Conversations with the Earth

Endapan mineral di Finlandia dan Swedia

Perjalanan saya ke lingkaran kutub utara

Atlas of ore minerals: my collection

Basic information of ore mineralogy from different location in Indonesia

Sketch

I always try to draw a sketch during hiking

Apa itu inklusi fluida?

Inklusi fluida adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan adanya fluida yang terperangkap selama kristal tumbuh. Gas dan solid juga bisa terperangkap di dalam mineral.

Situ Cisanti di Pengalengan, Bandung

50 km dari Bandung, Situ Cisanti terkenal karena menjadi sumber mata air sungai Citarum

Sunday, December 19, 2021

Annual Convention MGEI 2021: selesai sudah

Lega....

3 bulan bekerja bareng buat nyiapin Annual Convention nya MGEI, akhirnya berakhir 16 Desember yang lalu. Selama 3 bulan di masa pandemi, praktis komunikasi dilakukan secara virtual. Posisi saya di Bandung, dan teman-teman panitia yang tersebar di Jakarta atau di site di beberapa tempat di Kalimantan. Lega, soalnya kebetulan tahun ini saya diminta tolong buat jadi ketua panitia. Kuliah di semester ganjil cukup padat, jadi kudu bisa ngebagi2 waktu dengan pekerjaan dan keluarga. Selama 3 bulan ini, saya usahakan untuk rapat sebelum Maghrib, karena setelah Maghrib biasanya energi sudah habis, dan saya juga harus bantu membantu dengan istri untuk nyiapin makan malam dan beres-beres rumah.  
Buat yang penasaran, ini teasernya...

Acara ini sebenarnya rangkaian acara mulai dari Student Research Poster Contest, dilanjutkan dengan Workshop, virtual seminar dan  diakhiri dengan field trip. Kelihatannya sepele, acara webinar plus beberapa rangkaian acara, tapi bisa ngebuat saya tumbang sepulang dari ikut bantu teknis acara di Jakarta. Saya ga bekerja sendiri, karena tim yang bantuin banyak banget, dan saya bersyukur mereka mau meluangkan waktu saling back up ketika yang lain berhalangan.


Selain rangkaian acara di atas, diadakan juga rangkaian pemilu MGEI, untuk memilih ketua yang baru untuk tahun 2021-2024. Calon ketua di tahun ini cuma ada 1 orang, sehingga dengan aklamasi akhirnya ketua MGEI masih dilanjutkan oleh Pak STJ Budi Santoso untuk 3 tahun berikutnya. Tentang pemilu ini, kita harus mencalonkan orang lain untuk bisa menjadi calon ketua. Ada  yang menulis nama saya menjadi calon, tapi dengan kesibukan utama di pekerjaan dan keluarga, saya minta izin mundur dari proses pemilu.
 
Di webinar kali ini, panitia MGEI (terutama berkat bantuan dari Pak Zardi Dahlius) bisa menghadirkan salah seorang menteri. Banyak yang senang karena menteri tersebut hadir sebentar. Memang jadi lebih tricky berurusan dengan birokrasi, perubahan jadwal berlangsung secara mendadak, bahkan sampai H-5 menit dari acara. Bagaimanapun itu, inilah suka duka berkegiatan di bumi pertiwi. 


Selain menjadi ketua Annual, saya juga diminta untuk menjadi moderator di sesi Jeffrey Hedenquist dan Zhaoshan Chang. Buat yang berkutat dengan dunia pertambangan emas dengan komoditi epithermal dan porfiri, nama pertama sangat dikenal. Saya sendiri pernah bertemu dan berbincang sebentar waktu konferensi dari SGA diadakan di Quebec City, Kanada di tahun 2017. Waktu itu saya masih menjadi mahasiswa S3 dan mempresentasikan penelitian saya disana.
Waktu saya sedang aktif-aktif mencari sekolah S3 dulu, Zhaoshan pernah mengumumkan bahwa dia sedang mencari mahasiswa untuk meneliti Far South East di Filipina. Saya baca lowongan itu, namun ragu untuk mengapply lowongan itu. Zhaoshan, yang saat ini bekerja di CSM (Colorado School of Mines), dikenal karena keahliannya di bidang skarn. Ketika berkomunikasi dengan keduanya melalui email, kesan yang saya dapat, keduanya sangat sederhana dan tertata, terutama Jeff. Sampai sebelum manggung, Jeff masih mengemail saya secara personal untuk memastikan semua acara berjalan dengan lancar. 
Setelah sesi keduanya, moderator berhalangan, sehingga saya diminta untuk menggantikan. Sesi dari NHM (Pak Denny Lesmana, Pak Tomy Octaviantana), Agincourt (Pak Janjan) dan UGM (Pak Ferian Anggara) membahas tentang konservasi mineral dan keterdapatan REE di fly ash dan batubara. Istilah konservasi mineral, buat saya ambigu. Kalau dilihat dari bahasa, saya anggap turunan dari conservation, artinya menyimpan. Menurut turunan dairi UU, konservasi mineral artinya memanfaatkan yang berkadar rendah, sehingga tidak ada yang "mubadzir". Terlepas dari itu semua, maksudnya baik, menggunakan sehingga tidak dibuang. 

Buat yang ketinggalan mengikuti webinar, masih bisa menonton acaranya di Youtube MGEI di laman ini. Semoga tahun depan bisa offline, biar waktu coffee break bisa ngobrol2 dengan peserta lain. Kebetulan setelah acara, Mas Gayuh, ngontak saya, katanya ada foto2 lama waktu di Sentul. Waktu itu saya sempat mengisi acara dan membawakan tentang aplikasi Raman spektroskopi (bisa di download disini) untuk eksplorasi mineral. Setelah acara itu, saya akhirnya sadar, tidak semua teknologi terkini bisa digunakan untuk eksplorasi. Perusahaan, tentunya akan memilih asalkan 2 syarat terpenuhi: 1, murah, syarat kedua, murah. Hehe..



Behind the show, foto panitia di sekre dan the after party.




Share:

Sunday, May 30, 2021

Brunton Axis 5012: review dan perbedaan dengan kompas lain

Saya pernah menggunakan kompas: Silva, Freiberg, Brunton transit (tipe 5006, 5008, 5010),  dan sekarang saya coba memakai Brunton axis (tipe 5012). Keperluan saya, sebagai seorang eksplorer adalah penentuan kedudukan, azimuth, pengukuran sudut (klinometer, kemudian menentukan ketinggian dari suatu obyek), menentukan arah dan kemenerusan urat (misal pada urat kuarsa yang membawa emas). 

Untuk yang awam tentang penggunaan kompas geologi, tulisan saya yang ini mungkin dapat membantu membayangkan apa yang kami lakukan dengan kompas.

Kesulitan kompas Silva (bagi saya) adalah perlunya pemutaran pembacaaan derajat untuk pengukuran jurus dan dip. Saat ini banyak yang menggunakan kompas Silva, terutama di belahan dunia bagian Utara karena bahan kompas ini berbahan dasar akrilik dan tidak berbahan dasar logam. Karena ringan, biasanya kompas ini menjadi pilihan untuk mendaki gunung. Karena berbahan akrilik, sehingga tidak dingin saat dipegang di musim dingin, terutama ketika ski. 

Kompas Silva saat mengukur kemiringan lereng

Kompas Freiberg saya gunakan waktu saya kuliah di Austria, namun tidak digunakan di Indonesia. Kompas ini compact dan akurat, cuma harganya cukup mahal dan waktu yang digunakan untuk pengukuran lebih lama (buat saya, karena saya tidak terbiasa). Kompas Freiberg kadang disebut juga dengan kompas Breithaupt. 

Kompas Freiberg
(sumber: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:FPM_compass_with_annotation_en.svg)

Kompas Brunton tipe 5006 dan 5008 mempunyai bagian yang sedikit menonjol di bagian bawah sisi kompas, sehingga pengukuran strike agak sulit pada kemiringan (dip) yang landai. Permasalahan ini bisa dengan mudah terselesaikan pada kompas Freiberg dan Brunton 5010 (kompas Brunton yang memiliki hinge inclinometer (bentuk membundar di bagian belakang kompas yang digunakan untuk pengukuran sudut). Sampai akhirnya, tipe baru Brunton keluar di pasaran, yaitu Brunton 5012 dengan fitur yang menurut saya optimal, terutama untuk keperluan eksplorer atau geologis di lapangan.

Brunton transit 5006. Foto almh Neli Iklima, sewaktu saya mengukur perlapisan di serpentinit di Pulau Obi. Perhatikan arah Utara yang sejajar dengan arah azimuth kompas ini. Bandingkan dengan foto berikutnya, dimana penunjuk arah Utara berubah di Brunton Axis 5012.

Perubahan bentuk kompas pada Brunton Axis: cermin tidak lagi digunakan, arah Utara penunjuk kompas berpindah ke sisi kanan dari kompas
Pengukuran strike dan dip pada bidang dengan kemiringan yang besar

Pengukuran strike dan dip pada lapisan dengan kemiringan yang rendah

Brunton 5012 ini sesuai dengan kebutuhan saya, dan perhitungan struktur dapat dilakukan dengan cepat. Pada tipe Brunton lama (5006, 5008, 5010), untuk mengukur strike kita perlu membuat garis pemandu dengan menggesekkan kompas atau menggores dengan pena/ pensil pada kertas yang ditempelkan pada clipboard. Hal ini memerlukan waktu dan ketelitian tinggi. Hal ini kemudian dimodifikasi pada tipe Brunton 5012, yang menurut saya menyerupai fitur dari kompas Freiberg.

Pengukuran pada struktur yang menggantung sangat menarik, karena hal ini tidak bisa dilakukan di tipe kompas geologi lain. Pada tipe lain, kita harus berhati-hati, karena kemungkinan menentukan arah strike dan dip dapat keliru. Dengan Brunton Axis, kita bisa menggunakan punggung kompas dan membentuk sudut lancip: strike dan dip langsung dapat diukur.

Pengukuran struktur pada bidang yang menggantung. Ilustrasi dari tanah liat dan blok kayu ini saya buat untuk menggambarkan lipatan, dimana dip dari perlapisan akan berubah secara bergradasi dari landai hingga terjal

Eyesight di Brunton 5012 dan menggantikan fitur lubang azimuth (yang menyerupai segitiga) yang biasa ada kompas geologi. Fitur ini digunakan untuk menentukan azimuth (bearing direction) dan klinometer. Masalah harga, kompas ini lebih mahal dibanding Brunton tipe biasa, namun masih di bawah kompas Freiberg. Saya sendiri puas dengan Brunton 5012 ini. Semoga bisa bertahan sampai saya pensiun. 

Ini ada beberapa video yang saya buat. Enjoy!

1) Mengukur azimuth dan sudut lereng

2) Mengukur sudut lereng dengan kompas geologi


3) Membandingkan kompas Brunton Transit, Brunton Axis, dan Silva untuk mengukur jurus dan dip
Supaya terbayang apa yang saya amati selama di lapangan, ini ada beberapa koleksi foto lama.
Perselingan batupasir dan batulempung di Kalikudu, Karangsambung
Perlapisan batunapal dan batupasir arenit (?) di Kalikudu

Perselingan napal dan batulempung, Karangsambung
Perlipatan pada lapisan batubara. Lihat di bagian kiri dip tegak, di bagian kanan terlipat hingga mendatar. Mahakam Ulu.
Perlipatan pada batulempung dan batupasir. Bantarujeg
Batu dinding, Mahakam Ulu.
Share:

Friday, May 7, 2021

Lebih baik terlambat daripada belum memulai

7 Mei 2021, jam 00.15. Malam ini saya terbangun, karena ada hewan kecil yang lewat di atas kepala saya. Karena reflek, langsung kebangun dan akhirnya tidak bisa tidur lagi.

Akhirnya saya wudhu, mencoba i'tikaf di masjid. Hal yang baru 1x saya lakukan di puasa tahun ini. Tahun-tahun sebelumnya sudah pernah mencoba juga, tapi jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Seingat saya, pertama kali mencoba waktu umur 28 atau 29an, ketika saya pulang dari Austria.

Jujur, sampai dulu saya masih bingung, kenapa hal yang bisa dilakukan di rumah, seperti solat tahajud, tadarus, berdzikir harus dilakukan di masjid. Akhirnya saya sadar, iman itu kadang di atas, kadang di bawah. Perlu waktu untuk saya buat memahami pertanyaan yang saya kemukakan sendiri di atas. Kurang lebih seperti ini mungkin yang dialami para Anbiya, Nabi, orang-orang lain untuk menjawab pertanyaan tentang ketauhidan, ke-Tuhanan, dan masalah kepercayaan akan ke-Esa an Allah.

Saya jadi teringat, iman saya pernah di naik turunkan oleh Allah. Kadang saya merasa dekat sekali dengan Allah, kadang saya jauh. Hal yang saya alami, selama saya tinggal di Austria adalah fase terendah iman saya. Khutbah Jumat sangat jarang saya pahami karena keterbatasan bahasa, mengingat khotib menyampaikan khutbah dalam bahasa Turki, bukan dalam bahasa Jerman yang sedikit saya pahami.

Bukan pembenaran memang untuk hal ini, di era digital semua bisa dilakukan dengan streaming. Akhirnya dulu saya coba dengarkan kultum dari beberapa masjid, tapi tetap saja, fase 2015-2017 adalah fase terkosong dari keimanan saya.

2021 apa kabar? Kenapa baru 1x i'tikaf? 3 anak membuat energi terkuras. Sulit sekali untuk bangun malam. Tapi lagi-lagi, bukan waktunya untuk mencari pembenaran atas hal yang belum saya kerjakan selama ini. Beruntung akhirnya ada hewan yang lewat di kepala saya, yang membuat saya ingat. Keimanan itu harus dipupuk, waktu di bawah harus di naikkan lagi. 

Belum terlambat untuk memulai hal baru. Ditemani secangkir teh yang dibawa dari rumah, akhirnya mulai terjawab, kenapa i'tikaf, kenapa di masjid, dan kenapa-kenapa yang lain. Masih banyak yang harus saya pelajari tentang Islam. Ayo, bareng-bareng belajarnya. Ga ada kata terlambat untuk memulai kebaikan.

ayah
Share:

Wednesday, November 18, 2020

Lithium: biar sedikit tapi dicari-cari


Lepidolit, mineral mika yang kaya akan litium. Kadang berwarna pink, kadang keunguan. Foto penulis.

Lithium adalah logam alkali pertama yang terletak di tabel periodik di golongan I. Lithium merupakan salah satu logam primadona dalam beberapa decade terakhir. Mengapa harus lithium? Bukan hanya lithium sebagai logam kritis yang diperlukan oleh masyarakat modern, lithium juga dapat menjawab pertanyaan untuk peneliti saat ini.

Lithium dijumpai pada baterai peralatan elektronik dan moda transportasi masyarakat modern kendaraan listrik atau hybrid. Lihat tulisan Li-ion, yang menunjukkan hampir semua elektronik membutuhkan lithium. Foto penulis.

Lithium ditemukan dua ratus tahun yang lalu, mempunyai nomor atom 3, mempunyai keterdapatan yang sangat rendah di kerak bumi mencapai 21 µg/g. Nama lithium berasal dari Bahasa Latin dari batuan “lithos” karena awalnya unsur ini diisolasi dari mineral, berbeda dengan alkali lain seperti sodium (Na) dan potassium (K) yang didapatkan reaksi elektrolisis [1]. Lithium adalah logam penting yang digunakan dalam kehidupan modern kita sehari-hari. Saat anda membaca tulisan ini, sangat besar kemungkinan bahwa pembaca akan menggunakan peralatan elektronik (laptop, tablet, smart phone) yang dilengkapi dengan baterai lithium-ion. Ketika kita mengendarai kendaraan elektronik atau kendaraan hybrid (walaupun belum banyak di Indonesia), kendaraan tersebut juga dilengkapi dengan baterai yang mengandung lithium. Dalam ilmu Kesehatan, lithium dimanfaatkan dalam pengobatan bi-polar disorder.

Lithium tidak dijumpai secara natural di alam, umumnya terdapat bersama-sama mineral lain. Terdapat sekitar 124 mineral yang membawa unsur lithium (120 sudah disetujui oleh IMA, International Mineralogical Association, 4 merupakan potensial spesies mineral), yang tersebar pada beberapa lingkungan pembentukan: (1) lithium-caesium-tantalum pada endapan pegmatit granit dan batuan yang mengalami metasomatisme, (2) batuan pegmatit peralkalin, (3) batuan metasomatic yang tidak berhubungan dengan pegmatit, (4) endapan mangan, (5) brines pada salar atau fluida geothermal. Mineral utama yang membawa endapan lithium adalah spodumen (LiAlSi2O6), petalite (LiAlSi4O10), lepidolite dan zinnwaldite. Pegmatit adalah sebutan untuk batuan yang mempunyai ukuran kristal yang sangat besar dibanding kristal pada umumnya. Lihat saja mineral spodumen di bawah ini, dengan manusia sebagai komparator.
Kristal spodumen yang berbentuk meniang pada Etta Mines, Black Hills, Pennington County, South Dakota. Sudah lihat, ada manusia disana? Sumber: USGS dan https://geology.com/minerals/spodumene.shtml

Mineral lepidolite, yang merupakan salah satu mineral pembawa lithium yang termasuk grup mika. Mineral dan foto penulis.

Saat ini produksi lithium dunia dari batuan utamanya berasal dari Australia (endapan Greenbushes, Wodgina), Brazil (Minas Gerais), Kanada (Tanco, Whabouci), dan Zimbabwe (Arcadia). Salar, yang merupakan sebutan dari dataran luas yang kering dan tersusun oleh endapan garam, mengandung sekitar 70% dari sumberdaya lithium dunia berada di endapan brines yang berada di Amerika Selatan (Bolivia, Chile, Argentina). Beberapa lokasi penting yang menghasilkan brine antara lain Salar de Atacama (Chile), Salar de Uyuni (Bolivia), Zhabuye (Tibet), dan Centenario (Argentina). Penghasil Li-brine juga didapat dari daerah Amerika Serikat bagian barat laut, Cina, dan Israel.


Warna biru tosca kehijauan ini adalah brine dari Salar de Atacama, tempat memproduksi lithium (https://www.theatlantic.com/photo/2015/07/viewing-earth-from-above/398999/ )

Cornish Lithium, salah satu perusahaan independent yang beroperasi di Skotlandia sedang melakukan eksplorasi lithium dari fluida panas bumi dan brine di Cornwall. Cornwall merupakan salah satu daerah yang mempunyai sejarah panjang terkait penambangan, mengingat penambangan bijih timah telah dilakukan sejak 2150 sebelum Masehi. Keterdapatan mataair panas di Cornwall sudah diketahui sejak 1800-an, dan menjadi target eksplorasi dari Cornish Lithium, untuk kemudian dapat diekstrak untuk diambil dengan teknologi saat ini. Diduga tingginya lithium pada fluida berasal dari interaksi fluida dengan salinitas yang tinggi yang berasal dari cekungan sedimen dan granit Cornwall. Beberapa granit di Cornwall mengalami pengayaan lithium, dan mengalami pelindian selama puluhan juta tahun sehingga terbawa dalam fluida panasbumi dengan salinitas yang tinggi.


Di Indonesia, keberadaan lithium merupakan hal yang menarik untuk ditindak lanjuti, salah satunya brine yang berhubungan dengan fluida panas bumi, serta pada beberapa granit dengan tipe-S (sedimentary granite), batuan peraluminous (Al2O3 lebih tinggi dari Na2O+K2O+CaO), pegmatit yang berasosiasi dengan orogenesa kolisional merupakan lokasi ideal untuk mencari potensi litium di Indonesia.

Bandung, 18 Nov 2020
Penulis: Andy Yahya Al Hakim, KK Eksplorasi Sumber Daya Bumi - FTTM ITB

Sumber:
1. Lithium: Less is More. 2020. Elements. Agustus 2020 Vol. 16 No. 4.
2. https://www.cornishlithium.com/cornish-lithium-secures-rights-to-explore-for-lithium-in-cornwall/ akses 2 November 2020
3. World Mining Data 20204. Mineralogic Notes, Series 3: Waldemar Schaller, Gigantic Crystals of Spodumene, United States Geological Survey, Bulletin 610, 1916.
5. https://www.theatlantic.com/photo/2015/07/viewing-earth-from-above/398999/ akses 18 Nov 2020



Share:

Tuesday, September 1, 2020

Garam laut, garam gunung, dan bersepeda di Salar de Uyuni-Bolivia


Garam merupakan mineral yang kita jumpai sehari-hari di kehidupan kita. Mineral utama adalah halit (NaCl), yang kalau dijilat rasanya akan asin. Garam di Indonesia umumnya diproduksi dari hasil penguapan air laut, di negara lain seperti Austria, Jerman, atau di Himalaya, garam diproduksi dari endapan yang disebut endapan evaporit. Kedua jenis garam itu mempunyai persamaan: keduanya sama-sama terbentuk dari proses evaporasi, namun perbedaan yang cukup drastis adalah salinitasnya. Salinitas garam gunung jauh lebih tinggi dibanding garam laut.

Di Amerika Selatan, salah satunya di Bolivia, terdapat playa Salar de Uyuni, yaitu dataran tinggi yang sangat datar yang berada di ketinggian 3600 meter di atas permukaan laut. Seorang pesepeda dari Bandung, Mas Paimo, pernah melewati playa tersebut dan menceritakan pengalamannya di buku yang terbit pada tahun 2012 dulu. Dalam 3 menit kita bahas cerita seru di atas!



Share:

Monday, August 17, 2020

Situ Cisanti: dulu dan kini

8 tahun lalu, bulan Desember 2012 ada 2 acara bersepeda bersamaan, yang sebenarnya dua-duanya saya pengen banget ikut: Ulin Bareng Bikepacker Indonesia ke Situ Cisanti dan Gowes Bareng Geolog di Gunung Patuha-Situ Patenggang. Dua-duanya berlangsung di hari yang sama, Ulin Bareng 2 hari, sedangkan Gowes Bareng Geolog cuma 1 hari. 

Saya akhirnya memutuskan untuk ikut acara kedua, karena penasaran dengan kuliah alam alm. P Budi Brahmantyo (Dosen Geologi ITB). Dalam hati kecil, saya juga penasaran dengan Situ Cisanti, karena saya sudah dengar keindahan alam disana. Keduanya sama-sama berlokasi di selatan Bandung. Gunung Patuha dan Situ Patenggang melewati Ciwidey yang kaya akan strawberry, sedangkan Situ Cisanti perjalanannya melalui Ciparay, lumbung padi.

Tulisan penunjuk danau (2014)
Tulisan penunjuk danau (2020)

Beberapa hari berselang, saya cuma bisa senyum-senyum sendiri melihat teman-teman yang kemping di Situ Cisanti. Woooow.... Bagus bener pemandangan disana, itu yang terpikir waktu saya lihat foto-foto mereka.

April tahun 2014, 1 hari menjelang pemilu Presiden, akhirnya saya baru kesampaian juga bersepeda ke Cisanti bersama 1 orang teman. Teman-teman saya menyusul dengan naik mobil, waktu itu saya iming-imingi, disana bisa mancing. Saya berangkat sore hari jam 4 dari Dago, baru sampai sekitar jam 2 dini hari, selain bersepedanya santai, saya juga sempat diinterogasi di Polsek Kertasari gara2 bersepeda dengan jaket yang identik dengan warna salah satu parpol, di malam menjelang pemilu. 

"Kamu ngapain sepeda malam-malam ke Cisanti? Ga ikutan pemilu? Jangan-jangan mau ada serangan fajar ya?" Pengalaman bersepeda yang ga pernah saya lupakan sampai sekarang. Niat hati cari senang, malah kartu izin mengemudi saya nginap di kantor polisi.

Lewat dari Kantor Polisi, kami sampai subuh menunggu di parkiran Situ Cisanti. Setelah masuk, saya baru membuktikan sendiri keindahan Cisanti. Danau ini benar-benar indah. Indah. Danau yang berada di kaki Gunung Wayang dan Gunung Windu, sangat asri. Tidak jauh dari danau ini, terdapat pembangkit listrik tenaga panas bumi terbesar di Indonesia yang berlokasi di Wayang Windu. 

2014 dulu, saya masih ingat lokasi ini masih sangat natural. Jalan masih setapak, sudah ada saluran air dan saya masih ingat sekali, petilasan Dipati Ukur, dimana mata air keluar, berwarna sangat-sangat jernih. Warna biru kehijauan yang sama dengan air gletser yang berasal lelehan salju, yang pernah saya lihat di Gruener See (artinya danau hijau), Austria. 

Mataair Cikahuripan (2014)
Mataair Cikahuripan (2014)
Mataair Cikahuripan/ Citarum (2020)

Kemarin, 1 hari menjelang 17 Agustus 2020, saya bisa kembali lagi ke danau ini, kali ini bersama keluarga dan seorang teman. Saya ingin sekali membagi apa yang pernah saya lihat dulu ke keluarga saya. Tahun 2020, saya melihat lokasi ini menjadi jauh lebih tertata dan sudah di-paving sebagian. Sangat berbeda dengan tahun 2014, jalanan yang mengelilingi danau masih tanah. Sayangnya, lebar bagian yang di paving berukuran sangat sempit. Ketika harus berpapasan dengan orang lain, salah satu harus mengalah untuk turun ke tanah, atau merapat ke sisi kiri yang sudah dibatasi dengan pagar bambu berwarna-warni dan ditanami alang-alang.

Di tahun 2014 dulu, belum ada pembatas jalanan dengan danau. Beberapa pemancing bisa menghabiskan waktu di tepian danau, menunggu ikan dengan berjongkok, duduk atau berdiri persis di tepian. Beberapa orang justru memancing di atas rakit, ada juga yang melempar jala di tengah danau.Tahun 2020 ini, berbeda drastis. Sudah ada pagar bambu yang membatasi jalan dengan danau. Tidak ada lagi pemancing, sepertinya sudah dilarang sejak program Citarum Harum yang dilaksanakan beberapa tahun lalu. Banyak plang yang menunjukkan lokasi-lokasi 7 mata air di Cisanti. Hal yang tidak saya jumpai beberapa tahun lalu.

Memancing di tengah danau (2014)

Saya di tahun 2014, dan teman-teman saya Bikepacker Indonesia di tahun 2012, masih bisa membawa sepeda ke tepian danau dan membuka tenda untuk menginap. Di tahun 2020 ini terpampang jelas: sepeda tidak boleh dibawa ke bawah (maksudnya danau). Saya tidak lihat adanya tenda. Yang jelas, sekarang lebih banyak wisatawan, banyak yang membawa tikar dan menggantungkan hammock untuk berayun. Situasinya sangat bersih, tersedia tempat sampah dan tulisan-tulisan yang mempromosikan kebersihan.

Mempersiapkan umpan di tepi danau (2014)

Tepian danau (2020)
7 mata air di Cisanti (2020)
Darajat, Garut dari Situ Cisanti (2020)

Ketika masih tinggal di Austria, danau yang saya sebutkan di atas (Gruener See), memang dibiarkan natural tanpa adanya sentuhan modernisasi. Masyarakat dibiarkan menikmati danau itu apa adanya dan menyesuaikan diri. Ada beberapa kursi untuk wisatawan duduk, tapi tidak ada pagar yang membatasi pengunjung dengan danau. Saya sendiri, jujur lebih senang dengan kondisi natural Situ Cisanti yang dulu, ketika pengunjung bisa melihat langsung tepian air, tanpa ada pembatas. Membiarkan melihat ikan yang berenang kesana-sini dengan jumlah beberapa ekor saja, tanpa harus diberikan bibit ikan yang sangat sangat sangat banyak sekali, seperti kondisi situ Cisanti sekarang. 

Gruener see, Austria (2015)
Gruener see, Austria (2017)

Walaupun Situ Cisanti sudah tidak seperti dahulu, saya masih mengagumi kebersihannya. Banyak keluarga, pesepeda yang berkunjung. Penjaja makanan ada di sisi luar, diteduhi pohon Eucalyptus berwarna hijau yang rindang. Terima kasih buat semua yang sudah menjaga Cisanti, semoga danau ini terus asri. Let nature sing, let nature forever humble you.

Saya jadi ingat waktu saya baca tulisan Martinus Brouwer, seorang budayawan dari Delft yang ditolak status warga negara Indonesia berkata seperti ini: Bumi Pasundan lahir saat Tuhan sedang tersenyum. Apa kita sudah bersyukur lahir di tanah yang indah ini? 


Walaupun banyak negeri kujalani
yang mahsyur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Di sanalah ku merasa senang
Tanahku tak kulupakan
Engkau kubanggakan

Terima kasih, Ibu Sud. Dirgahayu Indonesia. 



Tulisan Situ Cisanti tahun 2014 (Asrinya Situ Cisanti)

Gruener see, Austria




Share:

Blog Archive

Kontak ke Penulis

Name

Email *

Message *