gambar batu di bawah ini. Melihat perlapisannya, sangat menarik bukan? Tertarik untuk menjadikan sebagai batu mulia? Hmm, batu yang anda lihat itu adalah marmer, yang mineral asalnya adalah kalsit, bukan kuarsa atau pun mineral lain yang bisa dijadikan sebagai batu mulia pada kebanyakan. Jadi, tidak semua batu bisa dijadikan batu akik.



Marmer dari Nusa Tenggara Timur (http://www.kidnesia.com/var/gramedia/storage/images/kidnesia2014/indonesiaku/teropong-daerah/nusa-tenggara-timur/hasil-tambang/marmer/541423-1-ind-ID/Marmer.jpg)






Yup, sekian dulu oleh2 cerita tentang kalsit, marmer dan cara mengenalinya, nanti kita sambung lagi di tulisan yang lain. Salam hangat untuk kemajuan pendidikan di Indonesia.







Gamping terumbu (sebelah kanan gambar) dan gamping klastis/ masif (sebelah kiri gambar)


Bukit-bukit gamping terumbu di Cipatat, Padalarang


Gunung Masigit dan Pasir Bancana tampak dari kejauhan

Berikut foto-foto lain yang saya ambil, bukan dari Cirawa, Padalarang, namun dari sekitar Cipatat, Padalarang, ketika saya menemani adik-adik tambang eksplorasi ITB melakukan ekskursi kuliah Pemetaan Eksplorasi.























Pisau komando, Citatah


Bacaan lain yang bermanfaat tentang bukit kapur sepanjang Padalarang:


1.http://geologi.iagi.or.id/2010/06/17/kawasan-karst-citatah-bandung-memasuki-babak-baru/


2.http://cekunganbandung.blogspot.com/2010/10/karst-citatah-great-barrier-reef-di.html


3.http://blog.fitb.itb.ac.id/BBrahmantyo/?p=54





follow me: @andyyahya


GeoEducative Blogspot



















Share:

Monday, July 1, 2013

Bikecamping di Situ Gunung, Sukabumi




Kamis malam itu, susah rasanya menutup mata untuk mempersiapkan camping besok pagi. Entah kenapa, tiap ingin menikmati indahnya alam dengan sepeda, saya selalu tidak bisa tertidur pulas, malah memikirkan bagaimana perjalanan besok. Saya berencana untuk mengayuh pedal saya ke arah Barat dari Bandung, menuju sebuah danau di Taman Nasional Gede Pangrango, yaitu Situ Gunung.

Pukul 8 pagi, saya bertiga dengan kedua teman saya memulai perjalanan dari Gerbang Ganesha, Institut Teknologi Bandung. Saya memakai sepeda tua yang sudah dipasang rak dan pannier untuk membawa peralatan makan dan tidur, sedangkan kedua teman saya memakai sepeda gunung. Bikecamping, begitu istilah yang sering dipakai oleh komunitas pencinta bersepeda sambil membawa barang-barang sambil camping di lokasi yang akan dituju. Dari hasil penelusuran saya, perjalanan dari Bandung akan menempuh sekitar 120 km, dan karena saya ingin menikmati perjalanan ini, kami tidak mempermasalahkan kapan kami akan tiba, yang penting kami bisa sampai di lokasi yang kami tuju.

Perjalanan kami mulai menelusuri ke arah Padalarang, yang  didominasi oleh truk yang mengangkut batu kapur. Perjalanan terasa cepat, karena jalur yang kami lalui merupakan jalan raya antar kota, dengan elevasi yang relatif datar dan banyak menurun.

Setelah mencapai jembatan panjang yang menjadi batas antara Rajamandala dengan Cianjur, saya menyempatkan diri mengambil foto di atas sungai Citarum. Setelah jembatan tersebut, di kanan kiri banyak penjual cincau menjajakan dagangannya, seperti menyambut pelancong dari arah Bandung untuk beristirahat sejenak   sebelum melanjutkan perjalanan ke arah Cianjur.
Dari Cianjur, jalan raya yang ditempuh datar, dengan pemandangan sawah padi. Bus mulai tampak berseliweran menemani perjalanan kami. Disini kesabaran goweser mulai diuji, karena cuaca yang cukup panas (sekitar jam 10-11 siang), dengan rute yang datar, dan bus-bus besar yang mulai meng-klakson kami kalau jalan kami terlalu menutupi jalan yang akan mereka lewati. Yah, memang jika kita berjalan di jalan raya antar kota, kita harus banyak mengalah dengan pengendara lain dengan ukuran lebih besar, seperti bus dan truk.

Selepas dari Cianjur dan istirahat Sholat Jumat, saya melanjutkan perjalanan Cianjur-Warung Kondang. Dari Warung Kondang menuju perbatasan dengan Sukabumi, perjalanan mulai menanjak perlahan. Menurut saya, disini rute yang paling menguras tenaga, karena tanjakannya lumayan panjang, dimulai dari Warung Kondang hingga Gekbrong. Melahap tanjakan ini cukup lama, karena saya baru masuk ke perbatasan Sukabumi pada pukul 6 malam.


Setelah masuk kota Sukabumi, saya langsung melanjutkan perjalanan ke Cisaat, untuk melanjutkan perjalanan ke Situ Gunung. Perjalanan dari Cisaat menuju Kadudampit - Situ Gunung ternyata tidak kalah menantang. Perjalanan 9 km terakhir merupakan perjalanan paling indah saya. Jalanan benar-benar sepi (jam 9 malam start dari Polsek Cisaat), dan ketika itu di Kadudampit, sedang terjadi pemadaman lampu. Jalanan menanjak  dari ketinggian 600 meter di Polsek Cisaat, hingga Situ Gunung di ketinggian 1050 meter, kami bertiga lewati dalam 2 jam, hingga jam saya menunjukkan pukul 11 malam. Barulah saya mencapai gerbang Situ Gunung, Taman Nasional Gede Pangrango.


Dari pintu masuk, saya harus menuntun sepeda saya menuju pinggir danau, karena jalanan berbatu menyulitkan saya untuk menunggangi sepeda tua saya. Alhamdulillah, setelah menuntun sepeda sekitar 15 menit, saya mencapai tepi Situ Gunung, dan letih selama perjalanan Bandung-Situ Gunung, terbayarkan sudah. Keheningan, kesunyian, dan kedamaian, menikmati pantulan sinar bulan di danau nan asri. Terlebih ketika pagi hari datang, dingin menusuk, membuat saya enggan untuk bergegas pergi dari indahnya belaian kabut di Situ Gunung.

Share:

Wednesday, June 19, 2013

Belaian Embun Situ Sangkuriang


Bandung, ibukota Provinsi yang dibangun oleh Belanda tidak berdekatan dengan pelabuhan, merupakan sebuah fenomena alam yang indah, karena dikelililingi oleh alam yang sejuk, dan dikelilingi oleh perbukitan dan gunung. Jika kita berdiri di tempat yang cukup tinggi di Bandung, kita dapat melihat adanya Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Burangrang, Gunung Palasari dan Gunung Bukit Tunggul di sisi Utara, di Bagian Barat terdapat perbukitan kapur Padalarang-Ciatatah-Rajamandala (Gunung Masigit, Pasir Bancana, Pasir Pawon, dll), di bagian Timur terdapat Gunung Manglayang dan Gunung Masigit-Kareumbi, dan di bagian Selatan terdapat Gunung Malabar, Gunung Tilu dan Gunung Patuha. Hampir di tiap lokasi gunung tersebut ditemukan obyek wisata yang menarik untuk dikunjungi, seperti obyek wisata Tangkuban Perahu di sisi Utara, Goa Pawon di Pasir Pawon-Citatah, Kawah Putih di Gunung Patuha, serta Kawasan Konservasi Kareumbi di Gunung Masigit, Kareumbi. Aduhai, betapa indahnya Bandung ini. Namun kali ini, saya coba membagi sedikit yang saya tahu tentang obyek wisata di sisi Utara Bandung, tentunya dengan sedikit bumbu "geologi", supaya tulisan di blog ini tetap pada jalurnya sebagai blog yang edukatif.

Gunung Bukit Tunggul dari Situ Sangkuriang

Gunung Bukit Tunggul, merupakan salah satu sisa dari letusan Gunung Sunda, dimana gunung ini mempunyai ketinggian 2.208 mdpl. Di kaki sebelah Selatan Bukit Tunggul, terdapat perkebunan kina yang dikelola oleh PTP VIII Bukit Unggul (entah mana yang betul, Bukit Tunggul atau Bukit Unggul). Asal muasal Bukit Tunggul menurut legenda Sangkuriang, berasal dari kayu dari pohon yang tumbuh di bagian Timur, dimana tunggul (pokok pohon, dalam bahasa Sunda), yang menjadi bahan untuk membuat perahu yang disyaratkan oleh Dayang Sumbi (cerita sejarahnya dapat dilihat disini). Bukit Tunggul tersebut, berada di Desa Cipanjalu, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung, yang menghubungkan antara Lembang dengan Ujungberung. Daerah ini bisa dicapai dari Maribaya-Cibodas-Bukit Tunggul, atau dari Ujungberung-Tanjakan Panjang-Palintang-Palasari-Bukit Tunggul.

Situ sangkuriang

Di Situ Sangkuriang, terdapat mata air yang diperkirakan menjadi sumber dari Sungai Cikapundung, yang mengalir dari Lembang ke Kota Bandung. Jika dilihat secara geologi, mata air merupakan pertemuan antara 2 litologi yang berbeda, dimana air mengalir di antara rekahan-rekahan batuan, atau pada pertemuan antara batuan yang bersifat permeabel (dapat mengalirkan air), dengan yang impermeabel (susah ditembus air). Kalau kita lihat pada peta geologi dan morfologi, Situ Sangkuriang berada tepat di cekungan antara Gunung Bukit Tunggul dan Gunung Palasari. 


Peta geologi lembar Bandung yang menunjukkan lokasi Bukit Tunggul dan Situ Sangkuriang

Dari peta geologi, Situ Sangkuriang berada di Formasi yang berwarna jingga hingga cokelat dengan kode Qyu, dimana Qyu adalah Hasil Gunung Api Tak Teruraikan yang terdiri dari pasir tufaan, lapili, breksi, aglomerat. Sebagian berasal dari Gunung Tangkuban Perahu dan sebagian berasal dari Gunung Tampomas. Sedangkan di bagian Selatan dari Situ Sangkuriang, formasi ditandai oleh kode Qc dimana, Qc adalah Koluvium, yang terdiri dari reruntuhan pegunungan hasil gunung api tua, berupa bongkah batuan beku antara andesit-basal breksi, batupasir, lempung dan tufa. Adanya kontak antara 2 formasi tersebut memungkinkan adanya air tanah yang keluar, dan mengalir mengisi cekungan, yang oleh warga dibendung, menjadi Situ Sangkuriang dan Curug Batu Sangkur.

Jika dilihat, daerah yang didominasi oleh persawahan dan perkebunan kina tersebut merupakan daerah yang sangat subur, dimana hampir di sepanjang pengamatan saya, tidak ada tanah yang tidak ditanami oleh warga. Pada beberapa titik, saya melihat adanya kenampakan terasering oleh warga yang teratur, yang biasa disebut oleh goweser sebagai jalur circle crop, yang melingkar sepanjang bukit. Tanah yang tebal, merupakan produk dari gunung api purba, sehingga pada daerah tersebut, abu gunung berapi terakumulasi sehingga membentuk lapisan tanah yang subur.

Crop circle di kala hujan 

Crop circle dengan pemandangan Gunung Palasari (di kala cerah) (foto: Yogie Subrata)

Hal lain yang bisa diamati adalah fenomena Sesar Lembang, yang tepat melintasi Gunung Palasari. Sesar yang relatif berarah Barat-Timur ini dapat diamati dengan jelas, jika kita melewati Maribaya-Cibodas, dan kita menengok ke gawir terjal. Adanya gawir tersebut ditunjukkan oleh adanya kontur kasar, yang berubah menjadi halus, dan sangat jelas jika dilihat pada penampakan di citra yang didapat dari google maps.

Sesar lembang yang melintasi Gunung Palasari dan Palintang, yang berarah ke Cibodas, Lembang dari citra Google Maps
Gawir sesar lembang (di jalan antara Maribaya-Cibodas melihat ke arah Selatan)

Nah, ternyata dengan berjalan-jalan, banyak bukan yang bisa dipelajari dari sekitar kita. Memang, alam kita merupakan laboratorium yang tiada habisnya untuk kita amati. Saya datang kemari, ditemani oleh Three Musketeer (Gumi, Firly dan Obi), serta teman-teman dari Bikepacker Indonesia, yang menemani saya bergowes dari Ujungberung sampai pintu masuk PTP Bukit Unggul, namun sayangnya rombongan Three Musketeer tidak bisa ikut saya menikmati Situ Sangkuriang karena harus kembali lagi ke Bandung. Semoga sekelumit cerita yang ngalor ngidul ini bisa memotivasi teman-teman, tidak hanya mengagumi keindahan alam di sekitar kita, namun juga melihatnya dari sisi yang lain.

end.of.paragraph.

GeoEducative Blog
Follow me: @andyyahya
Three Musketeer (dari ki-ka: Gumi, Firly dan Obi)
Warung di Tanjakan Pines

SD Palintang

Membelah Gunung Palasari dari Palintang
Perkampungan warga di kaki Palasari
Berlatarkan Gunung Palasari

Situ Sangkuriang berlatarkan Gunung Bukit Tunggul
Situ Sangkuriang, melihat ke arah Barat
Tanggul buatan untuk membendung Situ Sangkuriang


Klik Gambar di bawah untuk melihat artikel lain





Share:

Blog Archive

Kontak ke Penulis

Name

Email *

Message *