Conversations with the Earth

Endapan mineral di Finlandia dan Swedia

Perjalanan saya ke lingkaran kutub utara

Atlas of ore minerals: my collection

Basic information of ore mineralogy from different location in Indonesia

Sketch

I always try to draw a sketch during hiking

Apa itu inklusi fluida?

Inklusi fluida adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan adanya fluida yang terperangkap selama kristal tumbuh. Gas dan solid juga bisa terperangkap di dalam mineral.

Situ Cisanti di Pengalengan, Bandung

50 km dari Bandung, Situ Cisanti terkenal karena menjadi sumber mata air sungai Citarum

Showing posts with label bikecamping. Show all posts
Showing posts with label bikecamping. Show all posts

Monday, February 3, 2014

Belajar Geologi Sepulang Bikecamping di Jatiluhur




Sambil gowes, sambil belajar geologi. Itu yang jadi motivasi saya, ketika salah seorang teman saya menanyakan, bukit apa yang kami lihat di Plered. Saya memang yakin bahwa yang saya lihat adalah sebuah intrusi, namun apakah intrusi tersebut terpotong oleh sesar? Itu yang masih menjadi pertanyaan selama perjalanan saya dari Bandung hingga ke Jatiluhur, dengan menggunakan sepeda yang penuh dengan gembolan, yang biasa disebut oleh "pannier". Sekilas, tampak bahwa bukit tampak seperti mengalami sesar atau pergeseran, namun ternyata hipotesis saya kurang tepat, karena setelah saya plotkan di peta geologi, Gunung Cupu tersebut merupakan intrusi andesit.



Setelah saya tanyakan kepada penduduk setempat, ternyata bukit yang saya lihat adalah Gunung Cupu, tepat berada di pertigaan Plered, berada tepat di depan kita ketika kita menuruni Bandung-Padaralang-Cikalong Wetan-Gunung Hejo. Saya sempat mengambil beberapa foto, baik dari depan, maupun dari sampingnya, namun saya belum berkesempatan untuk turun dan melihat dari dekat kenampakan bukit tersebut.



Dilihat dari peta geologi, Gunung Cupu mempunyai kode "ha" yang berwarna pink, pada peta geologi di bawah, yang jika kita cek di kolom keterangan, maka penjelasan dari kode "ha" adalah andesit hornblenda dan porfir diorit hornblenda. Intrusi-intrusi yang umumnya tersusun dari plagioklas menengah dan hornblenda di sekitar G. Sanggabuana dan G. Parang. Saya coba cari dimana letak Gunung Sanggabuana dan Gunung Parang, dimana Gunung Sanggabuana berada perbatasan dari 4 Kabupaten, yaitu di Utara Kab. Karawang, sebelah Timur Kab. Purwakarta, sebelah Selatan Kab. Cianjur dan sebelah Barat Kab. Bogor. Sedangkan Gunung Parang, terletak di daerah Plered, Purwakarta. Saya memang dulu pernah melakukan pemetaan eksplorasi di daerah Plered, namun saya sendiri kurang "copy" dimana lokasi Gunung Parang tersebut.



Kembali lagi ke Gunung Cupu yang ada di depan saya kali ini, gunung ini merupakan sebuah intrusi, yaitu batuan beku yang naik ke permukaan, dan membeku di bawah tanah sebelum mencapai permukaan bumi. Intrusi ini kemudian bisa tersingkap dan nampak di permukaan karena adanya aktivitas dari alam (baik itu karena adanya hujan, angin, air, dan sebagainya), dan bisa juga akibat manusia (aktivitas penggalian). Di daerah Plered, intrusi ini dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, seperti di tambang Gunung Kecapi, di tempat saya berfoto, tidak jauh dari Gunung Cupu tersebut. Intrusi ini termasuk dalam jenis intrusi andesit, dimana andesit merupakan batuan beku asam. Saya coba cari informasi tambahan dari tulisan di dunia maya, yang ada malah asal usul penamaan Gunung Cupu, yang konon di daerah tersebut merupakan tempat peninggalan pusaka, yang lengkapnya bisa dibaca disini.



Dari Gunung Cupu, saya melanjutkan perjalanan bersama rekan-rekan gegembolan menuju Waduk Jatiluhur. Sekitar jam 15.30 saya sampai di waduk tersebut, dan langsung saya mendirikan tenda. Karena saya memang ingin mencari tempat yang tidak berjauhan dengan waduk (supaya ketika membuka tenda saya bisa melihat waduk langsung), saya buat tenda di tempat yang sedikit miring, dan tidak membuka di daerah yang datar karena becek. Memang posisi tidur menjadi kurang nyaman, namun saya bersyukur, karena sepanjang malam hujan, dan daerah yang posisinya lebih rendah dibandingkan tenda saya, hampir beceknya ga ketulungan.



Tanah yang becek, mengingatkan saya bahwa tanah tersebut mempunyai permeabiltas yang kurang baik. Apa itu permeabilitas? Saya kutip dari http://engineeringlectures.com/permeability-2/permeability-4 , bahwa yang dimaksud sebagai permeabilitas adalah "as the property of a porous material which permits the passage or seepage of water (or other fluids) through its interconnecting voids. A material having continuous voids is called permeable. Gravels are high permeability while stiff clay is the least permeable, and hence such a clay may be termed impermeable for all practical purposes.". Dari penjelasan tersebut jelas, bahwa gravel, atau bongkah batu mempunyai permeabilitas yang tinggi, sedangkan lempung, mempunyai permeabilitas rendah, sehingga sering disebut sebagai impermeabel. Seperti gambar di atas, yang paling kiri adalah gravel dengan porositas tinggi, gambar tengah itu gravel dengan porositas sedang, sedangkan yang paling kanan itu lempung.



Dan kalau kita hubungkan dengan tanah yang becek di sekitar Waduk Jatiluhur dengan peta geologi lembar Cianjur, tertuliskan bahwa lokasi tempat saya mendirikan tenda mempunyai kode "Msc", yang kalau kita lihat dari keterangan pada peta geologi, Formasi Subang , anggota batulempung - umumnya batulempung yang mengandung lapisan-lapisan dan nodula batugamping napalan keras, napal, dan lapisan-lapisan batugamping abu tua setebal 2-3 m. Kadang-kadang mengandung sisipan batupasir glaukonit hijau. Nah, sudah jelas, bahwa tempat saya mendirikan tenda merupakan batuan yang impermeabel yang tidak meneruskan air, sehingga sudah jelas, kalau hujan turun, maka drainase tanah akan kurang baik, sehingga air akan mengambang di lokasi tersebut. Prinsip ini digunakan oleh petani untuk menanam padi di sawahnya, karena umumnya, lokasi persawahan adalah batulempung, sehingga air yang berada di sawah, tidak akan habis menghilang karena sifat batulempung yang impermeabel.


Sangat berbeda dengan batupasir yang kita jumpai di sepanjang Cikalong Wetan hingga perbatasan dengan Tagogapu, dimana putaran pedal sepeda saya semakin melambat, padahal Pasar Padalarang tinggal 11 km lagi. Daerah ini merupakan contoh dari batuan yang permeabel, atau yang meloloskan air dengan mudah. Daerah Cikalong Wetan tersusun oleh produk letusan gunung api tua dengan kode "Qob" yaitu hasil gunung api tua, breksi lahar, lava. Breksi gunungapi, breksi aliran, endapan lahar dan lava, menunjukkan kekar lempeng dan tiang, susunannya antara andesit dan basal. Breksi inilah yang ditambang dan tidak mempertimbagkan keselamatan. Gambar tersebut adalah gambar kegiatan penambangan tahun 1920 di Tagogapu

(sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Tagogapu,_Padalarang,_Bandung_Barat)


Mengapa saya bilang seperti itu? Bisa-bisanya mereka membuat lereng penambangan yang hampir tegak 90 derajat, yang potensi bahayanya sangat besar. Secara bisnis, penambangan pasir merupakan salah satu kegiatan penambangan yang paling mudah, karena dengan bermodalkan back hoe dan dump truck, atau juga bisa dikombinasi dengan alat semprot yang disebut dengan monitor seperti yang saya jumpai di Sukabumi di artikel saya disini, pengusaha hanya tinggal meletakkan gundukan pasir di pinggir jalan, atau mengirim ke toko-toko material yang ada dimana-mana. Namun, betapa akibat yang sangat berbahaya yang tidak mereka indahkan. Mereka tidak memperhatikan faktor keamanan, dan yang dikhawatirkan, keselamatan pekerjalah yang jadi taruhannya.

Kembali ke cerita perjalanan bersepeda dari Jatiluhur menuju Bandung. Ketika melewati Cikalong Wetan dan masuk ke Tagogapu -yang dulu sempat saya salah baca, saya pikir cara baca-nya Ta-go-ga-pa-pu, ternyata yang benar Tagog-apu, daerah tersebut merupakan daerah penambangan batugamping dari jaman Belanda, yang tersisa-sisa hanya peninggalan cerobong asapnya saja. Saya mengenal istilah aneh tersebut (Tagogapu) setelah saya membaca buku dari Komunitas Riset Cekungan Bandung, dimana salah satu penulisnya, Pak Budi Brahmantyo menuliskan "bentang alam kars Citatah yang membentang ke arah Barat dari Tagogapapu sebelah Utara Padalarang, hingga ke Selatan Rajamandala, merupakan bentang alam yang tidak sepenuhnya terbentuk seperti kars tropis, tetapi gejala pelarutan batugampingnya termasuk cukup intensif".

Barulah saya paham, oh, ternyata gowes dari Cikalong Wetan menuju Tagogapu itu, menanjak, dan melewati kontak litologi yang berbeda, yaitu breksi di Cikalong Wetan kemudian batu breksi mengalami kontak dengan batukapur di Tagogapu. Sehingga tidaklah aneh, jika di daerah yang lebih rendah, yaitu Cikalong Wetan, banyak ditemukan balong atau kolam ikan, karena di daerah tersebut merupakan daerah permeabel, yang menjadi akuifer atau media tempat tersimpannya air, mengingat tipe batuan di Cikalong adalah batu breksi yang mempunyai porositas yang tinggi.

Dan akhirnya, tulisan ini saya tutup dengan sebuah kata yang terngiang-ngiang pagi ini, yang inspirasinya dari Suku Dayak (ada di toko Souvenir Saung Udjo, Bandung) dan kolam di Ubud (www.flickr.com, saya ttidak tahu siapa yang memfoto).

hear no evil, see no evil, speak no evil


Karena agak serem kalau diibaratkan dengan evil, maka diadopsi jadi seperti ini.

I already heard a story from my lecturer in geology, a few days a go I saw the outctrop, and now, I will tell those story to you.
Selamat menikmati tulisan saya, semoga bermanfaat.





Foto Kang Agus Widiana, berlatar Gunung Cupu, Plered

Klik Gambar di bawah untuk melihat artikel lain








1. http://blogs.unpad.ac.id/gunungcupu2010/2010/08/05/sejarah-gunung-cupu/
2. http://engineeringlectures.com/permeability-2/permeability-4
3. Peta geologi lembar Cianjur (Sudjatmiko) dan Peta geologi lembar Bandung (Silitonga)
4. Komunitas Riset Cekungan Bandung, Amanat Gua Pawon.
5. http://id.wikipedia.org/wiki/Tagogapu,_Padalarang,_Bandung_Barat
Share:

Monday, July 1, 2013

Bikecamping di Situ Gunung, Sukabumi




Kamis malam itu, susah rasanya menutup mata untuk mempersiapkan camping besok pagi. Entah kenapa, tiap ingin menikmati indahnya alam dengan sepeda, saya selalu tidak bisa tertidur pulas, malah memikirkan bagaimana perjalanan besok. Saya berencana untuk mengayuh pedal saya ke arah Barat dari Bandung, menuju sebuah danau di Taman Nasional Gede Pangrango, yaitu Situ Gunung.

Pukul 8 pagi, saya bertiga dengan kedua teman saya memulai perjalanan dari Gerbang Ganesha, Institut Teknologi Bandung. Saya memakai sepeda tua yang sudah dipasang rak dan pannier untuk membawa peralatan makan dan tidur, sedangkan kedua teman saya memakai sepeda gunung. Bikecamping, begitu istilah yang sering dipakai oleh komunitas pencinta bersepeda sambil membawa barang-barang sambil camping di lokasi yang akan dituju. Dari hasil penelusuran saya, perjalanan dari Bandung akan menempuh sekitar 120 km, dan karena saya ingin menikmati perjalanan ini, kami tidak mempermasalahkan kapan kami akan tiba, yang penting kami bisa sampai di lokasi yang kami tuju.

Perjalanan kami mulai menelusuri ke arah Padalarang, yang  didominasi oleh truk yang mengangkut batu kapur. Perjalanan terasa cepat, karena jalur yang kami lalui merupakan jalan raya antar kota, dengan elevasi yang relatif datar dan banyak menurun.

Setelah mencapai jembatan panjang yang menjadi batas antara Rajamandala dengan Cianjur, saya menyempatkan diri mengambil foto di atas sungai Citarum. Setelah jembatan tersebut, di kanan kiri banyak penjual cincau menjajakan dagangannya, seperti menyambut pelancong dari arah Bandung untuk beristirahat sejenak   sebelum melanjutkan perjalanan ke arah Cianjur.
Dari Cianjur, jalan raya yang ditempuh datar, dengan pemandangan sawah padi. Bus mulai tampak berseliweran menemani perjalanan kami. Disini kesabaran goweser mulai diuji, karena cuaca yang cukup panas (sekitar jam 10-11 siang), dengan rute yang datar, dan bus-bus besar yang mulai meng-klakson kami kalau jalan kami terlalu menutupi jalan yang akan mereka lewati. Yah, memang jika kita berjalan di jalan raya antar kota, kita harus banyak mengalah dengan pengendara lain dengan ukuran lebih besar, seperti bus dan truk.

Selepas dari Cianjur dan istirahat Sholat Jumat, saya melanjutkan perjalanan Cianjur-Warung Kondang. Dari Warung Kondang menuju perbatasan dengan Sukabumi, perjalanan mulai menanjak perlahan. Menurut saya, disini rute yang paling menguras tenaga, karena tanjakannya lumayan panjang, dimulai dari Warung Kondang hingga Gekbrong. Melahap tanjakan ini cukup lama, karena saya baru masuk ke perbatasan Sukabumi pada pukul 6 malam.


Setelah masuk kota Sukabumi, saya langsung melanjutkan perjalanan ke Cisaat, untuk melanjutkan perjalanan ke Situ Gunung. Perjalanan dari Cisaat menuju Kadudampit - Situ Gunung ternyata tidak kalah menantang. Perjalanan 9 km terakhir merupakan perjalanan paling indah saya. Jalanan benar-benar sepi (jam 9 malam start dari Polsek Cisaat), dan ketika itu di Kadudampit, sedang terjadi pemadaman lampu. Jalanan menanjak  dari ketinggian 600 meter di Polsek Cisaat, hingga Situ Gunung di ketinggian 1050 meter, kami bertiga lewati dalam 2 jam, hingga jam saya menunjukkan pukul 11 malam. Barulah saya mencapai gerbang Situ Gunung, Taman Nasional Gede Pangrango.


Dari pintu masuk, saya harus menuntun sepeda saya menuju pinggir danau, karena jalanan berbatu menyulitkan saya untuk menunggangi sepeda tua saya. Alhamdulillah, setelah menuntun sepeda sekitar 15 menit, saya mencapai tepi Situ Gunung, dan letih selama perjalanan Bandung-Situ Gunung, terbayarkan sudah. Keheningan, kesunyian, dan kedamaian, menikmati pantulan sinar bulan di danau nan asri. Terlebih ketika pagi hari datang, dingin menusuk, membuat saya enggan untuk bergegas pergi dari indahnya belaian kabut di Situ Gunung.

Share:

Wednesday, June 19, 2013

Belaian Embun Situ Sangkuriang


Bandung, ibukota Provinsi yang dibangun oleh Belanda tidak berdekatan dengan pelabuhan, merupakan sebuah fenomena alam yang indah, karena dikelililingi oleh alam yang sejuk, dan dikelilingi oleh perbukitan dan gunung. Jika kita berdiri di tempat yang cukup tinggi di Bandung, kita dapat melihat adanya Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Burangrang, Gunung Palasari dan Gunung Bukit Tunggul di sisi Utara, di Bagian Barat terdapat perbukitan kapur Padalarang-Ciatatah-Rajamandala (Gunung Masigit, Pasir Bancana, Pasir Pawon, dll), di bagian Timur terdapat Gunung Manglayang dan Gunung Masigit-Kareumbi, dan di bagian Selatan terdapat Gunung Malabar, Gunung Tilu dan Gunung Patuha. Hampir di tiap lokasi gunung tersebut ditemukan obyek wisata yang menarik untuk dikunjungi, seperti obyek wisata Tangkuban Perahu di sisi Utara, Goa Pawon di Pasir Pawon-Citatah, Kawah Putih di Gunung Patuha, serta Kawasan Konservasi Kareumbi di Gunung Masigit, Kareumbi. Aduhai, betapa indahnya Bandung ini. Namun kali ini, saya coba membagi sedikit yang saya tahu tentang obyek wisata di sisi Utara Bandung, tentunya dengan sedikit bumbu "geologi", supaya tulisan di blog ini tetap pada jalurnya sebagai blog yang edukatif.

Gunung Bukit Tunggul dari Situ Sangkuriang

Gunung Bukit Tunggul, merupakan salah satu sisa dari letusan Gunung Sunda, dimana gunung ini mempunyai ketinggian 2.208 mdpl. Di kaki sebelah Selatan Bukit Tunggul, terdapat perkebunan kina yang dikelola oleh PTP VIII Bukit Unggul (entah mana yang betul, Bukit Tunggul atau Bukit Unggul). Asal muasal Bukit Tunggul menurut legenda Sangkuriang, berasal dari kayu dari pohon yang tumbuh di bagian Timur, dimana tunggul (pokok pohon, dalam bahasa Sunda), yang menjadi bahan untuk membuat perahu yang disyaratkan oleh Dayang Sumbi (cerita sejarahnya dapat dilihat disini). Bukit Tunggul tersebut, berada di Desa Cipanjalu, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung, yang menghubungkan antara Lembang dengan Ujungberung. Daerah ini bisa dicapai dari Maribaya-Cibodas-Bukit Tunggul, atau dari Ujungberung-Tanjakan Panjang-Palintang-Palasari-Bukit Tunggul.

Situ sangkuriang

Di Situ Sangkuriang, terdapat mata air yang diperkirakan menjadi sumber dari Sungai Cikapundung, yang mengalir dari Lembang ke Kota Bandung. Jika dilihat secara geologi, mata air merupakan pertemuan antara 2 litologi yang berbeda, dimana air mengalir di antara rekahan-rekahan batuan, atau pada pertemuan antara batuan yang bersifat permeabel (dapat mengalirkan air), dengan yang impermeabel (susah ditembus air). Kalau kita lihat pada peta geologi dan morfologi, Situ Sangkuriang berada tepat di cekungan antara Gunung Bukit Tunggul dan Gunung Palasari. 


Peta geologi lembar Bandung yang menunjukkan lokasi Bukit Tunggul dan Situ Sangkuriang

Dari peta geologi, Situ Sangkuriang berada di Formasi yang berwarna jingga hingga cokelat dengan kode Qyu, dimana Qyu adalah Hasil Gunung Api Tak Teruraikan yang terdiri dari pasir tufaan, lapili, breksi, aglomerat. Sebagian berasal dari Gunung Tangkuban Perahu dan sebagian berasal dari Gunung Tampomas. Sedangkan di bagian Selatan dari Situ Sangkuriang, formasi ditandai oleh kode Qc dimana, Qc adalah Koluvium, yang terdiri dari reruntuhan pegunungan hasil gunung api tua, berupa bongkah batuan beku antara andesit-basal breksi, batupasir, lempung dan tufa. Adanya kontak antara 2 formasi tersebut memungkinkan adanya air tanah yang keluar, dan mengalir mengisi cekungan, yang oleh warga dibendung, menjadi Situ Sangkuriang dan Curug Batu Sangkur.

Jika dilihat, daerah yang didominasi oleh persawahan dan perkebunan kina tersebut merupakan daerah yang sangat subur, dimana hampir di sepanjang pengamatan saya, tidak ada tanah yang tidak ditanami oleh warga. Pada beberapa titik, saya melihat adanya kenampakan terasering oleh warga yang teratur, yang biasa disebut oleh goweser sebagai jalur circle crop, yang melingkar sepanjang bukit. Tanah yang tebal, merupakan produk dari gunung api purba, sehingga pada daerah tersebut, abu gunung berapi terakumulasi sehingga membentuk lapisan tanah yang subur.

Crop circle di kala hujan 

Crop circle dengan pemandangan Gunung Palasari (di kala cerah) (foto: Yogie Subrata)

Hal lain yang bisa diamati adalah fenomena Sesar Lembang, yang tepat melintasi Gunung Palasari. Sesar yang relatif berarah Barat-Timur ini dapat diamati dengan jelas, jika kita melewati Maribaya-Cibodas, dan kita menengok ke gawir terjal. Adanya gawir tersebut ditunjukkan oleh adanya kontur kasar, yang berubah menjadi halus, dan sangat jelas jika dilihat pada penampakan di citra yang didapat dari google maps.

Sesar lembang yang melintasi Gunung Palasari dan Palintang, yang berarah ke Cibodas, Lembang dari citra Google Maps
Gawir sesar lembang (di jalan antara Maribaya-Cibodas melihat ke arah Selatan)

Nah, ternyata dengan berjalan-jalan, banyak bukan yang bisa dipelajari dari sekitar kita. Memang, alam kita merupakan laboratorium yang tiada habisnya untuk kita amati. Saya datang kemari, ditemani oleh Three Musketeer (Gumi, Firly dan Obi), serta teman-teman dari Bikepacker Indonesia, yang menemani saya bergowes dari Ujungberung sampai pintu masuk PTP Bukit Unggul, namun sayangnya rombongan Three Musketeer tidak bisa ikut saya menikmati Situ Sangkuriang karena harus kembali lagi ke Bandung. Semoga sekelumit cerita yang ngalor ngidul ini bisa memotivasi teman-teman, tidak hanya mengagumi keindahan alam di sekitar kita, namun juga melihatnya dari sisi yang lain.

end.of.paragraph.

GeoEducative Blog
Follow me: @andyyahya
Three Musketeer (dari ki-ka: Gumi, Firly dan Obi)
Warung di Tanjakan Pines

SD Palintang

Membelah Gunung Palasari dari Palintang
Perkampungan warga di kaki Palasari
Berlatarkan Gunung Palasari

Situ Sangkuriang berlatarkan Gunung Bukit Tunggul
Situ Sangkuriang, melihat ke arah Barat
Tanggul buatan untuk membendung Situ Sangkuriang


Klik Gambar di bawah untuk melihat artikel lain





Share:

Blog Archive

Kontak ke Penulis

Name

Email *

Message *