Conversations with the Earth

Endapan mineral di Finlandia dan Swedia

Perjalanan saya ke lingkaran kutub utara

Atlas of ore minerals: my collection

Basic information of ore mineralogy from different location in Indonesia

Sketch

I always try to draw a sketch during hiking

Apa itu inklusi fluida?

Inklusi fluida adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan adanya fluida yang terperangkap selama kristal tumbuh. Gas dan solid juga bisa terperangkap di dalam mineral.

Situ Cisanti di Pengalengan, Bandung

50 km dari Bandung, Situ Cisanti terkenal karena menjadi sumber mata air sungai Citarum

Wednesday, January 8, 2014

Northern Alps

Polster, Präbichl (Juli 2017)
 
 
 


Hallstatt - (Desember, 2015)

Eisenerz Hochblaser - (Agustus, 2015)


Ramsau am Dachstein - Gütennberghaus (Juli, 2015)
Zigzag, 1.900 m asl 
Guttenberghaus in Ramsau am Dachstein (1914) at 2.164 m
His name is Mingmar, came from Nepal and work in this huts since 2 months a go. I hope someday I can visit Kathmandu and Khumbu
Can you see the goat? They lived in a hill of the Alps, I tooked this photo in around 2.250 m asl
Hölltallsee (Silberkar see) 
Rossing Silberkarklamm
Bunny in Lärchbodenalm 
Bee and flower 
Flag which guide you home
Bloom in summer 
Hill between Sinnabel and Essenstein, 2.200 m asl
Silberklamm

Grüner See (April, 2015)
Hochswab as a background
Me at Hochswab background
Grüner See
Camp stove
Bench before the water level increase
Grüner See
Share:

Tuesday, January 7, 2014

Lombok Selatan: Sade, Pantai Kuta, dan Gunung Api Bawah Laut Tanjung Aan


Keanekaragaman budaya di Indonesia sangat beragam, mulai dari suku bangsa, adat, makanan, bahasa, dan sebagainya. Sebut saja Pulau Lombok, yang didiami oleh suku asli yaitu Suku Sasak. Memang tidak hanya suku Sasak yang mendiami pulau yang berluas sekitar 4.725 km persegi, dimana juga didiami oleh Suku Bugis yang umumnya datang di pesisir Utara dari Lombok dan menghuni "The Three Hot Spot", yaitu Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan, suku Bali yang berada di daerah Cakranegara, suku Jawa, suku Bima dan suku lainnya.

Kali ini, saya coba bercerita sedikit yang saya ketahui tentang Suku Sasak yang mendiami perkampungan adat di Sade, di bagian Tenggara dari Bandara Internasional Lombok di Praya yang mulai beroperasi sejak 2011.

Perkampungan Sade, didiami sekitar 750 kepala keluarga, yang sudah menghuni di daerah tersebut lebih dari 15 generasi. Di daerah tersebut, penduduknya menggunakan bahasa Sasak, dan hanya anak muda yang sudah mulai bisa berbahasa Indonesia. Mayoritas penduduk yang tinggal di daerah tersebut beragama Islam, dimana agama yang diyakini sebelumnya adalah Waktu Telu, yaitu praktek beragama dari masyarakat Sasak yang merupakan akulturasi dari animisme, dinamisme, Hindu, yang baru di akhir masa masuk agama Islam.

Hal ini menyangkut tata cara peribadatan, dimana hanya pemangku adat dan raja yang beribadah. Simbol Waktu Telu juga nampak pada bentuk bagian dalam rumah, yang mempunyai tiga buah tangga di dalamnya. Namun semenjak Islam masuk ke Lombok oleh para wali dan Sunan, kebudayaan Waktu Telu sudah mulai hilang, dan berubah menjadi agama Islam. Simbol tiga buah tangga di rumah ditambah dengan dua buah tangga lagi di bagian depan, yang menandakan solat 5 waktu.


Kalau kita masuk ke dalam perkampungan tersebut, hampir semua rumah adat masih di pel menggunakan kotoran sapi dan kotoran kerbau, yang bisa dengan cepat kering karena alas tanahnya merupakan tanah liat. Sehingga ketika masyarakat tersebut akan melakukan solat, mereka harus melaksanakan solat di masjid di perkampungan tersebut. Umumnya, bentuk rumah adat beratapkan alang-alang, yang diatur rapi sehingga dapat bertahan lama. Ketika sudah nampak adanya kebocoran, baru alang-alang tersebut diganti dengan yang baru. Karena sebagian dari warganya mempunyai pekerjaan utama berdagang, maka di dekat rumah umumnya terdapat rumah adat Suku Sasak, bertingkat, dan digunakan sebagai tempat penyimpanan beras. Konon katanya, hanya laki-laki yang boleh masuk ke dalam lumbung tersebut, karena menurut kepecayaan Sasak, jika wanita masuk, maka dapat mandul.


Tradisi lain yang masih berlangsung adalah kawin lari, dimana ketika seorang laki-laki ingin meminang wanita dari suku Sasak, maka mereka harus menyiapkan mahar sekitar 4-5 ekor kerbau (namun tidak di Sade, yang hanya cukup dengan mahar seperangkat alat solat dan uang), dimana laki-laki harus bisa mencuri wanita yang akan dinikahinya dan dibawa lari ke kampung kerabatnya. Si wanita harus terlebih dahulu bisa menenun sebagai syarat wajib sebelum menikah. Kemudian setelah wanita dicuri, harus ada perwakilan dari laki-laki yang datang ke keluarga istri dan menyampaikan bahwa wanita sudah diamankan di kampung yang lain, dengan istilah "nyelabar". Hanya sebagian dari Suku Sasak yang masih menjalankan ritual tersebut, terutama yang masih menganut kepercayaan adat yang masih kuat.

Masuk ke Selatan dari perkampungan adat Sade, maka kita akan menjumpai pantai berpasir putih yang indah, yaitu Pantai Kuta. Memang, namanya sama dengan pantai Kuta yang ada di Bali, namun yang membedakan, pantai di Lombok Selatan ini jauh lebih tenang dibandingkan Kuta Bali. Yang disayangkan, modernisasi Barat sudah mulai masuk ke daerah tersebut, seperti adanya bar, kafe, minuman beralkohol, yang datang mengingat jumlah wisatawan asing yang datang ke daerah tersebut untuk berlibur cukup banyak. Di sebelah Timur dari Pantai Kuta,kita akan menjumpai Pantai Seger,dan juga pantai di Tanjung Aan. Menurut logat suku Sasak,Tanjung Aan dibaca tidak seperti mengucap "A'an",namun dibaca panjang,sehingga dituliskan sebagai "Aan". Di daerah ini,terkenal mitos akan Dewi Mandalika,yang saya juga kurang "copy" sejarahnya seperti apa,namun diyakini,ketika Dewi Mandalika muncul 1x dalam setahun,akan muncul cacing dalam jumlah yang sangat melimpah yang dapat dimakan langsung. Sejenak saya teringat pelajaran biologi jaman SMP ato SMA,tentang cacing wawo dan cacing palolo yang dapat dimakan karena berprotein tinggi.

Ada fenomena menarik di daerah tersebut, yaitu adanya gunung-gunung purba, yang merupakan komplek "old andesite" yang akan saya jelaskan nanti, serta ada fenomena batu payung, yang merupakan sisa-sisa peninggalan endapan piroklastik atau letusan gunung api, yang diyakini merupakan gunung api bawah laut, yang tersisa hingga saat ini. Saat ini, fenomena sisa-sisa gunung, dan batu payung dapat kita lihat di sepanjang Pantai Kuta, Pantai Seger, dan Tanjung Aan, Lombok Selatan.

Kalau kita lihat peta geologi Lombok (Andi Mangga dkk, 1994) daerah Pantai Kuta tersebut merupakan bertanda Tomp, yaitu Formasi Penggulung yang terdiri dari breksi lava, tuf, dengan lensa batugamping yang mengandung mineral sulfida dan urat kuarsa dan endapan yang lebih muda bertanda Qa yang merupakan endapan aluvium. Di sebelah Timur dari pantai tersebut, terdapat kenampakan batuan-batuan intrusif (Tmi), serta para geolog meyakini bahwa di daerah tersebut merupakan komplek gunung api bawah laut.







Saya coba mengutip pernyataan dari Pak Budi Brahmantyo, dosen mata kuliah geomorfologi saya pada tahun 2007 mengenai Tanjung Aan di Lombok Selatan 



"Endapan piroklastik gunung api bawah laut Oligosen di Tanjung Aan, Lombok selatan, memang menarik setelah diukir gelombang Samudera Hindia.  (foto Pak Budi saat Ekspedisi Geografi Indonesia Bakosurtanal 2010)."










Jika menurut Pak Awang H Satyana yang saya kutip dari http://geologi.iagi.or.id/2011/07/26/kompleks-gunungapi-bawahlaut-old-andesites-tanjung-aan-lombok/, bahwa Tanjung Aan merupakan komplek "Old Andesite" yang melingkari sisi Barat Daya-Selatan-Tenggara Sunda Land pada Kala Oligo-Miosen. Mengutip dari beliau, 

Old Andesites” pertama kali digagas oleh Verbeek dan Fennema (1896) sebagai ‘Oud Andesiets‘ dalam sebuah buku magnum opus “Geologische Beschrijving van Java en Madoera“. Tetapi adalah van Bemmelen dalam buku magnum opus-nya, “The Geology of Indonesia” (1949) yang memopulerkan dan menganalisis Old Andesites dengan detail dalam analisis-analisisnya meskipun masih dikemas dalam teori geosinklin atau undasi yang dikembangkannya."


Dengan keterbatasan saya sebagai Oemar Bakrie di Teknik Eksplorasi Tambang ITB, yang mengetahui sekelumit dari ilmu geologi, berbeda dengan kedua ilmuwan di atas, saya ingin menunjukkan, betapa indahnya ketika kita bisa menggabungkan antara sisi keilmuan dengan sisi pariwisata. Adanya papan penunjuk yang menceritakan geologi di daerah tersebut pada masa lampau dalam bahasa yang lebih sederhana dan mudah dipahami oleh orang awam, maka potensi wisata di Indonesia, terutama di Lombok Selatan, dapat meningkat menjadi taman-taman geologi di Indonesia. Akses yang bagus menuju lokasi, bisa memberi nilai positif ketika ingin mengembangkan menjadi daerah geowisata di Pulau Lombok. 
Berwisata? Semua orang bisa, cukup dengan meluangkan waktu dan menyisihkan dana. Cita-cita saya suatu hari nanti, saya bisa mengajak anak cucu saya (semoga punya banyak) ke tempat ini, atau ke tempat wisata lain, dimana mereka bisa langsung membaca plang-plang yang bertuliskan penjelasan dari aspek keilmuan geologi, sehingga nantinya bukan hanya sekelumit orang yang mengerti tentang ilmu geologi, namun semua orang mengerti geologi, supaya nantinya makin banyak orang yang ikut menjaga alam ini, terutama keindahan alam dan budaya di Lombok Selatan. 
Share:

Tuesday, December 10, 2013

Sekelumit Bersepeda di Fukuoka


Saya sengaja mengambil judul yang sederhana saja, supaya bisa lebih mudah ditangkap oleh orang-orang lain, yang mungkin jarang, atau kurang tertarik dengan bersepeda. Sepertinya di pending dulu tulisan ilmiahnya, untuk bahan berikutnya (sejauh ini, saya baru kepikiran untuk menulis museum tambang bawah laut di Fukuoka, namun sementara di tunda dulu karena belum dapat inspirasinya, hehehe). Yang ingin saya bagi disini, adalah suasana bersepeda di Jepang, yang sangat berbeda dengan bersepeda di Indonesia. Rasanya tidak perlu ber-cingcong ria, langsung aja share gambar aja ya
Umumnya, pesepeda mempunyai jalur sendiri (bike lane), kadang menyatu dengan jalur pejalan kaki, kadang dipisah, namun tidak jarang berada di sisi jalan raya.
Bike lane yang dipisahkan trotoar

Ukuran bike lane cukup besar, dan tidak terhalang oleh pedagang kaki lima seperti di Indonesia


Sepeda pun punya rambu lalu lintas, ketika merah sepeda harus berhenti, 
dan ketika hijau baru boleh berjalan. Jika ketika lampu hijau berpapasan dengan mobil atau kendaraan lain, sepeda tetap diutamakan

Bike lane di pinggir pantai

Karena sedang pergantian ke musim dingin, bersepeda nya pake jaket lapis 2+baju 1 lapis, dan sarung tangan, hehehe

Sangat banyak tempat parkir sepeda disediakan, sebagai contoh parkir sepeda di sebuah pabrik.... lalu....

tempat parkir sepeda di area pusat perbelanjaan (mall) di daerah Marinoa,,,, lalu,,,,,

tempat parkir sepeda di kampus Ito, Kyushu University,,,,, dan....

tempat penyimpanan sepeda di depan stasiun (hampir di tiap stasiun ada, sebagai contoh di Stasiun Muromi).

Hal lain yang membuat saya kagum, adalah populasi sepeda yang banyak, sehingga membuat sepeda pun harus didaftarkan kepada polisi. Sebagai contoh, sepeda yang saya pinjam ternyata tidak terdaftar ke kantor polisi setempat, sehingga sepeda tersebut ditandai oleh polisi dengan kode "not registered". (maaf, saya lupa memfoto tulisannya di sepeda pinjaman saya).

Hal ini memudahkan polisi untuk melacak keberadaan sepeda, dimana teman saya yang sudah menetap hampir 6.5 tahun di Fukuoka mengatakan, bahwa dia pernah kehilangan sepeda, dan ketika dia melapor ke kantor polisi, sepedanya ditemukan kembali oleh Polisi, namun harus mengganti sekitar 2000 yen (setara dengan Rp 200.000,-).

Yah, begitu ulasan singkat tentang bersepeda di Fukuoka, saya tambahkan beberapa gambar saya selama berkeliling dari Itoshima-Ito Campuss-Meinohama-Muromi.

Di salah satu kuil di Itoshima

Hakata bay

Toko senang-senang, sepertinya yang punya orang Indonesia ya

Maksud hati mau cari jalan nanjak ke air terjun Shiraito , akhirnya terpaksa saya urungkan karena menjelang waktu sholat Jumat

Dan saya akhiri cuplikan singkat mengenai sepeda di Fukuoka dengan sepeda buatan anak bangsa, yang dipasarkan di Jepang, namun tidak di Indonesia. Araya Federal dengan bahan Cr-Mo 4130, membuat saya sangat ingin mencobanya suatu saat nanti (semoga bisa cepat kuliah di Fukuoka, amiiiin)

Full bike dari Araya Federal

Tulisan Federal. yang menjelaskan bahwa ini adalah varian sepeda touring 

Ditambah dengan tulisan di fork berbahan High Ten, yang menguatkan bahwa varian sepeda touring

Bahan dasar dari frame adalah Cr-Mo atau kromoli

Dan,,,, saya bangga sepeda ini dibuat di Indonesia


Kontributor tulisan ini, tentunya harus narsis, di Shimoyamato

Sebuah kutipan menarik: bukan tentang sepedanya, namun tentang ber-sepedanya. Apapun sepedanya, yang penting tetap nyepedah... Hidup nyepedah....

Klik Gambar untuk melihat sub-konten




Share:

Blog Archive

Kontak ke Penulis

Name

Email *

Message *