Conversations with the Earth

Friday, April 25, 2014

Sawahlunto, Menatap Masa Depan Menjadi Kota Wisata Tambang



Sudah hampir 120 tahun yang lalu, kota ini merupakan saksi awal mula aktivitas penambangan batubara yang ada di Indonesia. Adanya bekas peninggalan semasa kolonialisme Belanda  terekam secara baik dan tersusun rapi di kota yang tersembunyi di balik perbukitan yang lebat. Kota ini berjarak sekitar 90 km dari Kota Padang ke arah Timur Laut, ditempuh dengan perjalanan mobil selama hampir 3 jam.


Sawahlunto, dulunya merupakan kota tambang, mempunyai visi mendatang yang baik, yaitu menjadikan Kota Wisata Tambang yang Berbudaya di tahun 2020. Hal ini sepertinya mendorong Sawahlunto untuk tidak lagi ter-stereotype kan dengan aktivitas penambangan di masa lalu, yang merupakan masa kelam bagi orang-orang rantai dan para penambang liar yang kerap kali mendapat musibah dengan meledaknya tambang akibat gas metan. Andai saja, di daerah lain bisa meniru kota ini, dengan tidak meninggalkan lubang-lubang bukaan yang dibiarkan menganga tanpa adanya reklamasi dan penutupan tambang yang baik.


Di kota ini, geolog Belanda, Ir C De Groot van Embden pada tahun 1867 dan Willem Hendrik De Greve pada 1870 menemukan endapan batubara, yang berlanjut dengan publikasi dari De Greve pada tahun 1871 di negara asal Kincir Angin. Hal ini yang membuat eksploitasi di daerah tersebut dimulai sejak 1892. Sayangnya, sang penemu endapan tersebut, De Greve tidak sempat melihat hasil temuannya di Sawahlunto. Dia meninggal ketika hanyut pada saat mengeksplorasi endapan di Sungai Batang Kuantan pada tahun 1872. Hal ini yang membuat saya kagum, dimana Dinas Pariwisata Pemerintah Kota Sawahlunto mengabadikannya dalam sebuah buku yang berjudul "Jejak de Greve Dalam Kenangan Sawahlunto."




Di lokasi tempat saya mengambil foto ini, terdapat Gedung Pertemuan Buruh, yang kini berubah nama menjadi Galeri Info Box pada tahun 1947. Tempat ini dulunya merupakan tempat dilaksanakannya berbagai aktivitas buruh dan karyawan, mulai dari hiburan wayang kulit hingga layar tancap, terutama setelah buruh menerima upah. Tidak jauh dari lokasi itu, terdapat sebuah lubang yang bernama Lubang Mbah Suro/ Soero, yang dibuka pertama kali pada tahun 1898 dan ditutup pada tahun 1932 karena topografi yang lebih rendah dibanding sekitarnya, mengakibatkan air masuk dengan sangat deras dan membanjiri lubang tersebut. 

Mbah Suro sendiri, menurut Juru Kunci dan pemandu wisata, bernama Sami Suro Santiko, merupakan mandor yang tegas, pekerja keras, dan disegani oleh orang-orang di sekitarnya. Mbah Suro merupakan mandor bagi orang-orang rantai, yaitu sebutan bagi buruh tambang yang kakinya diberi rantai, yang berasal dari seluruh jajahan Belanda di negara Hindia (Indonesia pada jaman dahulu). Dari referensi yang saya baca dari buku "Lorong-lorong Kelam Perantaian", Sawahlunto merupakan daerah buangan dari penjara-penjara yang ada di Jawa, Manado, Bukittinggi, dan daerah-daerah lain, yang mempunyai reputasi negatif karena perlakuan hukuman cambuk yang tidak manusiawi kepada para pekerjanya.
Di Galeri Info Box, saat ini berfungsi sebagai museum yang menunjukkan genesa atau asal batubara, sejarah penambangan batubara di Sawahlunto, serta peralatan yang digunakan yang digunakan untuk kegiatan penambangan tersebut. Menurut opini saya, informasi yang diberikan di dalam museum ini sangat informatif, menarik, dan mudah dicerna oleh orang awam. Umumnya, di museum ini disajikan dokumentasi baik dalam foto maupun maket/miniatur dari hal yang berhubungan dengan tambang batubara Sawahlunto, yang boleh saya nilai tidak kalah dengan museum tambang batubara yang pernah saya datangi di distrik Omuta, Fukuoka, yang ulasannya pernah saya tulis dimari



Ketika kita masuk ke dalam lubangnya, portal masuknya miring ke bawah sekitar 45 derajat, dan di bagian tengah dari tunnel atau terowongan sudah dipasang pegangan untuk membantu pengunjung masuk ke dalam terowongan. Tangga sudah dibuat, dan pada beberapa level penambangan, telah ditutup dengan paving block sehingga berada di dalam di terowongan, tidaklah semenakutkan cerita yang mungkin terjadi di jaman dahulu. Pemompaan secara reguler juga dilakukan dengan drainase yang baik, perkuatan juga sudah dilakukan di sepanjang lubang bukaan, membuat pengunjung tidak perlu khawatir dengan keselamatannya di dalam lubang bukaan ini. Udara pun sudah dimasukkan menggunakan kipas (fan), sehingga pengunjung tidak merasa kepanasan dan dapat bernafas dengan normal. Patut diapresiasi memang upaya Sawahlunto untuk mengubah citra dari kota tambang, menjadi kota wisata tambang.


Tidak jauh dari Lubang Mbah Soero, kita dapat menjumpai bekas peninggalan kolonialisme yang lain, yaitu Museum Kereta Api Sawahlunto, dan Gudang Ransoem. Di Museum Kereta Api ini, kita dapat melihat gerbong kereta api Mak Itam, yang dulu digunakan untuk mengangkut batubara, yang kini sudah berubah menjadi kereta wisata. Disini juga kita dapat menjumpai kereta yang berbahan bakar diesel. Kalau saya tidak salah, lokomotif dan gerbong Mak Itam pernah digunakan untuk mengangkut rombongan peserta Tour De Singkarak pada tahun 2012 menuju garis start-nya. Kereta itu merupakan kereta wisata yang beroperasi pada hari Minggu. Namun sayangnya, Tour De Singkarak tahun ini mungkin tidak akan menggunakan kereta Mak Itam , karena masih dalam tahap reparasi di Dipo Kereta Api Solok.
Di dalam museum ini, terdapat segala hal yang berhubungan dengan perkereta apian, mulai dari jam yang biasa kita lihat di Stasiun, timbangan, miniatur lokomotif, dokumentasi fotografer, dan sejarah kereta api di Indonesia. Tiketnya pun sangat terjangkau, hanya Rp 3.000,- untuk dewasa, beda tipis dengan tiket masuk Lubang Mbah Suro, yang ga kalah murahnya, Rp 8.000,- untuk dewasa. 





 

Dan Sawahlunto masih punya satu lagi museum yang ikonik menunjukkan kolonialisme Belanda di jaman dahulu, yaitu Museum Goedang Ransoem. Di tempat ini, terdapat peninggalan alat-alat masak yang dipergunakan untuk makanan sehari-hari dari seluruh buruh yang bekerja di Sawahlunto. Mulai dari kuali, wajan, tungku, ukurannya sangat besar. Kalau iseng, tinggal lompat masuk ke dalam kualinya, bisa tuh buat maen petak umpet, hehehe. Selain digunakan sebagai alat masak, di sisi depan dari Museum ini adalah museum kebudayaan masyarakat Minang, serta beberapa ras yang ada di Indonesia. Pakaian adat, kebudayaan, dan tradisi pernikahan di beberapa daerah juga terekam baik di Museum ini, yang membuat pengunjung tidak hanya dimanjakan oleh rekam jejak kolonialisme Belanda, namun kekayaan budaya Indonesia.










 



kalau bukan kita sendiri yang mengenang dan menghargai sejarah nenek moyang kita di masa lampau, lantas, siapa lagi....?

Baca Juga



sumber:
1. Buku "Lorong-lorong Kelam Perantaian" karya Erwiza Erman
2. Buku "Jejak De Greve Dalam Kenangan Sawahlunto" karya Yonni Saputra
3. Buku "Pekik Merdeka dari Sel Penjara dan Tambang Panas" karya Erwiza Erman
4. http://www.sawahluntokota.go.id/pariwisata/wisata-kota-tua/lubang-mbah-soero.html

Share:

0 comments:

Post a Comment

Komentar akan dimoderasi oleh penulis sebelum tayang. Terima kasih

Blog Archive

Kontak ke Penulis

Name

Email *

Message *