Conversations with the Earth

Wednesday, July 12, 2017

Menjadi Panutan

Seorang mahasiswa tingkat 3 jurusan Geologi di salah satu Universitas di Sulawesi mengirim pesan via facebook sejak akhir Juni 2017 yang lalu. Karena kami belum berteman, pesan itu baru saya baca di pertengahan Juli ini. Dia bercerita, jurusannya tempat dia belajar baru berdiri 3 tahun. Dia adalah angkatan pertama dan merasa apa yang dipelajarinya sangat kurang karena keterbatasan buku dan pengajar (hanya 2 orang pengajar yang berasal dari jurusan geologi). 

Singkat cerita, mahasiswa ini ingin membuat jurusan ini berwarna untuk adik-adiknya. Dia tidak ingin seperti mahasiswa angkatan pertama di kampus lain, yang dikenang karena mereka adalah angkatan pemberani, yang berani tawuran, membawa parang, air keras, dan 8 orang tak gentar melawan 1 Fakultas. 

Ketika saya membaca pesannya, tiba-tiba ada ide untuk mencari masukan dari teman-teman saya. Selama 2 hari, saya mendapat banyak sekali masukan. Dari semua masukan, ada poin-poin yang sama:

1. Sekarang bukan jamannya tawuran otot
Kampus adalah tempat untuk tawuran otak, bukan tawuran otot. Mahasiswa bukan lagi anak kecil yang harus dituntun seperti anak kecil. Mahsiswa adalah manusia dewasa yang berpendidikan dan berakal, yang nantinya akan menjadi pemimpin di bidangnya masing-masing. Ingat, pemimpin tidak hanya mengatur anak buah saja, tapi juga harus bisa memimpin diri sendiri. 

2. Tentukan arah: visi dan misi
Segala hal yang baru tentu harus memiliki tujuan, termasuk ketika program studi atau organisasi baru dibentuk. Dengan adanya tujuan, kita dapat mengetahui apa yang harus kita lakukan untuk mengejar ketertinggalan. Tanpa ada tujuan, program studi atau organisasi menjadi tidak jelas dan berjalan tanpa arah.

3. Studi banding
Studi banding sangat perlu dilakukan untuk membuat "benchmark", baik dari segi sistem, metode pengajaran dan sebagainya. Studi banding perlu dilakukan tidak hanya oleh pengajar, namun juga untuk mahasiswanya ketika akan membuat organisasi (misalnya himpunan atau badan eksekutif mahasiswa). Sebagai contoh, mahasiswa bisa mengunjungi kampus, kantor atau perusahaan terkait, sehingga akan terbentuk motivasi untuk berorganisasi dan berkumpul. Studi banding tidak harus mengeluarkan uang banyak. Kita bisa menggunakan media elektronik, misalkan dengan menggunakan fitur video call, sehingga yang jauh jadi dekat, yang sudah dekat jadi lebih rapat.

4. Tiap organisasi itu unik 
Setelah mengetahui arah dari organisasi, berbenah tapi jangan lupakan hal yang tidak kalah pentingnya. "Tiap organisasi itu mempunyai warna yang berbeda-beda." Organisasi harus mempunyai jati diri, tentunya identitas itu yang baik (ingat, kita membahas tentang dunia akademis)

Saya jadi ingat pengalaman 8 tahun lalu. Saya pernah didudukkan di kursi sidang, bukan untuk sidang kelulusan, tapi diinterogasi oleh dosen saya di Fakultas. Masalahnya: KADERISASI. 

Saat itu, saya menjabat menjadi ketua himpunan mahasiswa tambang dan harus melantik 80 orang mahasiswa. Semua rencana sudah dipersiapkan dengan matang. Panitia sudah mengikuti Training of Trainer (TOT) , dan saya sudah meminta izin dari Kaprodi dan pembina kemahasiswaan (saat itu Pak Ridho Wattimena dan alm. Pak Rudianto Ekawan). Kedua Bapak itu menyerahkan segala tanggung jawab kepada panitia, saat itu saya dan Kadiv Kaderisasi, Adho, yang bertanggung jawab. Alhamdulillah pelantikan berjalan lancar, tidak ada yang terluka. 

Apesnya, saya dilaporkan kepada Dekan oleh Dosen jurusan lain. Beritanya kurang lebih: ada mobilisasi mahasiswa baru di sepanjang jalan Cisitu (Bandung) pada malam hari menuju Curug Dago. Bapak Dosen yang melaporkan ini ("wadul" dalam bahasa Jawa) belum tahu kalau saya sudah membuat gentlement agreement dengan dosen di Teknik Pertambangan. Karena laporan ini, saya disidang dan mendapat surat keterangan "Sdr. Andy Yahya Al Hakim" diberikan sanksi dan diturunkan dari jabatan ketua himpunan sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Hahaha...

Rencana yang sudah tersusun rapi saja bisa ada kekurangannya, apalagi jika tidak terkonsep. Memulai sesuatu yang baru itu susah, sama seperti membangun pondasi gedung yang tinggi. Seperti pepatah favorit saya:
Even the tallest building, starts from the ground

Caption: setelah saya diturunkan dari ketua himpunan, 4 tahun kemudian dia menjadi Prince alias ketua himpunan mahasiswa mesin (HMM). Saat dia wisuda, dia dilarang untuk naik di samping tiang bendera di depan gerbang ITB oleh petugas K3L. Akhirnya dia mengambil inisiatif. Dia meminta temannya bisa mengangkat dia sama tingginya dengan tiang bendera itu, dan dia memimpin mars HMM, dengan ketinggian yang sama dengan tiang bendera itu. Salut.
HMM dan HMT

Oh ya, ini beberapa masukan dari kawan-kawan saya tentang bagaimana membangun organisasi yang baik.

Prasetiyono Hari Mukti

kebiasaan tawurannya aja udh bukan merupakan budaya akademik yg patut diwariskan. Apalagi dg segala pernak-pernik perlengkapannya. Era saat ini udh bukan lagi era adu otot. Udh eranya adu otak. Kalaupun kosakata "tawuran" msh mau dipakai, maka saat ini bukan masanya tawuran fisik. Tapi "tawuran otak". Just my 2 Cents.

Setia Obi Pambudi

Menurutku Mas, angkatan-angkatan awal yang otaknya masih fresh ini diberikan suatu stimulus dengan mengadakan studi banding. 2-3 tahun pertama menurutku ini perlu buat membangun budaya akademis sekalian bisa belajar dari segi organisasi. Selain inisiasi dari mahasiswa, dari sisi pengajarnya pun perlu mencari referensi juga dari universitas yang sudah stabil mengajarkan materi mereka, baru setelah tahu mereka ingin cenderung ke arah mana, mereka bisa menekankan pada suatu konsentrasi keilmuan. Untuk budaya kekerasan, aku belum tahu solusinya mas. Tapi mumpung masih angkatan-angkatan awal, kalau bisa jangan sampai mereka ikut budaya yang tidak baik ini. Menurutku, budaya itu menular. Mana yang lebih kuat tendensinya bakal mendominasi. Jadi harus bisa dipotong mata rantai budaya yang tidak baik ini untuk menghentikan.

Muhammad Ikrar Lagowa 

Mas Andy Yahya Al Hakim, saya dulu juga "dibesarkan" di kondisi yang kurang lebih sama. Yang digadang gadangkan oleh senior-senior saya dulu ya yang seperti itu, dan dulu saya sempat bangga dengan itu. Tetapi ketika saya berkesempatan studi di pulau seberang, di kampusnya Mas, dan lalu ke negeri seberang, saya rasa semua hal itu konyol dan tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini. Saya setuju dengan komentarnya Mas Prasetiyono di atas. Sudah bukan jamannya tawuran otot. Lagipula memang sudah seharusnya dunia kampus berisikan tawuran otak, bukan tawuran otot. Senior lah yang biasanya berusaha mewariskan cara berpikir ini ke mahasiswa atau adik-adik tingkatnya, baik di kampus atau bahkan di dunia kerja. Alasan klasiknya adalah "kami dulu seperti itu". Alasan mereka adalah dunia kerja geologis dan insinyur tambang ini keras, jadi mahasiswa harus dididik keras. Yang banyak terjadi adalah tujuannya benar, tapi caranya salah. Selain itu, generasi mahasiswa sekarang sudah berbeda dengan yang dulu. Saya ingat sekali ketika mengospek mahasiswa angkatan 2008 dulu, bukannya mereka membalas dengan melawan balik, tapi mereka malah lapor polisi, Ringkas dan logis. Mereka juga harus dirangkul dengan cara yang lain, bukan dengan ditakut-takuti atau dikerasi. Jadi menurut saya Mas, yang bersangkutan dinasehati saja bahwa apa yang dia dengar itu sudah tidak relevan lagi dengan zaman sekarang. Alangkah lebih baiknya dia dan teman-teman angkatan pionernya meningkatkan skill dan pengalaman mereka sehingga nanti mampu menjadi angkatan pioneer yang membanggakan. Layaknya anak pertama, mereka harus punya kecintaan yang tertinggi terhadap almamater, bahkan kalau perlu mereka sekolah lagi dan kembali sebagai pendidik di kampus, demi kondisi belajar mengajar yang lebih baik dari apa yang mereka dapat sebagai angkatan pioneer, dimana kondisi lab mungkin belum lengkap, atau kurikulum belum terlalu established. Dengan perkembangan teknologi dan globalisasi saat ini, sudah saatnya putra putri local Indonesia jadi global-minded dan berkaca pada prestasi teman-temannya di negara maju. Studi banding tidak harus berkunjung langsung. Tur kampus bisa lewat youtube, atau skype. Semoga saran saya membantu. Salam dari seorang calon dosen


Andre Ginting

Menurutku apa yang dia sampaikan udah pas untuk menjawab masalahnya sendiri bang. Organisasi baru butuh portofolio yang baik dan benar menurut tujuan awal mereka ada. Jika mereka sudah punya maksud dan tujuan organisasinya, tinggal dikembangkan ke arah prestasi baik dalam lomba skala kampus maupun lomba nasional. Kalau belum punya tujuan, mereka harus buat dulu. Mau kemana ini perkumpulan mereka. Kalau sudah punya tujuan, sudah sangat mudah mengarahkan kumpulan mereka. Dan turunannya bisa dikembangkan ke bentuk yang lebih riil seperti budaya, kegiatan dan lainnya. Silahkan kita berdiskusi bang.hehe

Hariono La Pili

kalau menurut saya, setiap prodi baru harus menetapkan "identitas" mereka yang unik dibandingkan dengan prodi yang sama dari universitas lain sehingga mereka akan keluar dengan sesuatu yang unik sebagai identitasnya. cara ini juga akan menambah pengkayaan keilmuan diprodi tersebut yang pada akhirnya akan meningkatkan daya saing alumninya. yang perlu dilakukan adalah: 1. Para dosen harus mau belajar dan mengajarkan "sesuatu yang baru" dari pada hanya sekedar "copy/paste" materi yang diajarkan dosen mereka saat kuliah di universitas asal masing-masing. 2). untuk dapat "membuat pembeda" tersebut, maka prodi baru harus tau apasaja yang dimiliki dan yang telah dilakukan oleh prodi yang sama di universitas yang lain melalui kemintraan strategis yang saling menguntungkan, lalu menetapkan visi/misinya secara jelas dan memenuhi kaidah2 manajemen yang mereka anut. 3) Sebagai mahasiswa angkatan pertama atau angkatan setelahnya (sampaikapanpun... :) harus lebih proaktif, energik, pantang menyerah. poin ke tiga inilah yang paling penting dalam kasus ini. contoh rilnya: asosiasi mahasiswa geologi angkatan pertama tersebut misalnya sebaiknya lebih aktif melakukan silaturahim dan berdiskusi dengan asosiasi geologist di daerahnya, dengan dinas pertambangan, badan penenggulangan bencana dan atau dengan komunitas2 terkait lainnya. membangun komunikasi/silaturahmi tersebut tidak selalu harus melalui jalur resmi dapat dimulai dengan diskusi2 warung kopi atau mengundang mereka untuk mengisi kelas-kelas seminar dikampus.. mahasiswa harus bisa datang kepada para pihak tersebut sebagai anak yang ingin belajar, mau membantu mereka dan akan menguntungkan para pihak tersebut bukan sebagai mahasiswa yang mengedepankan "kritik menankutkan" sehingga proses silaturahim akan dimulai dengan suasana positif. mahasiswa angkatan awal juga jangan terlalu "terlena" dengan aktifitas prodi yang sibuk sosialisasi ke sekolah2 (SMA) biarkan itu sebagai pekerjaan kaprodi, fakultas dan universitas. kami dulu menyaksikan banyak mahasiswa sibuk atau disibukkan ngurusin anak SMA (untuk tujuan sosialisasi prodi) dan lupa mengembangkan kemampuannya sendiri.

Ivan Kurnia

Kalau boleh nambah: tidak ada salahnya mereka berembuk dengan pihak pengelola institusi. Biar kesalahpahaman di masa yang akan datang bisa terhindarkan. Untuk soal keunikan identitas serta visi dan misi, fokus ke subjek-subjek ilmu di lingkungan terdekat bisa jadi salah satu titik awal. Soal kultur kekerasan tampak lebih rumit. Kalau orang Minang ada pepatah: lawan pantang dicari, bertemu pantang dielakkan. Tapi kalau sudah sibuk membangun diri sendiri, mungkin peluang "bertemu lawan" bisa diperkecil

Achmad Rofi Irsyad

Ini kenapa saya dimasukkan... 😂 Btw, jagoan itu orang yg curhat ke sampean mas, salut. Pola pikirnya udah maju, mau menginisiasi budaya yg nggak soal gengsi "sangar2an" himpunan. Boleh sangar, tapi sangar prestasi..
Share:

0 comments:

Post a Comment

Komentar akan dimoderasi oleh penulis sebelum tayang. Terima kasih

Blog Archive

Kontak ke Penulis

Name

Email *

Message *