Conversations with the Earth

Friday, September 20, 2013

Wafat, moksa, dan kesempurnaan kehidupan

Tiap anak kecil yang berangkat sekolah, selalu menantikan waktu untuk bel selesainya sekolah. Tiap orang yang berangkat bekerja, pasti menantikan waktu untuk pulang ke rumah. Sama seperti peribahasa, gunung akan kudaki, sungai akan ku seberangi, dan laut akan ku salami. Ketika pendaki naik ke atas gunung, pasti suatu saat dia harus berpisah dengan puncak yang dia tunggu. Orang yang menyeberangi sungai, tentunya mengharapkan dia bisa sampai di sisi seberang. Pun juga orang yang menyelami lautan, suatu saat dia harus kembali lagi ke daratan lagi.

Seperti itulah analogi kehidupan ini, semua hanya menumpang sejenak, karena ada awal, dan selalu ada akhir. Semua yang kita usahakan di dunia ini, tidak akan kita bawa sepeser pun ke alam kubur. Hanya nama yang tertulis di nisan lah yang akan mengingatkan orang-orang sekitar kita, bahwa kita telah tiada. Namun apa yang bisa membuat orang di sekitar kita, bahkan orang yang tidak kita kenal mengenal siapa kita? Tidak ada lain hanyalah prestasi. Prestasi seperti apa yang akan kita tinggalkan untuk orang-orang tersebut? Kenangan apa yang akan diingat oleh orang-orang tentang kita? Apa testimoni yang akan kita dengar dari orang-orang ketika kita sudah terbujur kaku kelak?

Suatu saat, Malaikat Izrail akan mencabut nyawa seseorang yang soleh sholekhah, Fulan bin Fulan. Ketika sudah sampai waktunya, Fulan bin Fulan bertanya kepada Malaikat. “Apakah seorang kekasih rela meninggalkan kekasih yang sangat dicintainya (ketika ruh meninggalkan jasad-nya)? Kemudian Sang Malaikat bertanya kepada Allah Yang Maha Tahu segalanya. Allah Yang Maha Bijaksana menjawab dengan jawaban yang sangat indah, “Apakah seorang kekasih (hamba) tidak akan senang ketika dia akan bertemu kekasihnya (Khaliq)? Hanya orang-orang yang beriman dan mempersiapkan kematian lah yang akan bahagia bertemu dengan pencipta-Nya, bukan orang-orang yang tidak mempersiapkan apapun selagi di dunia.”


Maha Suci Allah, kita dengan segala apa yang kita kerjakan sekarang, mungkin belum mempersiapkan bekal ini dengan matang. Pun termasuk juga penulis, yang mendapatkan rahmat ketika bersolat Jumat di Menteng, melihat seseorang bertubuh gemuk, menempelkan badannya pada tiang, kemudian menangis ketika mendengar khutbah yang sangat mengharukan ini. Terutama ketika dia mengingatkan sang Khotib mengingatkan pertanyaan yang ditanyakan oleh sang Khotin, “dengan siapa kah kalian akan masuk ke dalam surga Allah? Hanyakah kalian yang akan masuk ke dalam surga Allah? Dengan orang tua, keluarga, anak, istri? Atau bahkan hanya kalian saja yang akan masuk surga, tanpa orang-orang yang kalian kenal di sekitar kalian? Atau malah lebih miris lagi, kita dan keluarga tidak bisa mencium bau surga Allah. Tidak ada kata terlambat untuk memulai hal yang baik, teman-teman, terutama untuk mempersiapkan kematian.

Betapa indahnya Allah menjanjikan akan adanya kenikmatan sebanyak 99x dan siksaan hampir 99x kepada orang-orang yang sudah meninggal. Dan kita sangat bersyukur, karena kita selalu menyebutkan istilah mati atau meninggal dengan istilah yang sangat indah, yaitu wafat maupun kembali ke rahmatullah.

Di Al Qur’an, ada beberapa istilah yang menyebutkan istilah kematian, salah satunya adalah al wafat atau wafat. Wafat dapat berarti sempurna, dimana ketika dia meninggal, maka seseorang manusia telah mengalami semua hal yang ada dalam hidup, dan Allah menyempurnakan dalam kematian.

Ya Ayyatuhan Nafsul Muthmainnah. Irji'i ila rabbiki raa dhiyatam mardhiyyah. Fadkhuli fi 'ibadi. wadkhuli jannatii...

Wahai jiwa yang tenang, kembalillah kepada tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhoi-Nya. maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba Ku. dan masuklah ke dalam surga-Ku [Qs. Al-Fajr : 27-30]

Sama seperti di dunia pewayangan, yang menyebutkan istilah moksa untuk kematian yang sempurna, seperti ketika werkudara alias Bima, Puntadewa, Arjuna, Nakula dan Sadewa yang meninggal secara sempurna setelah perang Bharatayuda. Gunungan di tengah-tengah kelir dalam pewayangan, yang melambangkan dunia yang fana ini, dan bisa berganti-ganti cerita, tergantung oleh Sang Dalang, sama seperti dunia kita, yang hanya sesaat, tidak ada yang abadi, karena ada Allah yang mengatur semuanya.

Share:

0 comments:

Post a Comment

Komentar akan dimoderasi oleh penulis sebelum tayang. Terima kasih

Blog Archive

Kontak ke Penulis

Name

Email *

Message *