Conversations with the Earth

Endapan mineral di Finlandia dan Swedia

Perjalanan saya ke lingkaran kutub utara

Atlas of ore minerals: my collection

Basic information of ore mineralogy from different location in Indonesia

Sketch

I always try to draw a sketch during hiking

Apa itu inklusi fluida?

Inklusi fluida adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan adanya fluida yang terperangkap selama kristal tumbuh. Gas dan solid juga bisa terperangkap di dalam mineral.

Situ Cisanti di Pengalengan, Bandung

50 km dari Bandung, Situ Cisanti terkenal karena menjadi sumber mata air sungai Citarum

Monday, June 9, 2014

Gemludug Gelundung Pengolah Emas di Bunikasih, Pengalengan



Hari Jumat lalu, baru saja saya mengunjungi salah satu perkebunan teh di Selatan Bandung, bukan untuk survey teh atau berencana survei lahan untuk diakusisi oleh pemilik baru. Tahun ini, saya dan Dosen saya, mendapatkan dana hibah untuk melakukan penelitian emas di lokasi tambang rakyat, yang berlokasi di Bunikasih, Desa Sukaluyu, Kecamatan Pengalengan, Kabupaten Bandung. Hampir 3 jam kami mencapai lokasi tersebut, mengingat lokasi nya yang sangat jauh dan terpencil. Saya memang belum pernah kesana, namun adik-adik saya di Himpunan Mahasiswa Tambang (HMT) ITB, dan Himpunan Mahasiswa Biologi (Nymphaea) ITB memang sudah pernah mampir ke lokasi tersebut untuk melakukan pengabdian masyarakat (Community Development) ke masyarakat yang berada di sekitar tambang tersebut.Misi penelitian kali ini, adalah memberikan edukasi kepada masyarakat di sekitar tambang rakyat, supaya lebih berhati-hati dalam penggunaan merkuri atau air raksa. Video aktivitas mereka bisa dilihat disini.
Dibalik hijaunya perkebunan teh yang saya jumpai di Bunikasih, ternyata sekelebat saya lihat tenda-tenda berwarna biru berada di lembah. Kalau kita berada di lokasi tambang rakyat, tenda-tenda itu menunjukkan lokasi keterdapatan tambang rakyat. Dan memang benar, di bawah tenda tersebut, banyak penambang rakyat yang sedang menggelundung batuan yang didapat dari urat kuarsa yang diambil dari dalam lubang. 



Kalau dilihat secara lebih cermat, secara mineralisasi dan alterasi, tampak komoditi tambang yang ditambang  di Bunikasih, merupakan emas, dengan tipe endapan berupa urat (vein). Urat kuarsa nampak teramati bersama-sama sedikit mineral sulfida berupa pirit dan kalkopirit. Sedangkan alterasi yang teramati adalah argillik yang didominasi oleh mineral lempung, serta alterasi propilitik yang didominasi oleh kemunculan klorit, albit dan epidot. Jika kita akan mengklasifikasikan secara lebih mendalam, tipe endapan nya merupakan endapan sulfidasi rendah. Bentuk endapan yang menyerupai urat ini mengharuskan penambang harus menambang dengan metode tambang bawah tanah. Hal ini lebih menguntungkan, karena volume tanah yang dikupas akan jauh lebih sedikit, dibandingkan dengan tambang terbuka. 



Lubang-lubang yang ada umumnya mempunyai kedalaman mencapai 40 meter, bahkan ada yang lebih. Diameter lubang pun hanya muat untuk 1 orang, sambil merayap keluar masuk dari lubang tersebut. Di dalam lubang, mereka mengikuti arah dari urat kuarsa yang berwarna putih, tanpa memberikan penyanggaan di sekitar lubang bukaan tersebut. Mengerikan, sudah banyak penambang yang akhirnya tertimbun akibat tidak adanya penyanggaan di dalam lubang. Kegiatan penambangan bawah tanah dengan metode gophering ,yaitu membuat lubang untuk mengejar bijih berharga (ore). 



Tipe endapan epitermal banyak dijumpai di Jawa Barat bagian Selatan, dan memang banyak penambang bawah tanah yang berkeliling di Indonesia berasal dari Jawa Barat, seperti dari Tasikmalaya, Sukabumi dan Garut. Saya pernah mengulas kehebatan mereka di tulisan sebelumnya, sebagai contoh kegiatan penambangan emas di Purwakarta  , penambangan di Garut , dan kehebatan penambang dari Sukabumi .



Di atas, sudah ada rekan yang siap menggerus batuan tersebut menjadi lebih kecil dengan meremukkan batuan dengan bantuan palu dan semacam alat yang digunakan untuk menggengam batuan yang dibuat dari potongan ban. Batuan yang sudah halus, kemudian dikumpulkan, untuk kemudian digelundung dalam tabung yang terbuat dari besi, untuk diputar dengan bantuan mesin atau bantuan air, yang di bagian dalamnya sudah diberi bola-bola besi. Fungsi bola besi ini adalah meremukkan batuan yang ada di dalamnya, sehingga mineral akan terliberasi dengan sempurna, sehingga emas yang semula terinklusi dalam batuan akan menjadi butiran bebas. Dalam metalurgi, istilah gelundung kita kenal dengan metode ball mill, yang ilustrasinya bisa dilihat di bawah ini.





Untuk memudahkan kerja penambang, kadang kala mereka menambahkan air raksa, yang sering disebut sebagai Kuik, yang berfungsi mengikat emas yang sudah terliberasi sehingga menjadi amalgam, yaitu emas murni yang diselimuti raksa. Amalgam yang ada, kemudian dibakar, dan ulasannya sudah pernah saya bahas di tulisan sebelumnya, tentang betapa bahayanya pengolahan tambang dengan membakar amalgam, atau istilah umumnya gebos atau menge-joss-kan emas, berdasarkan kunjungan saya ke Pongkor, Bogor.


Saya pun kebingungan bagaimana akan menutup tulisan ini, karena realita yang ada, sangat banyak penambang yang sukses berkat lubang-lubang emas tersebut, namun lebih banyak juga orang yang meninggal, bukan hanya tertimbun dalam lubang galian mereka, terutama keluarga yang dapat saja terkena dampak akibat air yang tercemar oleh merkuri. Jadi, mari kita berhati-hati dengan penggunaan merkuri.


Sumber:
http://projects.inweh.unu.edu/inweh/inweh/content/1223/IWLEARN/Outreach%20Materials/issue-1-august-2006-englishs.html



Share:

Sunday, May 25, 2014

Menanjak ke Wagirsambeng dan Dakah, Mengagumi Amphiteater Karangsambung

Terhitung enam kali sudah saya mengunjungi kampus geologi Karangsambung, yang berlokasi 19 km di Utara Kebumen, Jawa Tengah. Memang jauh lebih sedikit dengan kunjungan senior-senior saya, yang sudah berinteraksi dengan kampus geologi ini, namun walaupun begitu, saya begitu bersyukur, pelan-pelan saya mulai mengenal lebih intim dengan batuan-batuan dan bentukan alam yang bisa dibilang "tumplek bleg" di lokasi yang tidak terlalu luas. Seperti biasanya, saya selalu membuat spesial tulisan yang saya buat. Ide untuk menulis memang sudah ada, tapi ilham-nya baru turun di hari terakhir di Karangsambung sebelum saya pulang ke Bandung.

Sudah banyak peneliti meneliti daerah ini, seperti yang dikaji oleh:
- Verbeek (1891) tentang keterdapatan batuan Pra Tersier yang berumur 140 juta tahun lalu di Kali Luk Ulo;
- Harloff (1933) yang melakukan pemetaan geologi seluruh daerah Karangsambung;
- Tjia (1966) dan Sukendar Asikin (1974) yang melakukan pemetaan detail, serta mengulas Karangsambung dalam penelitiannya; dan
- Sukendar Asikin (1974) yang mengulas daerah Karangsambung menggunakan Teori Tektonik Lempeng.
Dari nama-nama di atas, hanya beberapa yang saya kenal. Verbeek karena namanya diabadikan sebagai nama Pegunungan di Sulawesi Tengah; Prof Tjia yang termasuk geologis senior, dan mengajar di University Kebangsaan Malaysia; serta Prof. Sukendar Asikin, kalau boleh saya bilang "Bapak"-nya Karangsambung, karena beliau lah akhirnya Karangsambung menjadi kampus geologi seperti sekarang.

Di lokasi ini, banyak bentang alam yang menarik yang bisa dilihat oleh semua orang, baik oleh orang awam maupun orang-orang yang berkecimpung di ilmu kebumian, mulai dari kampus geologi ataupun pertambangan di Pulau Jawa dan luar Jawa. Di lokasi ini, tersingkap beraneka batuan dari berbagai umur di lokasi yang berdekatan satu sama lain, serta ditemukannya berbagai komoditi tambang, baik yang masih aktif ditambang hingga sekarang maupun yang sudah dikonservasi oleh LIPI. Banyak tempat yang menarik dikunjungi di kampus lapangan Karangsambung ini. Informasi ini bisa dilihat di web resmi LIPI Karangsambung di web ini.  Kalau kita berselancar di dunia maya, banyak penulis yang terkesan dengan keindahan ini, dan menulis tulisan dalam blog nya, dan informasi geologi yang ditampilkan juga sudah banyak. Saya coba ulas beberapa tempat yang menarik untuk dikunjungi ketika Anda berkunjung ke kampus lapangan ini.

1. Kampus LIPI dan Batugamping Numulites
Kampus ini berada di depan Kantor Kecamatan dan Puskemas Karangsambung. Lokasi nya ditandai oleh adanya gapura yang bertuliskan LIPI, dan pengelolaan di dalamnya boleh saya bilang cukup profesional. Disediakan ruang kuliah, asrama, guest house, ruang rapat, perpustakaan, bengkel dan penjualan batumulia, serta koleksi batuan-batuan yang ada di sekitar kampus geologi ini.
Di depan kampus ini, dapat dijumpai batugamping numulites, yang masih menunjukkan adanya fosil-fosil di masa batuan tersebut. Lokasi lain untuk melihat batugamping ini adalah di BPR yang berada di sebelah Utara kampus, namun sayang singkapan yang ada di jalan raya di antara kampus dan BPR sudah di tutup dengan cor-coran untuk jalan desa. 


2. Puncak Wagirsambeng
Dari banyak lokasi yang ada di kampus ini, saya mendahulukan lokasi ini karena setelah enam kali datang ke kampus geologi ini, baru sekali saya mengunjungi Wagirsambeng, yang terletak di sebelah Barat dari Kampus, dan harus menyeberangi dulu Jembatan yang melintasi  Kali Luk Ulo dan Kali Cacaban. Wagirsambeng terletak di Desa Wonotirto, Kecamatan Karanggayam. Untuk mencapai puncaknya, diperlukan perjalanan sekitar 45 menit dari Jembatan di Luk Ulo hingga puncaknya. Jalanan bervariasi, namun didominasi oleh tanjakan, namun setelah sampai di puncak, kita dapat melihat dengan jelas amphiteater Karangsambung, dengan pemandangan yang indah. Fenomena meandering Kali Luk Ulo, sinklin di Gunung Paras, rekonstruksi antiklin, serta fenomena alam lain seperti Gunung Brujul, Paras, Dakah dan Jatibungkus teramati dengan sangat baik. Sampai di atas, kita akan menjumpai perselingan antara batugamping merah dengan baturijang dengan ukuran yang sangat besar, yang sempat membuat saya terheran-heran, mengapa batuan laut dalam yang biasa dijumpai di sungai di sekitar daerah Totogan dan zona Melange (bancuh) tiba-tiba bisa berada di puncak bukit. Hmmmmm....


3. Gunung Parang
Kekar kolom diabas, menurut beberapa ahli merupakan sill yang terbentuk dari baruan beku basa dengan tekstur batuan diabasik, dapat kita jumpai ketika kita berjalan dari kampus menuju arah Utara sekitar 1 km. Sebagian dari Gunung Parang sudah di konservasi oleh LIPI, namun sisanya ditambang oleh warga untuk dijadikan sebagai split atau bahan konstruksi. Ironis memang kalau harus selalu dihadapkan dengan kondisi tambang rakyat. Memberikan pembinaan kepada penambang sering disalahartikan dengan memberi ijin legal kepada kegiatan penambangan tersebut, padahal tidak seharusnya kita mengambil mentah-mentah seperti itu. Coba bayangkan, dengan bentukan lereng yang tegak, bagaimana jadinya jika tiba-tiba terjadi longsoran, mengingat banyaknya rekahan-rekahan yang di diabas tersebut. Dengan pemberian pemahaman geoteknik atau K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) kepada para penambang, resiko kecelakaan tambang dapat dicegah. Namun tetap, perlu ada pemahaman bahwa tambang merupakan bahan galian yang tidak terbarukan. Ketidakbijaksanaan dalam pengelolaan tambang akan berakibat fatal di masa mendatang.

4. Watukelir dan Lava Bantal
Di komplek Melange, dimana seluruh batuan tercampur aduk, yang semula ada di bawah tiba-tiba ada di atas, hukum perlapisan batuan menjadi membingungkan karena bentuknya yang tegak, nah, di Kali Muncar itulah semuanya dapat kita temui. Adanya perselingan rijang dan batugamping merah, yang semula mengikuti prinsip horizontal, akhirnya menjadi tegak. Begitu pula dengan fenomena lava bantal. Lava yang ditemui sebagai akibat pemekaran dari tengah lantai samudera akibat proses divergen, bentukannya dapat kita jumpai seperti menumpang di atas rijang dan batugamping tersebut. Batuan yang berasal dari laut yang sangat dalam, muncul menyerupai bantal. Lava bantal ini sama seperti lava pahoehoe yang ada di Hawaii, atau pun yang berbentuk seperti selendang yang ada di THR Juanda, Dago. Di Karangsambung sendiri, lava bantal juga bisa kita jumpai di Kali Mandala, yang hanya berjarak sekitar 100 meter di bawah Gunung Parang.





=======================================================================
Di samping ulasan di atas, masih banyak sebenarnya lokasi di Karangsambung yang dapat kita lihat dan kita pelajari, namun karena belum keluar lagi inspirasi untuk menulis, suatu saat nanti penulis akan tambahkan lagi di masa mendatang. Saya coba kutip beberapa tempat yang disarankan untuk dikunjungi, yang ulasannya menyusul kemudian.

5. Sekis Mika



6. Microstructure Filit

7. Serpentinit

8. Batupasir, Formasi Waturanda

9. Batugamping, Bukit Jatibungkus

10. Konglomerat, Pesanggrahan

11. Panorama Dakah

12. Breksiasi Kali Mandala

13. Mata Air Panas, Krakal

14. Lempung Formasi Panosogan, Kedung Grigis

15. Efek Bakar di Lempung, Formasi Karangsambung

Share:

Friday, April 25, 2014

Sawahlunto, Menatap Masa Depan Menjadi Kota Wisata Tambang



Sudah hampir 120 tahun yang lalu, kota ini merupakan saksi awal mula aktivitas penambangan batubara yang ada di Indonesia. Adanya bekas peninggalan semasa kolonialisme Belanda  terekam secara baik dan tersusun rapi di kota yang tersembunyi di balik perbukitan yang lebat. Kota ini berjarak sekitar 90 km dari Kota Padang ke arah Timur Laut, ditempuh dengan perjalanan mobil selama hampir 3 jam.


Sawahlunto, dulunya merupakan kota tambang, mempunyai visi mendatang yang baik, yaitu menjadikan Kota Wisata Tambang yang Berbudaya di tahun 2020. Hal ini sepertinya mendorong Sawahlunto untuk tidak lagi ter-stereotype kan dengan aktivitas penambangan di masa lalu, yang merupakan masa kelam bagi orang-orang rantai dan para penambang liar yang kerap kali mendapat musibah dengan meledaknya tambang akibat gas metan. Andai saja, di daerah lain bisa meniru kota ini, dengan tidak meninggalkan lubang-lubang bukaan yang dibiarkan menganga tanpa adanya reklamasi dan penutupan tambang yang baik.


Di kota ini, geolog Belanda, Ir C De Groot van Embden pada tahun 1867 dan Willem Hendrik De Greve pada 1870 menemukan endapan batubara, yang berlanjut dengan publikasi dari De Greve pada tahun 1871 di negara asal Kincir Angin. Hal ini yang membuat eksploitasi di daerah tersebut dimulai sejak 1892. Sayangnya, sang penemu endapan tersebut, De Greve tidak sempat melihat hasil temuannya di Sawahlunto. Dia meninggal ketika hanyut pada saat mengeksplorasi endapan di Sungai Batang Kuantan pada tahun 1872. Hal ini yang membuat saya kagum, dimana Dinas Pariwisata Pemerintah Kota Sawahlunto mengabadikannya dalam sebuah buku yang berjudul "Jejak de Greve Dalam Kenangan Sawahlunto."




Di lokasi tempat saya mengambil foto ini, terdapat Gedung Pertemuan Buruh, yang kini berubah nama menjadi Galeri Info Box pada tahun 1947. Tempat ini dulunya merupakan tempat dilaksanakannya berbagai aktivitas buruh dan karyawan, mulai dari hiburan wayang kulit hingga layar tancap, terutama setelah buruh menerima upah. Tidak jauh dari lokasi itu, terdapat sebuah lubang yang bernama Lubang Mbah Suro/ Soero, yang dibuka pertama kali pada tahun 1898 dan ditutup pada tahun 1932 karena topografi yang lebih rendah dibanding sekitarnya, mengakibatkan air masuk dengan sangat deras dan membanjiri lubang tersebut. 

Mbah Suro sendiri, menurut Juru Kunci dan pemandu wisata, bernama Sami Suro Santiko, merupakan mandor yang tegas, pekerja keras, dan disegani oleh orang-orang di sekitarnya. Mbah Suro merupakan mandor bagi orang-orang rantai, yaitu sebutan bagi buruh tambang yang kakinya diberi rantai, yang berasal dari seluruh jajahan Belanda di negara Hindia (Indonesia pada jaman dahulu). Dari referensi yang saya baca dari buku "Lorong-lorong Kelam Perantaian", Sawahlunto merupakan daerah buangan dari penjara-penjara yang ada di Jawa, Manado, Bukittinggi, dan daerah-daerah lain, yang mempunyai reputasi negatif karena perlakuan hukuman cambuk yang tidak manusiawi kepada para pekerjanya.
Di Galeri Info Box, saat ini berfungsi sebagai museum yang menunjukkan genesa atau asal batubara, sejarah penambangan batubara di Sawahlunto, serta peralatan yang digunakan yang digunakan untuk kegiatan penambangan tersebut. Menurut opini saya, informasi yang diberikan di dalam museum ini sangat informatif, menarik, dan mudah dicerna oleh orang awam. Umumnya, di museum ini disajikan dokumentasi baik dalam foto maupun maket/miniatur dari hal yang berhubungan dengan tambang batubara Sawahlunto, yang boleh saya nilai tidak kalah dengan museum tambang batubara yang pernah saya datangi di distrik Omuta, Fukuoka, yang ulasannya pernah saya tulis dimari



Ketika kita masuk ke dalam lubangnya, portal masuknya miring ke bawah sekitar 45 derajat, dan di bagian tengah dari tunnel atau terowongan sudah dipasang pegangan untuk membantu pengunjung masuk ke dalam terowongan. Tangga sudah dibuat, dan pada beberapa level penambangan, telah ditutup dengan paving block sehingga berada di dalam di terowongan, tidaklah semenakutkan cerita yang mungkin terjadi di jaman dahulu. Pemompaan secara reguler juga dilakukan dengan drainase yang baik, perkuatan juga sudah dilakukan di sepanjang lubang bukaan, membuat pengunjung tidak perlu khawatir dengan keselamatannya di dalam lubang bukaan ini. Udara pun sudah dimasukkan menggunakan kipas (fan), sehingga pengunjung tidak merasa kepanasan dan dapat bernafas dengan normal. Patut diapresiasi memang upaya Sawahlunto untuk mengubah citra dari kota tambang, menjadi kota wisata tambang.


Tidak jauh dari Lubang Mbah Soero, kita dapat menjumpai bekas peninggalan kolonialisme yang lain, yaitu Museum Kereta Api Sawahlunto, dan Gudang Ransoem. Di Museum Kereta Api ini, kita dapat melihat gerbong kereta api Mak Itam, yang dulu digunakan untuk mengangkut batubara, yang kini sudah berubah menjadi kereta wisata. Disini juga kita dapat menjumpai kereta yang berbahan bakar diesel. Kalau saya tidak salah, lokomotif dan gerbong Mak Itam pernah digunakan untuk mengangkut rombongan peserta Tour De Singkarak pada tahun 2012 menuju garis start-nya. Kereta itu merupakan kereta wisata yang beroperasi pada hari Minggu. Namun sayangnya, Tour De Singkarak tahun ini mungkin tidak akan menggunakan kereta Mak Itam , karena masih dalam tahap reparasi di Dipo Kereta Api Solok.
Di dalam museum ini, terdapat segala hal yang berhubungan dengan perkereta apian, mulai dari jam yang biasa kita lihat di Stasiun, timbangan, miniatur lokomotif, dokumentasi fotografer, dan sejarah kereta api di Indonesia. Tiketnya pun sangat terjangkau, hanya Rp 3.000,- untuk dewasa, beda tipis dengan tiket masuk Lubang Mbah Suro, yang ga kalah murahnya, Rp 8.000,- untuk dewasa. 





 

Dan Sawahlunto masih punya satu lagi museum yang ikonik menunjukkan kolonialisme Belanda di jaman dahulu, yaitu Museum Goedang Ransoem. Di tempat ini, terdapat peninggalan alat-alat masak yang dipergunakan untuk makanan sehari-hari dari seluruh buruh yang bekerja di Sawahlunto. Mulai dari kuali, wajan, tungku, ukurannya sangat besar. Kalau iseng, tinggal lompat masuk ke dalam kualinya, bisa tuh buat maen petak umpet, hehehe. Selain digunakan sebagai alat masak, di sisi depan dari Museum ini adalah museum kebudayaan masyarakat Minang, serta beberapa ras yang ada di Indonesia. Pakaian adat, kebudayaan, dan tradisi pernikahan di beberapa daerah juga terekam baik di Museum ini, yang membuat pengunjung tidak hanya dimanjakan oleh rekam jejak kolonialisme Belanda, namun kekayaan budaya Indonesia.










 



kalau bukan kita sendiri yang mengenang dan menghargai sejarah nenek moyang kita di masa lampau, lantas, siapa lagi....?

Baca Juga



sumber:
1. Buku "Lorong-lorong Kelam Perantaian" karya Erwiza Erman
2. Buku "Jejak De Greve Dalam Kenangan Sawahlunto" karya Yonni Saputra
3. Buku "Pekik Merdeka dari Sel Penjara dan Tambang Panas" karya Erwiza Erman
4. http://www.sawahluntokota.go.id/pariwisata/wisata-kota-tua/lubang-mbah-soero.html

Share:

Blog Archive

Kontak ke Penulis

Name

Email *

Message *