Conversations with the Earth

Endapan mineral di Finlandia dan Swedia

Perjalanan saya ke lingkaran kutub utara

Atlas of ore minerals: my collection

Basic information of ore mineralogy from different location in Indonesia

Sketch

I always try to draw a sketch during hiking

Apa itu inklusi fluida?

Inklusi fluida adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan adanya fluida yang terperangkap selama kristal tumbuh. Gas dan solid juga bisa terperangkap di dalam mineral.

Situ Cisanti di Pengalengan, Bandung

50 km dari Bandung, Situ Cisanti terkenal karena menjadi sumber mata air sungai Citarum

Wednesday, November 21, 2012

[VIDEO] Cara Fitting Variogram dengan Software SGems




Klik gambar di bawah untuk melihat video tutorial lainnya.
Share:

[VIDEO] Cara Membuat Variogram SGeMS



Cara membuat variogram dengan menggunakan software SGems


Klik gambar di bawah untuk melihat video tutorial lainnya.



Share:

[VIDEO] Cara Membuat Histogram dengan Software SGeMS




Cara membuat histogram dengan menggunakan SGems.


Klik gambar di bawah untuk melihat video tutorial lainnya.



Share:

[VIDEO] Cara meng-Load Project pada Software SGeMS





Cara memasukkan project ke dalam software SGems


Klik gambar di bawah untuk melihat video tutorial lainnya.



Share:

[VIDEO] Cara Menentukan Nilai Kriging dan Varians Error Data 3D - SGems





Cara menentukan kriging dan varians error pada data 3D menggunakan software SGems.


Klik gambar di bawah untuk melihat video tutorial lainnya.




Share:

[VIDEO] Kriging dan Varians Error Pada Software SGems




Cara menentukan kriging dan varians error menggunakan program SGems


Klik gambar di bawah untuk melihat video tutorial lainnya.



Share:

Tuesday, September 4, 2012

Kuliah Alam di Atas Sadel (Oleh Ferry Hakim)

Foto: Andy Yahya

 Foto: Andy Yahya
 Foto: Andy Yahya
 Foto: Andy Yahya
 Foto: Andy Yahya
 Foto: Andy Yahya
Foto: Andy Yahya


Kuliah Alam di Atas Sadel (Oleh Ferry Hakim)

(artikel tentang Gowes Bareng Geolog III Kawah Putih Patuha – Situ Patengan, yang dimuat di Lembar Back to Boseh, Pikiran Rakyat, Minggu 30 Desember 2012; versi uncut)
Bandung Selatan, 15 Desember 2012. Di Sabtu pagi itu 16 mobil Elf dan L300 sarat muatan sepeda dan pesepedanya, menderu-deru melibas jalan menanjak terjal menuju tempat start di puncak Gunung Patuha, tepatnya di Kawah Putih.  Jalanan yang basah akibat tak henti diguyur hujan sejak sore sehari sebelumnya, masih meninggalkan genangan di sana sini. Hutan hujan tropis primer yang masih alami menebar bau khas daun basah yang perlahan jatuh saat digayut embun pagi. Di Kawah Putih itu, akhirnya 100 lebih peserta Gowes Bareng Geolog  III Ikatan Alumni Teknik Geologi ITB (IAGL-ITB) tiba di titik awal.

Nuansa Kawah Putih selalu mempesona dan memanjakan mata. Itu yang dirasakan semua peserta gowes yang berkumpul dulu di tepai Kawah Putih. Namun, ia juga menyimpan misteri dan banyak cerita. Dahulu kala, penduduk setempat menyebutnya sebagai tempat keramat para leluhur menabur kedigdayaan, hingga tiada seorangpun berada di sana tanpa meregang nyawa. Bahkan konon burung dan serangga pun enggan terbang di atasnya. Hingga datanglah Junghuhn, seorang Belanda keturunan Jerman menguak segala tabir berdasarkan logika.
Semua cerita bencana sesungguhnya hanya fenomena alam biasa. Di saat gas belerang dari kepulan kawah solfatara tak dapat kemana-mana di saat angin berhenti tak bersuara, gas menggumpal tebal dan pekat. Asapnya berubah menjadi kepulan malapetaka. Demikian sedikit ilmu yang tertangkap dari kuliah volkanologi singkat oleh Dr. Budi Brahmantyo yang sarat ilmu dunia dan makna. Selebihnya bagi saya, nuansa Kawah Putih adalah ceceran surga yang jatuh ke dunia.
Suasana selanjutnya begitu menggetarkan jiwa, di kala ratusan peserta gowes kemudian mendengungkan bait-bait sacral lagu wajib nasional “Bagimu Negeri” dipimpin langsung Mang Okim sebagai pesepeda angkatan tertua, namun semangatnya laksana pemuda. Sungguh terasa berbeda bernyanyi di tempat menakjubkan ini sembari diiringi semilir angin pagi. Saat itu dada terasa sesak oleh hanya satu kata: INDONESIA.

Kemudian dengan menyebut nama Illahi, dimulailah perjalanan bersepeda kami. Sejejak jalan berbatu setengah menanjak mengantar deru nafas kami yang pertama. Angin pagi yang menerpa langsung muka, sapa hangat sinar sang surya, tegur sapa kawan lama, cipratan air dari genangan pinggir jalan, dan seluruh renik kehidupan yang kami jumpai, terasa mempesona dan penuh nostalgia. Jalan macadam berbatu yang cukup licin dan rawan tergelincir, membawa sepeda-sepeda meluncur ke arah barat daya. Akhirnya sebuah turunan panjang mengantar kami sampai di desa Cileueur, sebuah desa kecil nan bersahaja, di tengah perkebunan teh yang luas dan lapangan-lapangan panas bumi.
Desa ini adalah desa terdekat dari Puncak Patuha dibandingkan desa-desa lainnya. Hanya ada sekitar 20 rumah di sana. Tak banyak hiburan di sana, bahkan sinyal telepon genggam pun tak pernah terbaca. Namun pagi itu yang kami lihat hanyalah wajah-wajah gembira. Anak-anak kecil pun berlarian menyambut kami laksana rombongan raja. Paket-paket sembako dan buku-buku ilmiah populer kami sumbangkan. Terima kasih untuk Waviv dan Pertamina sebagai sponsor utama. Semoga kelak berguna bagi mereka.
Setelah usai bakti sosial kepada Desa Cileueur, kuliah komprehensif ilmu panas bumi menjadi menu selanjutnya. Sebuah sumur panas bumi menjadi saksi betapa kaya negeri ini akan berbagai potensi energi tiada dua. Demikian kira-kira sedikit kupasan dari Dr. Prihadi yang bisa kami cerna, untuk kemudian kami lanjutkan perjalanan bersepeda.
Sebuah turunan makadam panjang belasan kilometer membelah perkebunan teh Patuha, kami jelajahi. Di latar belakang hamparan bukit-bukit teh hijau berpunuk-punuk, tampak cantik sekali. Awan mega terasa rendah menyentuh pucuk-pucuk daun di kejauhan sana, sementara sayup-sayup pula tampak sebuah bentukan telaga yang airnya tenang menghanyutkan. Benar-benar sebuah sketsa alam yang menakjubkan. Ganasnya batu-batuan makadam yang menghadang roda sepeda kadang membuat tangan serasa nyeri, namun semua hilang terbayar pesona alam Priangan Selatan yang menakjubkan.
Di lapangan SD Cikidang kami beristirahat sejenak menghadapi etape selanjutnya. Etape terakhir menjelang finish di Situ Patengan adalah sebuah rute tanjakan yang cukup melelahkan. Di sinilah para pesepeda diuji fisik dan mental. Sejengkal demi sejengkal, setapak demi setapak roda-roda sepeda menjejak jalan berbatu. Nafas tersengal, dengkul bergetar, dan dahaga yang datang menjadi tambahan ujian di ketinggian yang mulai digayut awan mendung hitam. Hingga akhirnya gerimis rintik kecil mengiringi kami sampai di tepian Situ Patengan, tempat usainya perjalanan bersepeda hari itu.
Nasi Timbel hangat dan ayam goreng yang disantap sembari memandang kabut tipis perlahan menutup danau, menjadi suntikan energi sebelum kembali ke Kota Kembang. Senja menjelang saat iring-iringan kendaraan turun melewati jalur macet Bandung Selatan. Namun indahnya lembayung dan barisan pegunungan di kejauhan menggugah lamunan dan membawa sebait lagu mahakarya Ismail Marzuki yang tak pernah usang:
*Bandung Selatan di waktu malam
Berselubung sutra mega putih
Laksana Putri lenggang kencana*
*Bandung Selatan di waktu malam
Jauh terdengar suara nyanyian
Sungguh indah sinarnya rembulan
Riwayatnya tiada dilupakan
Ferry Hakim, geologiwan bekerja di industri migas, aktif di IAGL – ITB.
Share:

Monday, December 26, 2011

Journey to Cileat Waterfall, Subang

Curug Cileat berada di kota Subang, Jawa Barat. Ditempuh dengan perjalanan darat sejauh 2 jam menggunakan angkot menuju Terminal Ledeng, kemudian oper menuju Jalan Cagak, kemudian oper elf sekali lagi ke Sayang Heulang, Subang. 


Perjalanan dari Ledeng hingga Jalan Cagak menempuh waktu sekitar 1 hingga 1.5 jam (kalau angkot nya ga ngetem), dengan ongkos Rp 10rb rupiah, kemudian oper ke elf berikutnya seharga Rp 2500 hingga Rp 5000, tergantung sopirnya. Setelah sampai di Sayang Heulang, kita harus naik angkot 1 kali ke kaki Curug yang memakan waktu sekitar 15 menit hingga pos terakhir.

Sampai di bawah pos terakhir, seperti biasa kita foto2 dulu. Ada saya, Khairul Anwar alias Anwar, Muhammad Irfannidan alias John, Anindito Mahendra alias Pije, Galang Budiansyah alias Galang, dan Rahmat Fadhillah alias Kudil ato Fadhil. 

Kombinasi orang-orang yang demen ngesot ceria (tapi perjalanan kali ini akhirnya ternoda karena salah satu rombongan terpaksa harus pulang cepat2 ke Bandung). Perjalanan dari Pos terakhir ke Curug CIleat memakan waktu sekitar 3 jam dengan perjalanan normal. Setelah persawahan, jalanan terus menanjak hingga curug 1. Perjalanan dari sawah menuju curug 1 merupakan perjalanan yang paling berat, yang akhirnya memakan 1 orang korban muntah di jalan walopun akhirnya bisa segera sembuh setelah dipijit oleh Anwar (siapa itu yang muntah? hehehe, diam2 aja ya).

Setelah curug 1, tidak sampai 10 menit langsung dijumpai curug 2, yang lebih lebar dibandingkan curug 1. Curug 2 berukuran lebih tinggi dibandingkan curug 1 dan lebih besar, sehingga semangat untuk melanjutkan perjalanan pun meningkat secara drastis (maklum, perjalanan tidak menjadi membosankan setelah ini). Perjalanan antara curug 2 dan curug 3 menjadi lebih menantang, karena medan yang berbatu dan licin karena lembab menjadikan perjalanan ini semakin menantang.

Sesampai dari curug 3, kita sampai di perladangan yang cukup luas, dimana para petani menggembalakan kerbau dan menanam padi di lereng yang relatif datar. Disini kami sempat tersesat selama 45 menit, karena jalur yang tertutup alang-alang. Akhirnya kami bisa menemukan jalurnya kembali, dan kami melanjutkan perjalanan ke curug yang paling indah, curug 4 atau curug cileat.

Curug cileat terdiri dari 2 curug yang sangat tinggi, kira2 mencapai 100 meter dengan debit air yang sangat deras. Curug kanan jauh lebih lebar dibandingkan curug di sisi kiri, dan karena debit air yang sangat tinggi, air yang jatuh ke batuan di bawah membuat angin bertiup sangat kencang, sehingga ini yang membuat hambatan  terbesar kami selama kemping di curug ini. Air, air dan air. Air yang jatuh serasa badai, sehingga sangat dianjurkan untuk membawa tenda atau fly sheet serta jaket yang anti air dan anti angin. 


Menurut opini saya, dari skala 1-10, curug ini layak dapat nilai 9, karena pemandangan yang sangat indah, terutama ketika air terjun disinari oleh hangat nya matahari. Sangat, sangat, sangat dianjurkan membawa jaket wind breaker karena saat anda mencuci alat makan atau mengambil air di sungai, seluruh badan akan basah karena angin dari air terjun yang sangat kencang. Bawalah baju kering yang cukup, persediaan makanan yang cukup, dan kurangi bawa air secara berlebihan, karena selama perjalanan, air nya sangat melimpah dan hutan nya yang tertutup membuat anda tidak akan terlalu haus dalam perjalanan (kalau perjalanan ke curug ya haus,, hehhe).
duo badak mejeng di bawah curug cileat

saking kencangnya air terjun, sudah mirip badai aja

Share:

Blog Archive

Kontak ke Penulis

Name

Email *

Message *