Conversations with the Earth

Endapan mineral di Finlandia dan Swedia

Perjalanan saya ke lingkaran kutub utara

Atlas of ore minerals: my collection

Basic information of ore mineralogy from different location in Indonesia

Sketch

I always try to draw a sketch during hiking

Apa itu inklusi fluida?

Inklusi fluida adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan adanya fluida yang terperangkap selama kristal tumbuh. Gas dan solid juga bisa terperangkap di dalam mineral.

Situ Cisanti di Pengalengan, Bandung

50 km dari Bandung, Situ Cisanti terkenal karena menjadi sumber mata air sungai Citarum

Tuesday, April 1, 2014

Eksotisme Bukit Barisan, Indahnya Taman Bumi-Geopark Merangin

Saya selalu menyukai hal yang baru. Untuk tulisan kali ini, saya coba menulis blog di dalam travel yang bergoyang-goyang, yang mengantar saya dari Bandara Cengkareng menuju Pasteur. Kali ini saya baru saja pulang dari Jambi, kota yang sangat ikonik dengan Candi Muaro Jambi nya. Sayangnya sudah hampir ketiga kalinya saya berkunjung ke Jambi, saya belum sempat untuk mampir melihat keindahan Candi tersebut, yang sebenarnya hanya berjarak 25 km dari kota Jambi. Sudahlah, mungkin lain kali saya berkunjung kesana. Saya ga bisa menahan untuk bisa menulis tentang eksotisme Bukit Barisan, dan berkesannya Taman Bumi Merangin, yang baru saja saya kunjungi sejak Jumat hingga Senin yang lalu.




Kali ini saya datang kembali ke Bukit Barisan, namun di daerah yang berbeda dengan kunjungan saya sebelumnya. Saya pernah berkunjung di Ujung Selatan Bukit Barisan untuk mengunjungi tambang emas yang digenangi air karena menambang di bawah sungai purba dengan debit air yang tinggi, yang memaksa perusahaan mengeluarkan airnya hingga menggunakan 14 pompa (saya lupa kapasitas nya berapa); saya juga pernah berkunjung ke Ujung Utara Bukit Barisan untuk melakukan pemetaan dan eksplorasi geofisika bersama eks- anggota separatis, yang alhamdulillah bisa mengantarkan saya ke Fukuoka, untuk mempresentasikan hasil karya saya di seminar internasional; dan kali ini saya kembali ke Bukit Barisan untuk 2 hal, eksplorasi bijih besi dan mengunjungi taman bumi. 

Setiap saya berkunjung ke Bukit Barisan, saya selalu dibuat terkagum-kagum dengan flora fauna nya. Di daerah yang berkontur ga sekolah ini, saya pernah lihat bekantan, kalajengking, bunga bangkai, jelatang, semut raksasa, burung yang berwarna biru, dan juga bekas dari cakaran beruang. Dan tiap kesini, selalu ada pacet yang menempel di badan saya, yang kali ini mampir ke perut saya. Untungnya saya belum pernah bertemu dengan jejak harimau. :D
kekejaman pacet yang menempel tepat di perut, di baju lapangan saya

Pada eksplorasi bijih besi kali ini, saya tidak akan membahas terlalu dalam tentang bijih besi, karena saya pun kurang begitu tertarik dengan mineral pembawa unsur besi seperti magnetit, hematit, limonit, dan goetit/lepidocrocit. Saya lebih tertarik dengan batuan dan mineral lain yang saya jumpai di lokasi tersebut, yaitu batuan granit dan mineral topaz. 

Ada apa dengan Granit? Batuan beku yang tergolong batuan beku asam ini berwarna cerah, di dominasi oleh mineral kuarsa, dan sangat lazim dijumpai di daerah yang mempunyai mendala metalogenik (metallogenic provine) dengan karakteristik yang relatif mencirikan endapan yang bertipe asam, seperti di Kepulauan Bangka Belitung yang kaya akan timah, yang mempunyai batu-batu yang berukuran sangat besar yang membentang di sepanjang pulau di daerah tersebut. Batuan  granitik merupakan batuan yang menjadi asal endapan timah, baik yang terbentuk secara primer maupun sekunder, serta menjadi sumber bagi munculnya kasiterit sebagai mineral pembawa timah, serta mineral-mineral logam tanah jarang seperti rutil, xenotime, monasit. Sudah berkali-kali saya mengamati mineral-mineral tersebut di bawah mikroskop, namun memang karena keterbatasan saya, sering saya lupa, mana mineral kasiterit, ilmenite, apalagi monasit dan xenotim, hehehe. Cukup untuk cerita granit, sekarang saya beralih ke topaz.

Topaz, merupakan mineral yang termasuk tipe mineral silikat, yang mempunyai rumus kimia Al2SiO4(F,OH)2. Mineral ini dicirikan oleh habitnya yang orthorhombic, yaitu salah satu kelas dari kristal yang menunjukkan bahwa panjang sumbu a,b dan c dari mineral ini saling tegak lurus, namun tidak sama panjang. Apa itu sumbu a,b, dan sumbu c? Sekarang kita coba  bayangkan ruang tiga dimensi,sebut saja balok. Nah, kalau di bagian sumbu tengah dari ruang tersebut kita buat garis yang tegak lurus ke depan, kanan, dan atas, itulah analogi dari sumbu a,b dan c pada kristal. Kembali ke topaz. Apa yang menarik dari topaz yang akan saya ceritakan?

Topaz merupakan mineral yang mempunyai kilap kaca, mempunyai kekerasan mohs 8, dengan warna gores di papan gores (papan gores adalah suatu papan yang terbuat dari porselen, umum digunakan untuk melihat warna mineral untuk menjelaskan sifat  fisiknya) berwarna putih. Dengan sifatnya yang cukup keras ini, maka mineral ini dapat dipergunakan sebagai batu mulia. Sebagai informasi, untuk menentukan kriteria sebagai batu mulia, kita cukup mengetahui yang disebut sebagai skala Mohs, atau skala kekerasan relatif dari mineral. Metode ini digunakan untuk mengetahui, seberapa keras mineral yang kita lihat dibanding dengan mineral atau benda lain. Secara berurutan, skala mohs dari 1-10 adalah sebagai berikut.
Skala mohs 1: talk
Skala mohs 2: gypsum
Skala mohs 3: kalsit
Skala mohs 4: fluorit
Skala mohs 5: apatit
Skala mohs 6: feldspar
Skala mohs 7: kuarsa
Skala mohs 8: topaz
Skala mohs 9: korundum
Skala mohs 10: intan
Skala Mohs Relatif:
Kuku: 2.5
Kaca: 5.5
Ujung pisau lipat atau paku besi:6.5

Dari kekerasan tersebut, kita bisa uji, dimana mineral keras pasti bisa menggores mineral dengan skala mohs lebih rendah, namun mineral dengan skala mohs rendah tidak akan bisa menggores mineral yang lebih keras. Hal ini yang bisa kita aplikasikan, untuk mengetahui batu mulia yang kita miliki asli atau tidak. Caranya? Ya tinggal goreskan saja ujung pisau atau paku besi ke mineral tersebut. Kalau tergores, ya berarti skala mohs nya lebih rendah dari 6.5. Begitu lah kalau teman-teman berniat beli intan, minta izin sama mas yang jual, terus gores aja sama pisau. Hal itu yang terjadi dengan layar hp dan gps saya, yang keduanya kegores ketika saya menyimpan keduanya bersama-sama dengan sampel kuarsa dan topaz yang saya ambil selama di lapangan. Jadiiiii, setelah membaca penjelasan di atas, saya berkesimpulan bahwa topaz cocok untuk dijadikan  batu mulia, karena tidak mudah tergores (udah dari dulu kali topaz dijadikan batu mulia, hehehe).

Nah, beralih ke cerita kedua tentang kunjungan saya di Jambi, yaitu tentang Geopark Merangin. Memang belum banyak orang yang tahu, apa sih sebetulnya Geopark itu sendiri. Saya pun sempat dibuat kebingungan, tiap kali saya tanya orang di Bangko (ibu kota Kabupaten Merangin) tentang lokasi Geopark tersebut. Penunjuk jalan menuju lokasi itu pun sangat minim. Walhasil saya pun tersasar di tempat wisata lain, yang sebetulnya termasuk bagian dari Geopark Merangin tersebut. Saya malah mengetahui lokasi itu karena saya melihat ada poster caleg yang mencantumkan Geopark di salah satu posternya. Ngglethek kalo kata orang Malang bilang.

Apa yang bisa dinikmati dari Geopark tersebut? Kalau harus dibuat prioritas, maka yang pertama adalah fosil, yang kedua adalah wisata air, dan yang ketiga adalah air terjunnya.Itu berdasarkan prioritas saya ya, karena tujuan saya adalah melihat fosil yang terawetkan bukan pada batugamping, tapi di batulumpur. Fosil kayu Araucaraxylon, yang saya pun baru tahu kalau itu tumbuhan yang masih tumbuh secara insitu sejak hampir 300juta tahun yang lalu hingga sekarang. 


Perbandingan (Araucaraxylon di Natur Historische Museum, Wina, Austria-Sept 2015)

===============================================================
Sedangkan fosil tumbuhan dan daun yang dijumpai adalah fosil dari Macralethopretis sp, Cordaites sp, Calamites sp, Pecopteris sp, Lepidodendron dan lain-lain. Saya memang bukan paleontolog, sehingga saya tidak terlalu paham tentang jenis-jenis fosil tersebut, namun saya sangat excited dan menikmati kebodohan saya ketika memegang fosil-fosil tersebut. 

Sangat disayangkan, ketika saya datang dan berkunjung di lokasi tersebut, ada sepasang remaja yang sedang mojok di air terjun, yang menurut saya bisa menjadi sampah masyarakat dan kalau dibiarkan bisa menggangu citra dari tempat wisata tersebut. 

Geopark yang terletak di Desa Air Batu saat ini sudah diresmikan secara nasional untuk menjadi Geopark nasional pada akhir tahun 2013 yang lalu, namun sekarang, daerah ini masih menunggu hasil kunjungan dari tim UNESCO, yang akan sedang merapatkan mengenai status geopark tersebut untuk dijadikan geopark yang terintegrasi dengan geopark lain di dunia.

Saya sendiri juga agak kecewa, karena pada saat saya datang untuk melihat fosil-fosil tersebut, air sungai Merangin sedang deras-derasnya, karena ternyata di hulu Sungai Merangin yang ada di Gunung Kerinci, ternyata sedang pasang karena hujan deras pada saat semalam sebelum saya datang. Sungai pun menjadi keruh, sehingga merendam fosil-fosil yang mayoritas berada di dekat air terjun. 

Fosil kerang dan fosil Brachipoda tidak bisa saya lihat di lokasi, menurut informasi memang tenggela, namun untuk Brachiopoda, mungkin sudah diamankan oleh Badan Geologi mengingat kalau tidak diamankan, fosil tersebut bisa kapan saja diambil dan dicongkel oleh orang-orang jahil. Tidak masalah saya tidak bisa melihatnya, namun saya sudah sangat puas karena pemandu arung jeram saya sudah membantu mengingatkan bahwa fosil itu boleh dilihat, boleh dipegang, namun tidak boleh diambil menggunakan palu dan yang lain. Papan informasi oleh Badan Geologi cukup komunikatif, menunjukkan informasi mengenai kondisi geologi di masing-masing lokasi, yang menunjukkan di daerah ini telah siap untuk dijadikan sebagai Taman Bumi.

Untuk melihat fosil tersebut, beberapa tempat memang bisa dijangkau dengan berjalan kaki dari Desa Air Batu, namun untuk melihat fosil secara keseluruhan, memang hanya bisa dijangkau dengan menggunakan perahu karet dengan sewa sekitar Rp 400.000,- Rp 500.000,- sekali jalan. Satu perahu umumnya bisa dinaiki oleh 4 orang tamu dengan 4-5 orang lain sebagai pendayung. Berbeda dengan arung jeram di Citarik,  maupun body rafting di Citumang maupun Green Canyon, yang bisa kita nikmati dengan panduan dari pemandu, di lokasi ini, tamu harus memegang erat-erat tali tambang berukuran besar yang ada di perahu, mengingat jeram di anak sungai dari Danau Kerinci ini sangat besar dan berbahaya.

Di akhir pengarungan, fosil kayu kersik (orang lain bilang sebagai Opal kayu), yang terbentuk akibat proses silisifikasi. Apa itu silisifikasi? Silisifikasi adalah proses presipitasi dari larutan kaya silika ke benda lain (dalam hal ini kayu), sehingga ketika larutan itu membeku, tekstur kayu masih terlihat jelas dan terawetkan. Umumnya, fosil kayu ini digunakan oleh orang-orang untuk dijadikan ornament di rumahnya, karena bentuknya yang indah. Namun hal yang sangat disayangkan,harga dari sungkai, sebutan dari fosil kayu di daerah ini sangat murah, hanya Rp 500,- untuk per kilonya. Gilaa… Padahal, konon katanya, Geopark yang berlokasi di Spanyol, yang mempunyai keunikan oleh fosil kayunya, ternyata sumbernya berasal dari Merangin. Hmmm, untuk hal yang ini, perlu ada klarifikasi lebih lanjut, karena saya hanya mendapat info dari penduduk lokal, yang mendapatkan arahan konservasi dari tim Badan Geologi yang berkunjung untuk membuka mata warga terhadap potensi konservasi kayu kersik yang bisa salah asuhan. Eksploitasi terhadap sumber daya alam harus mengenal kata bijaksana, karena sifatnya yang tidak terbarukan, sehingga kelak anak cucu kita tidak dapat menikmati apa yang kita lihat saat ini.



Dan cerita panjang saya dari Bukit Barisan dan Geopark Merangin saya tutup dengan kutipan dari lambung kapal karet yang saya naiki, Memuliakan Warisan Geologi Menyejahterakan Masyarakat. Mari kita tidak hanya menikmati indahnya alam, namun juga menjadi Sang Yudha Bumi, Si Penjaga Bumi.


Tulisan ditulis sejak KM 0 Tol dalam Kota Jakarta, baru selesai di KM135, persis di antrian tol keluar Pasteur, Bandung. Whooosaaah…..






katanya batu yang di sebelah kiri itu mirip kepala orang,,, iya ga sih?
Air terjun Muara Sungai Karing

Klik Gambar di bawah untuk melihat artikel lain







Share:

Tuesday, March 25, 2014

Taman Bermain Struktur Geologi di Bantarujeg, Majalengka



Menghabiskan akhir pekan di lapangan untuk menemani adik-adik dan teman-teman senasib karena harus bermandikan air sungai dan berkubang di tanah yang "muddy" memang mengasyikkan. Bantarujeg, yang ditempuh sekitar 4 jam perjalanan darat menggunakan mobil, atau pun 5 jam jika menggunakan Bus Medal Sekarwangi atau Bintang Sanepa, merupakan salah satu lokasi di Kabupaten Majalengka, yang sudah menjadi tujuan kuliah lapangan atau ekskursi mahasiswa yang berkecimpung di ilmu geologi, eksplorasi maupun pertambangan.



 
Bantarujeg merupakan daerah yang terkenal akan adanya struktur geologi lipatan maupun perlapisan, serta adanya batuan beku hasil letusan gunung api (diperkirakan berasal dari Tampomas atau Ciremay), menjadi tempat belajar menggunakan kompas dan peralatan geologi lainnya. Batuan yang umum dijumpai di lokasi ini adalah batuan sedimen, berupa perselingan antara batupasir dan batulempung, serta secara setempat kita jumpai adanya breksi vulkanik, konglomerat, serta munculnya batuan karbonatan yang diperkirakan muncul secara sekunder akibat presipitasi air bikarbonat. Namun karena pengetahuan geologi saya yang masih terbatas, kami pun (saya dan dosen-dosen Teknik Eksplorasi ITB) masih belum sepaham tentang batuan tersebut.




 
Disini, mahasiswa bisa mempraktekkan ilmu yang didapat selama perkuliahan mengenai kegiatan pemetaan geologi dan eksplorasi, seperti mempraktekkan cara penggunaan kompas, membuat lintasan pemetaan, belajar mengenai geologi struktur, petrologi, serta geomorfologi. Memang, lokasi ini merupakan laboratorium yang bisa dibilang komplit untuk mempelajari ilmu geologi dan eksplorasi tersebut. Belum cukup? Secara geoteknik dan mekanika batuan, potensi longsoran juga dapat dijadikan wahana belajar yang lengkap.

Kali ini, saya hanya mengupas sedikit tentang penggunaan kompas, supaya kita semua tahu, bahwa kompas tidak hanya digunakan oleh Jack Sparrow untuk menunjukkan arah berlayar nya kapal atau sebagai penunjuk solat, namun juga dapat menentukan arah umum dari perlapisan batuan.

Gambar kiri menunjukkan adanya bidang perlapisan. Dengan kompas geologi, kita bisa menghitung arah dan kemiringan perlapisan tersebut. Bisa kah dengan kompas biasa yang biasa di tempelkan di kulkas? Hmm, rasanya tidak bisa, karena yang ditunjukkan hanyalah arah magnetik saja, sedangkan kemiringan tidak bisa dihitung. Strike atau Jurus adalah arah garis yang dibentuk dari perpotongan bidang planar dengan bidang horizontal ditinjau dari arah utara. Sedangkan Dipadalah derajat yang dibentuk antara bidang planar dan bidang horizontal yang arahnya tegak lurus dari garis strike. Dari gambar di samping, yang disebut sebagai strike adalah yang bertanda (1), arah dip atau dip direction ditunjukkan oleh nomor (2), apparent dip adalah nomor (3), dan besar kemiringan (dip) ditunjukkan dengan nomor (4). Bagaimana cara menggunakan kompas? Ternyata setelah saya browsing, sudah banyak blogger yang menjelaskan cara penggunaannya, beserta gambarnya. Supaya tidak terlalu menyita waktu, saya kutip dari Tim Olimpiade Ilmu Kebumian Indonsia (http://www.toiki.or.id/2010/07/cara-menggunakan-kompas-geologi.html ) yang sangat komunikatif, yang kalau dijabarkan dalam gambar adalah sebagai berikut.










Nah, mari kembali ke Bantarujeg. Dengan mengerti cara menggunakan kompas, maka kita bisa mengukur arah perlapisan yang ada di daerah ini, dimana arah kemenerusan lapisan ini akan digunakan untuk mengetahui arah dari batuan yang ada. Hanya batuan sedimen yang menunjukkan perlapisan, walaupun pada batuan metasedimen ataupun metamorf, sering kita jumpai adanya lapisan-lapisan, yang nantinya bukan lagi disebut dengan srike dan dip lagi, namun disebut sebagai foliasi.

Coba kita lihat variasi batuan, serta aktivitas yang dilakukan selama di lapangan , siapa tahu ada yang setelah baca tulisan ini jadi pengen mampir ke Bantarujeg, Majalengka, hehehe.

Sisipan batuan karbonatan antara batupasir dan batulempung

Batuan karbonatan yang masih membingungkan darimana asalnya. Air bikarbonat sebagai endapan sekunder, atau ketika deposisi saat pertama terbentuk (?). Kemudian, apa mineralnya? kalsit kah?

Konglomerat dengan ukuran yang kasar terendapkan di antara batupasir dan batulempung

Breksi vulkanik dengan butiran menyudut tajam di Sungai Cijurey

Breksi di Sungai Cijurey, yang ditunjuk oleh bolpoin adalah bongkah karbonatan pada batuan vulkanik

Batuan karbonatan dilihat lebih dekat

Fold

Perlapisan batupasir dan batulempung, sebagian berfoto, sebagian sibuk mengukur arah perlapisan, termasuk saya lagi berfoto :D

Lipatan di salah satu dinding sungai

Bersusah payah menyeberang sungai yang arusnya lagi deras-derasnya. Akhirnya saya buat deh jembatan darurat,, :D

Saking asyiknya, Pak Nur Heriawan mengabadikan momen-momen penting penyeberangan, padahal di belakang ada yang sedang menghitung menggunakan metode lintasan kompas

Hikmah dari ekskursi, akhirnya sesama peserta jadi lebih akrab

Dosen pun ikut menyeberang :D

Bahkan ada yang tercebur ke sungai (best moment of the day)

Masih tentang tercebur sungai, daripada malu, cheers dan peace saja lah

korban hanyut karena terlalu kurus dan terbawa arus

Salam hangat dari Tambang Eksplorasi ITB
Share:

Monday, March 17, 2014

Panggilan Untukmu, Sang Yudha Bumi

Sudah lama saya mempunyai hobi untuk membaca, namun baru beberapa tahun saya menggemari hobi saya, untuk menulis dan bercerita. Dan hal yang mengubah hidup saya, adalah ketika saya membaca karya dari penulis yang saya kagumi, Pramoedya Ananta Toer. Penulis yang tidak pernah masuk ke dalam daftar buku atau penulis semasa kita bangku sekolah, karena memang sensor yang sangat ketat dari pemerintah, mengingat keterlibatannya dalam LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakjat), yaitu organisasi kebudayaan yang bersayap kiri, dan sangat kental dengan aroma komunisme. Mas Pram, begitu dia disebut, menelurkan puluhan karya, yang sudah banyak dikutip dan diterjemahkan ke dalam 41 bahasa asing, namun di negeri-nya sendiri, pengakuan akan kehebatannya sebagai satu-satunya penulis Indonesia yang masuk dalam nominasi Nobel Sastra sangat minim. Ironis. Nyai Ontosoroh, tokoh ibu dari Minke dalam novel Tetralogi Pulau Buru, pernah berkata. "Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun ? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. - Anak Semua Bangsa".


Kutipan ini yang saya gunakan untuk mengawali tulisan saya, tentang motivasi menulis, terutama saat ini, apa yang saya tulis mungkin sedikit mengutip salah satu bagian dari tim kecil yang ada di himpunan berlogo merah bergambarkan palu beliung, Yudha Bumi. Saya pun membatasi tulisan saya dalam aspek pertambangan, supaya tidak lari dari topik awal dari blog ini.


Yudha Bumi, dikutip dari bahasa Sansekerta dan Indonesia. Kalau kita coba telusuri makna Yudha, maka yang akan kita dapat adalah "peperangan". Tidak heran memang, dalam tokoh pewayangan, sering kita dengar Perang Baratayudha, yaitu perang di Kurusetra antara Pandawa dan Kurawa, yang merupakan klimaks dari kisah Mahabarata. Nah, apakah Yudha disini bermakna perang? Ketika saya masih berstatus mahasiswa dulu, saya mendapat penjelasan seperti ini, Yudha bermakna "penjaga", dan Bumi, tetaplah bermakna "bumi". Yup, penjaga bumi. Yap, semua dari kita adalah Sang Penjaga Bumi.

Masuk ke hal yang lebih detail, di tempat saya berpijak sekarang, dunia pertambangan, sekelumit kecil dari bentuk industrialisasi, kadang saya masih belum nyaman, walaupun saat ini saya bisa hidup dari hal yang membuat tidak nyaman tersebut. Pertambangan, mempunyai dampak positif:  
1. membutuhkan modal yang besar, 
2. memberi kesempatan kerja warga sekitar dan meningkatkan kondisi sosial, ekonomi dan budaya daerah setempat. (ilustrasi kegiatan pengeboran eksplorasi yang membutuhkan puluhan orang untuk memindahkan peralatan bor dari satu lokasi ke lokasi lain)
3. memberi kemungkinan alih teknologi
4. menjadi pusat pengembangan wilayah dan masyarakat setempat. 
5. menambah pendapatan daerah, dan devisa untuk negara. 


Namun, ada hal negatif dari kegiatan pertambangan, yang justru oleh banyak orang dikemas sedemikian rupa, sehingga malah isu ini yang selalu menyudutkan dunia tambang, terutama oleh aktivis lingkungan, warga, dan orang-orang yang bergerak di sektor pariwisata. Dampak negatif dari pertambangan antara lain:
1. Merusak (mengubah) lingkungan hidup, 
a. Tanah atas yang subur
b. Vegetasi dibabat, daerah menjadi gundul, maka akan mudah tererosi dan 
c. Kondisi fauna dan flora rusak, sehinga ekosistemnya juga 
d. Mencemari sungai, danau, dan 
e. Terjadi polusi suara dan udara (debu batu bara, debu jalan angkut, dll)
2. Mengubah morfologi dan tata guna lahan
3. Dapat menimbulkan kesenjangan sosial, ekonomi, dan budaya diwilayah setempat.



Apakah solusi nya dengan menutup tambang? Mari kita tidak bermunafik diri, industri yang sudah ada bahkan semenjak peradaban manusia, tidak dapat lepas dari kehidupan kita. Industri ini sudah muncul bersama-sama dengan industri pertanian, yang saat ini sangat dekat dengan kebutuhan kita. Emas kita pakai bukan hanya sebagai perhiasan, namun juga di telepon seluler atau di laptop kita; tembok memerlukan semen untuk bisa kuat berdiri; sehingga mustahil untuk meng-stop kegiatan tambang. Kita tidak bisa mengulang masa lalu dengan menutup semua tambang dan hidup tanpa bahan tambang. Yang bisa dilakukan adalah mengontrolnya supaya tetap berada dalam kaidah good mining practices, yang berwawasan lingkungan, mengingat sumberdaya alam merupakan non renewable resources, yang bisa habis bila kita tidak bersikap bijaksana dalam mengelolanya. (ilustrasi Jatam)


Dari situ, ada hal-hal yang sering luput dari pengamatan masyarakat.  Pertambangan tidak selalu berkaitan dengan mengambil sumberdaya bumi sampai habis, namun juga harus memikirkan konservasi bahan galian untuk masa depan, dan perusahaan pun wajib untuk melakukan reklamasi, rehabilitasi dan revegetasi. Ironis memang, kebijakan di Indonesia tidak berpihak di sektor ini. Ekspor batubara sangat gencar, padahal jumlah batubara kita hanya sedikit. Siapa yang jadi kambing hitam? Selalu pemerintah, namun tidak kah kita sadar, ketika orang-orang itu kelak akan pensiun, kita lah sebagai generasi muda yang akan menggantikannya. (gambar ilustrasi diambil dari tulisan ini)

Dari situlah, kita seharusnya bisa menentukan, dimana posisi kita seharusnya berada. Kita harusnya masih tetap bisa berpegang teguh dengan idealisme kita, kita yang harusnya menyuarakan idealisme itu dalam semua aspek pekerjaan yang akan kita jalani (tidak hanya di dunia tambang saja), namun tak hanya itu, kita juga harus bisa menuangkan dalam suatu karya, Indonesia Baru Yang Bermartabat dari Saat Ini juga. Yup, kita lah Sang Yudha Bumi yang membawa karya tersebut.


Banyak informasi yang sebenarnya kita tahu, namun mirisnya, media selalu memanfaatkan hal-hal untuk membawa keuntungan untuk mereka. Pengaruh media di dunia maya sudah sangat kuat, kita ini kecil, namun bukan kita harus melawan kedigdayaan atau meluruskan berita yang ada, namun berkepribadian lah, berorasi lah secara bebas, karena banyak hal yang kita tahu tentang dunia tambang, namun suara itu tak pernah sampai di dunia luar. (Gambar bekas tambang batubara Manda Pit di Fukuoka, yang diusulkan menjadi salah satu warisan budaya Unesco)

Kita mengenal akan program reklamasi tambang, kita mengenal adanya uang jaminan penutupan tambang, kita juga bisa bercerita ke dunia bebas tentang genesa emas atau panas bumi di gunung-gunung berfumarol atau bersolfatar, namun banyak dari kita yang termenung dan membiarkan semuanya seperti angin lalu. Hai Sang Yudha Bumi, bangun dari tidurmu, sebarkan informasi yang tidak sampai ini ke seluruh penjuru negeri, karena hanya 4% dari 235 juta rakyat Indonesia yang menjadi kaum intelek. 

Bekas tambang emas diurug dan direvegetasi/dihutankan kembali, Halmahera Utara, Maluku Utara (Tain dkk., 2005)

Luruskan lah apa yang memang salah, namun jangan pernah membenarkan apa yang sudah salah menjadi benar. Tambang tidak merusak lingkungan, kita lah yang memastikan untuk mengawal misi besar ini.  Katakan salah pada kapitalisme yang ada di tanah Indonesia ini, namun masalah tak kunjung selesai hanya dengan menyalahkan.  Kita lah yang akan memegang bangsa ini 10 atau 15 tahun mendatang, sehingga mari kita bergerak menjadi bagian dari solusi. Menyebarlah di seluruh Indonesia ini, hai Sang Yudha Bumi. Setiap kita bisa memilih jalan yang berbeda untuk penghidupan kita, namun satu hal yang sama, darah kita merah dan kita berdiri di atas bumi pertiwi Indonesia.  

Membaca lah kawan, kemudian berceritalah. Bercerita Atau, menulis lah kawan, karena hanya dengan menulis, kau bekerja untuk keabadian.

Selamat berkarya di dunia-mu masing-masing.
(klik gambar ini untuk masuk ke dalam web Yudha Bumi HMT ITB)

1. http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2013/12/30/reklamasi-tambang-itu-bagaimana-sih-622440.html
2. TINJAUAN REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG DAN ASPEK KONSERVASI BAHAN GALIAN,Sabtanto Joko Suprapto, Kelompok Program Penelitian Konservasi “Pusat Sumber Daya Geologi". http://psdg.bgl.esdm.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=609&It
3. http://yudhabumi.blogspot.com/


Klik Gambar di bawah untuk melihat artikel lain




Share:

Blog Archive

Kontak ke Penulis

Name

Email *

Message *