Conversations with the Earth

Tuesday, April 1, 2014

Eksotisme Bukit Barisan, Indahnya Taman Bumi-Geopark Merangin

Saya selalu menyukai hal yang baru. Untuk tulisan kali ini, saya coba menulis blog di dalam travel yang bergoyang-goyang, yang mengantar saya dari Bandara Cengkareng menuju Pasteur. Kali ini saya baru saja pulang dari Jambi, kota yang sangat ikonik dengan Candi Muaro Jambi nya. Sayangnya sudah hampir ketiga kalinya saya berkunjung ke Jambi, saya belum sempat untuk mampir melihat keindahan Candi tersebut, yang sebenarnya hanya berjarak 25 km dari kota Jambi. Sudahlah, mungkin lain kali saya berkunjung kesana. Saya ga bisa menahan untuk bisa menulis tentang eksotisme Bukit Barisan, dan berkesannya Taman Bumi Merangin, yang baru saja saya kunjungi sejak Jumat hingga Senin yang lalu.




Kali ini saya datang kembali ke Bukit Barisan, namun di daerah yang berbeda dengan kunjungan saya sebelumnya. Saya pernah berkunjung di Ujung Selatan Bukit Barisan untuk mengunjungi tambang emas yang digenangi air karena menambang di bawah sungai purba dengan debit air yang tinggi, yang memaksa perusahaan mengeluarkan airnya hingga menggunakan 14 pompa (saya lupa kapasitas nya berapa); saya juga pernah berkunjung ke Ujung Utara Bukit Barisan untuk melakukan pemetaan dan eksplorasi geofisika bersama eks- anggota separatis, yang alhamdulillah bisa mengantarkan saya ke Fukuoka, untuk mempresentasikan hasil karya saya di seminar internasional; dan kali ini saya kembali ke Bukit Barisan untuk 2 hal, eksplorasi bijih besi dan mengunjungi taman bumi. 

Setiap saya berkunjung ke Bukit Barisan, saya selalu dibuat terkagum-kagum dengan flora fauna nya. Di daerah yang berkontur ga sekolah ini, saya pernah lihat bekantan, kalajengking, bunga bangkai, jelatang, semut raksasa, burung yang berwarna biru, dan juga bekas dari cakaran beruang. Dan tiap kesini, selalu ada pacet yang menempel di badan saya, yang kali ini mampir ke perut saya. Untungnya saya belum pernah bertemu dengan jejak harimau. :D
kekejaman pacet yang menempel tepat di perut, di baju lapangan saya

Pada eksplorasi bijih besi kali ini, saya tidak akan membahas terlalu dalam tentang bijih besi, karena saya pun kurang begitu tertarik dengan mineral pembawa unsur besi seperti magnetit, hematit, limonit, dan goetit/lepidocrocit. Saya lebih tertarik dengan batuan dan mineral lain yang saya jumpai di lokasi tersebut, yaitu batuan granit dan mineral topaz. 

Ada apa dengan Granit? Batuan beku yang tergolong batuan beku asam ini berwarna cerah, di dominasi oleh mineral kuarsa, dan sangat lazim dijumpai di daerah yang mempunyai mendala metalogenik (metallogenic provine) dengan karakteristik yang relatif mencirikan endapan yang bertipe asam, seperti di Kepulauan Bangka Belitung yang kaya akan timah, yang mempunyai batu-batu yang berukuran sangat besar yang membentang di sepanjang pulau di daerah tersebut. Batuan  granitik merupakan batuan yang menjadi asal endapan timah, baik yang terbentuk secara primer maupun sekunder, serta menjadi sumber bagi munculnya kasiterit sebagai mineral pembawa timah, serta mineral-mineral logam tanah jarang seperti rutil, xenotime, monasit. Sudah berkali-kali saya mengamati mineral-mineral tersebut di bawah mikroskop, namun memang karena keterbatasan saya, sering saya lupa, mana mineral kasiterit, ilmenite, apalagi monasit dan xenotim, hehehe. Cukup untuk cerita granit, sekarang saya beralih ke topaz.

Topaz, merupakan mineral yang termasuk tipe mineral silikat, yang mempunyai rumus kimia Al2SiO4(F,OH)2. Mineral ini dicirikan oleh habitnya yang orthorhombic, yaitu salah satu kelas dari kristal yang menunjukkan bahwa panjang sumbu a,b dan c dari mineral ini saling tegak lurus, namun tidak sama panjang. Apa itu sumbu a,b, dan sumbu c? Sekarang kita coba  bayangkan ruang tiga dimensi,sebut saja balok. Nah, kalau di bagian sumbu tengah dari ruang tersebut kita buat garis yang tegak lurus ke depan, kanan, dan atas, itulah analogi dari sumbu a,b dan c pada kristal. Kembali ke topaz. Apa yang menarik dari topaz yang akan saya ceritakan?

Topaz merupakan mineral yang mempunyai kilap kaca, mempunyai kekerasan mohs 8, dengan warna gores di papan gores (papan gores adalah suatu papan yang terbuat dari porselen, umum digunakan untuk melihat warna mineral untuk menjelaskan sifat  fisiknya) berwarna putih. Dengan sifatnya yang cukup keras ini, maka mineral ini dapat dipergunakan sebagai batu mulia. Sebagai informasi, untuk menentukan kriteria sebagai batu mulia, kita cukup mengetahui yang disebut sebagai skala Mohs, atau skala kekerasan relatif dari mineral. Metode ini digunakan untuk mengetahui, seberapa keras mineral yang kita lihat dibanding dengan mineral atau benda lain. Secara berurutan, skala mohs dari 1-10 adalah sebagai berikut.
Skala mohs 1: talk
Skala mohs 2: gypsum
Skala mohs 3: kalsit
Skala mohs 4: fluorit
Skala mohs 5: apatit
Skala mohs 6: feldspar
Skala mohs 7: kuarsa
Skala mohs 8: topaz
Skala mohs 9: korundum
Skala mohs 10: intan
Skala Mohs Relatif:
Kuku: 2.5
Kaca: 5.5
Ujung pisau lipat atau paku besi:6.5

Dari kekerasan tersebut, kita bisa uji, dimana mineral keras pasti bisa menggores mineral dengan skala mohs lebih rendah, namun mineral dengan skala mohs rendah tidak akan bisa menggores mineral yang lebih keras. Hal ini yang bisa kita aplikasikan, untuk mengetahui batu mulia yang kita miliki asli atau tidak. Caranya? Ya tinggal goreskan saja ujung pisau atau paku besi ke mineral tersebut. Kalau tergores, ya berarti skala mohs nya lebih rendah dari 6.5. Begitu lah kalau teman-teman berniat beli intan, minta izin sama mas yang jual, terus gores aja sama pisau. Hal itu yang terjadi dengan layar hp dan gps saya, yang keduanya kegores ketika saya menyimpan keduanya bersama-sama dengan sampel kuarsa dan topaz yang saya ambil selama di lapangan. Jadiiiii, setelah membaca penjelasan di atas, saya berkesimpulan bahwa topaz cocok untuk dijadikan  batu mulia, karena tidak mudah tergores (udah dari dulu kali topaz dijadikan batu mulia, hehehe).

Nah, beralih ke cerita kedua tentang kunjungan saya di Jambi, yaitu tentang Geopark Merangin. Memang belum banyak orang yang tahu, apa sih sebetulnya Geopark itu sendiri. Saya pun sempat dibuat kebingungan, tiap kali saya tanya orang di Bangko (ibu kota Kabupaten Merangin) tentang lokasi Geopark tersebut. Penunjuk jalan menuju lokasi itu pun sangat minim. Walhasil saya pun tersasar di tempat wisata lain, yang sebetulnya termasuk bagian dari Geopark Merangin tersebut. Saya malah mengetahui lokasi itu karena saya melihat ada poster caleg yang mencantumkan Geopark di salah satu posternya. Ngglethek kalo kata orang Malang bilang.

Apa yang bisa dinikmati dari Geopark tersebut? Kalau harus dibuat prioritas, maka yang pertama adalah fosil, yang kedua adalah wisata air, dan yang ketiga adalah air terjunnya.Itu berdasarkan prioritas saya ya, karena tujuan saya adalah melihat fosil yang terawetkan bukan pada batugamping, tapi di batulumpur. Fosil kayu Araucaraxylon, yang saya pun baru tahu kalau itu tumbuhan yang masih tumbuh secara insitu sejak hampir 300juta tahun yang lalu hingga sekarang. 


Perbandingan (Araucaraxylon di Natur Historische Museum, Wina, Austria-Sept 2015)

===============================================================
Sedangkan fosil tumbuhan dan daun yang dijumpai adalah fosil dari Macralethopretis sp, Cordaites sp, Calamites sp, Pecopteris sp, Lepidodendron dan lain-lain. Saya memang bukan paleontolog, sehingga saya tidak terlalu paham tentang jenis-jenis fosil tersebut, namun saya sangat excited dan menikmati kebodohan saya ketika memegang fosil-fosil tersebut. 

Sangat disayangkan, ketika saya datang dan berkunjung di lokasi tersebut, ada sepasang remaja yang sedang mojok di air terjun, yang menurut saya bisa menjadi sampah masyarakat dan kalau dibiarkan bisa menggangu citra dari tempat wisata tersebut. 

Geopark yang terletak di Desa Air Batu saat ini sudah diresmikan secara nasional untuk menjadi Geopark nasional pada akhir tahun 2013 yang lalu, namun sekarang, daerah ini masih menunggu hasil kunjungan dari tim UNESCO, yang akan sedang merapatkan mengenai status geopark tersebut untuk dijadikan geopark yang terintegrasi dengan geopark lain di dunia.

Saya sendiri juga agak kecewa, karena pada saat saya datang untuk melihat fosil-fosil tersebut, air sungai Merangin sedang deras-derasnya, karena ternyata di hulu Sungai Merangin yang ada di Gunung Kerinci, ternyata sedang pasang karena hujan deras pada saat semalam sebelum saya datang. Sungai pun menjadi keruh, sehingga merendam fosil-fosil yang mayoritas berada di dekat air terjun. 

Fosil kerang dan fosil Brachipoda tidak bisa saya lihat di lokasi, menurut informasi memang tenggela, namun untuk Brachiopoda, mungkin sudah diamankan oleh Badan Geologi mengingat kalau tidak diamankan, fosil tersebut bisa kapan saja diambil dan dicongkel oleh orang-orang jahil. Tidak masalah saya tidak bisa melihatnya, namun saya sudah sangat puas karena pemandu arung jeram saya sudah membantu mengingatkan bahwa fosil itu boleh dilihat, boleh dipegang, namun tidak boleh diambil menggunakan palu dan yang lain. Papan informasi oleh Badan Geologi cukup komunikatif, menunjukkan informasi mengenai kondisi geologi di masing-masing lokasi, yang menunjukkan di daerah ini telah siap untuk dijadikan sebagai Taman Bumi.

Untuk melihat fosil tersebut, beberapa tempat memang bisa dijangkau dengan berjalan kaki dari Desa Air Batu, namun untuk melihat fosil secara keseluruhan, memang hanya bisa dijangkau dengan menggunakan perahu karet dengan sewa sekitar Rp 400.000,- Rp 500.000,- sekali jalan. Satu perahu umumnya bisa dinaiki oleh 4 orang tamu dengan 4-5 orang lain sebagai pendayung. Berbeda dengan arung jeram di Citarik,  maupun body rafting di Citumang maupun Green Canyon, yang bisa kita nikmati dengan panduan dari pemandu, di lokasi ini, tamu harus memegang erat-erat tali tambang berukuran besar yang ada di perahu, mengingat jeram di anak sungai dari Danau Kerinci ini sangat besar dan berbahaya.

Di akhir pengarungan, fosil kayu kersik (orang lain bilang sebagai Opal kayu), yang terbentuk akibat proses silisifikasi. Apa itu silisifikasi? Silisifikasi adalah proses presipitasi dari larutan kaya silika ke benda lain (dalam hal ini kayu), sehingga ketika larutan itu membeku, tekstur kayu masih terlihat jelas dan terawetkan. Umumnya, fosil kayu ini digunakan oleh orang-orang untuk dijadikan ornament di rumahnya, karena bentuknya yang indah. Namun hal yang sangat disayangkan,harga dari sungkai, sebutan dari fosil kayu di daerah ini sangat murah, hanya Rp 500,- untuk per kilonya. Gilaa… Padahal, konon katanya, Geopark yang berlokasi di Spanyol, yang mempunyai keunikan oleh fosil kayunya, ternyata sumbernya berasal dari Merangin. Hmmm, untuk hal yang ini, perlu ada klarifikasi lebih lanjut, karena saya hanya mendapat info dari penduduk lokal, yang mendapatkan arahan konservasi dari tim Badan Geologi yang berkunjung untuk membuka mata warga terhadap potensi konservasi kayu kersik yang bisa salah asuhan. Eksploitasi terhadap sumber daya alam harus mengenal kata bijaksana, karena sifatnya yang tidak terbarukan, sehingga kelak anak cucu kita tidak dapat menikmati apa yang kita lihat saat ini.



Dan cerita panjang saya dari Bukit Barisan dan Geopark Merangin saya tutup dengan kutipan dari lambung kapal karet yang saya naiki, Memuliakan Warisan Geologi Menyejahterakan Masyarakat. Mari kita tidak hanya menikmati indahnya alam, namun juga menjadi Sang Yudha Bumi, Si Penjaga Bumi.


Tulisan ditulis sejak KM 0 Tol dalam Kota Jakarta, baru selesai di KM135, persis di antrian tol keluar Pasteur, Bandung. Whooosaaah…..






katanya batu yang di sebelah kiri itu mirip kepala orang,,, iya ga sih?
Air terjun Muara Sungai Karing

Klik Gambar di bawah untuk melihat artikel lain







Share:

1 comments:

  1. saya sudah lama mendengar geopark ini, tapi baru akhir bulan lalu saya menjelajahinya dengan naik perahu karet (arung jeram), sungguh luar biasa ciptaan Tuhan, bagaimana Dia menghentikan waktu dengan menciptakan fosil2 itu...

    ReplyDelete

Komentar akan dimoderasi oleh penulis sebelum tayang. Terima kasih

Blog Archive

Kontak ke Penulis

Name

Email *

Message *