Conversations with the Earth

Endapan mineral di Finlandia dan Swedia

Perjalanan saya ke lingkaran kutub utara

Atlas of ore minerals: my collection

Basic information of ore mineralogy from different location in Indonesia

Sketch

I always try to draw a sketch during hiking

Apa itu inklusi fluida?

Inklusi fluida adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan adanya fluida yang terperangkap selama kristal tumbuh. Gas dan solid juga bisa terperangkap di dalam mineral.

Situ Cisanti di Pengalengan, Bandung

50 km dari Bandung, Situ Cisanti terkenal karena menjadi sumber mata air sungai Citarum

Showing posts with label artikel geologi. Show all posts
Showing posts with label artikel geologi. Show all posts

Thursday, February 27, 2014

Darimana Asal Pasir Besi?

Umumnya, kita akan senang dan berfoto ceria ketika bermain di pantai yang berwarna putih dibandingkan ketika kita datang ke pasir pantai berwarna hitam. Sekarang, saya coba gali sedikit tentang pasir di pantai, terutama asal mula pasir yang berwarna hitam dan putih.


Pasir berwarna hitam, karena mengandung mineral dengan dominasi unsur besi. Cara mengujinya? Sangat simpel, tinggal dekatkan magnet ke pasir tersebut, pasti banyak mineral yang mengandung unsur besi yang tertarik oleh magnet. Sifat kemagnetan tersebut, kita sebut sebagai ferromagnetik, yang artinya ditarik sangat kuat oleh magnet. Berbeda ketika kita mendekatkan magnet ke pasir pantai yang berwarna putih. Tidak ada butiran yang akan tertarik oleh magnet, kita sebut sebagai diamagnetik, atau sedikit tertarik oleh magnet. Sekarang, kita masuk lebih jauh, mineral apa sih yang terkandung di dalam pasir yang berwarna hitam itu, dan apa yang ada di pasir berwarna putih itu? Pada pasir yang berwarna hitam, mineral yang mendominasi adalah magnetit (Fe3O4), hematit (Fe2O3), Limonit (Fe2O3.nH2O), Siderit (FeCO3). Semakin gelap warna dari pasir, menunjukkan konsentrasi unsur Fe yang makin tinggi (ilustrasi pasir besi yang tertarik magnet).
Pada pasir yang berwarna putih, mineral yang mendominasi adalah silika (SiO2), zirkon (ZrSiO4), felspar (KAlSi3O8 – NaAlSi3O8 – CaAl2Si2O8) yang berwarna pink, dan sesekali kita jumpai bekas-bekas makhluk hidup (koral) atau gamping (CaCO3), mungkin juga mengandung mineral seperti rutil (TiO2), kasiterit (SnO2), bahkan bisa mengandung mineral tanah jarang (REE) seperti xenotime (YPO4), monasit [(Ce,La,Nd, Th(PO4, SiO4)]. Seperti gambar di atas, yang menunjukkan pasir pantai di Pantai Pelabuhan Ratu, Sukabumi, yang didominasi oleh mineral yang berwarna terang yaitu silika dan felspar. 

Kita bertanya-tanya, mengapa hanya pantai di Selatan Jawa dan pantai di Barat Sumatera umumnya berwarna hitam (walaupun tidak semuanya), dan di pantai Utara Jawa berwarna terang? Syarat utama dari terbentuknya pasir besi adalah gunung api, dan sungai yang mengalir melalui pantai. Gunung api merupaka sumber (source) dari pasir besi, yang berwarna kehitaman. Letak gunung berapi sepanjang Sumatera yang lebuh ke arah Barat, serta Jawa yang lebih dekat dengan sisi Selatan, serta adanya sungai yang mengalir ke lebih dekat ke sisi Barat dan Selatan, membuat pasir besi hasil erupsi gunung berapi yang aktif, tertransportasi ke pantai dan terakumulasi di pantai tersebut. Sumber dari pasir besi ini adalah batuan yang bersifat intermedier hingga basa yang bersifat andesitik hingga basaltik (gambar pasir besi di Rancabuaya, Garut).


Pasir besi termasuk ke dalam endapan sedimenter, karena mengalami proses:
1. perombakan
2. transportasi
3. pemilahan
4. pengkayaan.
Dari gambar di sebelah, tampak pasir besi yang berasal dari gunung berapi, mengalir melewati sungai, berkumpul di sepanjang sungai (terutama pada lekukan sungai), dan mengendap di sungai, muara, hingga menuju laut. Ombak yang menyapu di sepanjang pantai membuat pasir besi terpilahkan dan menjadi butiran bebas, yang terkayakan, dimana mineral dengan nilai specific gravity tinggi akan mengendap, sedangkan mineral yang mempunyai nilai specific gravity rendah akan tercuci dan terbuang. Proses ini terjadi berulang-ulang, sehingga bisa terbentuk menjadi endapan pasir besi yang ditemukan di sungai maupun di pantai.


slide penulis

slide penulis


slide penulis

Aspek politik dan ekonomi vs Aspek lingkungan dan pariwisata
Kegunaan pasir besi sangat banyak, antara lain:
bahan baku industri baja
bahan baku industri semen
bahan dasar tinta kering (toner)
bahan utama pita kaset
pewarna serta campuran (filter) untuk cat
bahan dasar untuk industri magnet permanent
Bagi orang-orang yang berkecimpung di dunia tambang, pasir yang berwarna hitam mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi, dibandingkan yang berwarna putih. Pasir yang berwarna hitam tersebut, karena mengandung unsur besi yang tinggi, dapat dimanfaatkan tidak hanya untuk konstruksi bangunan, namun bisa juga di ekstrak untuk diambil besi nya saja, untuk dijadikan sebagai bijih besi. Jawa Barat, yang sudah menjadi rumah kedua saya, mempunyai garis pantai 1.000 km yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, menjadi seperti novel "Salah Asuhan", karena adanya pasir besi tersebut, membawa berkah, namun juga membaha bencana bagi orang-orang yang menggantungkan nasibnya pada perikanan, kelautan dan pariwisata.

Bencana itu, kalau boleh saya bilang, ditambah lagi ketika pada tahun 2010 yang lalu, Gubernur Jawa Barat, mengeluarkan surat edaran moratorium pertambangan pasir besi di wilayah Jawa Barat Selatan terkait dengan ditetapkannya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Ahmad Heryawan di Bandung, Selasa, mengatakan dikeluarkannya surat edaran moratorium tersebut berdasarkan kepada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan dan PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan. Menurutnya, surat edaran ini juga ditujukan kepada lima kabupaten, yakni Kabupaten Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Cianjur dan Kabupaten Sukabumi, yang kesemuanya berada di Jawa Barat bagian Selatan (gambar di samping adalah lokasi tambang pasir besi di Tasikmalaya).

Mengapa menjadi bencana? Hampir sepanjang Jawa Barat, pantainya berwarna hitam, yang mengandung pasir besi. Dengan adanya edaran tersebut, kegiatan penambangan pasir besi menjadi mati suri, dan kebanyakan malah menjadi ajang curi-curi dari pengusaha yang nakal, yang selalu berkonfrontasi dengan aspek yang lain, yaitu aspek pariwisata maupun aspek lingkungan.

Di tempat lain, ada sebuah Pulau Kecil di gugus taman nasional Bunaken, yang bernama Pulau Bangka. Pulau yang terletak di Kabupaten Minahasa Utara ini, sedang hangat-hangatnya naik ke pemberitaan, mengingat konfrontasi antara dunia tambang dan pariwisata, bakal tidak akan berkesudahan. Seperti buah simalakama memang, mengingat pembangunan negeri ini sangat pesat, pemberlakuan ekspor bijih mentah yang sudah dilarang yang mensyaratkan penambang wajib mengolah bijih mentah menjadi barang setengah jadi maupun barang jadi, dan konflik dengan para penikmat dan pelaku usaha pariwisata, membuat nasib pasir besi menjadi persoalan yang rumit dan berlarut-larut. Di Pantai Cipatujah, Tasikmalaya, penyu yang ada di daerah tersebut menjadi jarang bertelur akibat adanya pada pantai, sehingga pantai yang semula tenang dan tidak terlalu berombak, saat ini menjadi berombak kuat sehingga penyu susah untuk menepi.


Kawasan konservasi penyu di Pantai Cipatujah

Abrasi pada Pantai Cipatujah
Proses pemurnian menjadi pasir besi dengan kadar yang tinggi memerlukan alat yang bernama magnetic separator, yang merupakan kumparan-kumparan yang berbentuk tabung, yang jika dialiri arus listrik, maka mineral yang bersifat feromagnetik akan tertarik oleh magnet, sedangkan yang bersifat diamagnetik akan masuk ke dalam bak penampungan, yang akan diulang terus menerus sampai kadar bernilai ekonomis untuk dipasarkan (gambar disamping). Namun, itu hanya langkah awal dari pengolahan dan pemurnian pasir besi. Bijih ini kemudian umumnya tidak di olah di dalam negeri, namun langsung dipasarkan melalui pelabuhan-pelabuhan, seperti yang ada di Cilacap, dimana nilai dari pasir besi ini masih sangat murah. Padahal nantinya, bijih besi akan masuk kembali ke Indonesia dalam bentuk baja, yang harganya jauh lebih mahal, yang membuat perusahaan baja sekelas Krakatau Steel sempat terseok-seok karena bahan baku yang mahal. Ironis memang, bahan baku milik kita sendiri, namun kita sendiri belum mengoptimalkan potensi yang ada itu. Bagai itik yang mati di lumbung padi.


Terlepas dari carut marutnya konflik pasir besi di Indonesia, memang harus ada sikap tegas dari Pemerintah dan penegak hukum. Dinas Pertambangan daerah akan ompong tanpa adanya tindakan dari aparat kepada penambang-penambang liar, namun akan lebih tak bergigi lagi jika Pemerintah sebagai pembuat regulasi tidak memberikan sanksi sebesar-besarnya kepada pada penambang liar tersebut. Hal ini bukan untuk melarang kegiatan penambangan pasir besi, namun harus mengatur supaya semua pihak yang terlibat dan masyarakat tidak terkena dampak dari aktivitas penambangan. Reklamasi di bekas lahan penambangan bisa dilakukan, seperti riset yang dilakukan oleh Djajakirana, Tjahyandari dan Suprijatno dari IPB (2009), yaitu dengan menambahkan bahan-bahan organik pada lokasi bekas tambang (slide dikutip di bawah paragraf) (gambar kiri adalah potensi pasir besi di Pantai Loji, Sukabumi)






Sudah saatnya Indonesia menjadi negara yang madani, yang tidak hanya bisa mengambil dan menjual bahan alam, namun juga mengekstraksi tidak hanya menjadi bahan logam setengah jadi, namun menjadi bahan jadi.


Foto saya ketika diminta oleh Dosen senior memberi kuliah lapangan tentang Zeolit di lokasi tambang pasir besi di Cipatujah (thx Meiliza buat fotonya)

Tambang besi hematite di Austria


Klik Gambar di bawah untuk melihat artikel lain





Sumber:
1.Slide perkuliahan Genesa Bahan Galian, 'Genesa Pasir Besi'
2.http://rovicky.wordpress.com/2008/06/09/gumuk-pasir-sand-dune/
3.http://www.change.org/id/petisi/gub-sarundajang2014-bupati-sompie-singal-tolak-tambang-di-pulau-kecil-selamatkan-pulau-bangka-sulut
4. Reklamasi Lahan Bekas Tambang Pasir Besi Melalui Teknik Ameliorasi In Situ Bahan Organik.Gunawan Djajakirana, Dyah Tjahyandari, Suprijatno. IPB. 2009

Share:

Tuesday, January 7, 2014

Lombok Selatan: Sade, Pantai Kuta, dan Gunung Api Bawah Laut Tanjung Aan


Keanekaragaman budaya di Indonesia sangat beragam, mulai dari suku bangsa, adat, makanan, bahasa, dan sebagainya. Sebut saja Pulau Lombok, yang didiami oleh suku asli yaitu Suku Sasak. Memang tidak hanya suku Sasak yang mendiami pulau yang berluas sekitar 4.725 km persegi, dimana juga didiami oleh Suku Bugis yang umumnya datang di pesisir Utara dari Lombok dan menghuni "The Three Hot Spot", yaitu Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan, suku Bali yang berada di daerah Cakranegara, suku Jawa, suku Bima dan suku lainnya.

Kali ini, saya coba bercerita sedikit yang saya ketahui tentang Suku Sasak yang mendiami perkampungan adat di Sade, di bagian Tenggara dari Bandara Internasional Lombok di Praya yang mulai beroperasi sejak 2011.

Perkampungan Sade, didiami sekitar 750 kepala keluarga, yang sudah menghuni di daerah tersebut lebih dari 15 generasi. Di daerah tersebut, penduduknya menggunakan bahasa Sasak, dan hanya anak muda yang sudah mulai bisa berbahasa Indonesia. Mayoritas penduduk yang tinggal di daerah tersebut beragama Islam, dimana agama yang diyakini sebelumnya adalah Waktu Telu, yaitu praktek beragama dari masyarakat Sasak yang merupakan akulturasi dari animisme, dinamisme, Hindu, yang baru di akhir masa masuk agama Islam.

Hal ini menyangkut tata cara peribadatan, dimana hanya pemangku adat dan raja yang beribadah. Simbol Waktu Telu juga nampak pada bentuk bagian dalam rumah, yang mempunyai tiga buah tangga di dalamnya. Namun semenjak Islam masuk ke Lombok oleh para wali dan Sunan, kebudayaan Waktu Telu sudah mulai hilang, dan berubah menjadi agama Islam. Simbol tiga buah tangga di rumah ditambah dengan dua buah tangga lagi di bagian depan, yang menandakan solat 5 waktu.


Kalau kita masuk ke dalam perkampungan tersebut, hampir semua rumah adat masih di pel menggunakan kotoran sapi dan kotoran kerbau, yang bisa dengan cepat kering karena alas tanahnya merupakan tanah liat. Sehingga ketika masyarakat tersebut akan melakukan solat, mereka harus melaksanakan solat di masjid di perkampungan tersebut. Umumnya, bentuk rumah adat beratapkan alang-alang, yang diatur rapi sehingga dapat bertahan lama. Ketika sudah nampak adanya kebocoran, baru alang-alang tersebut diganti dengan yang baru. Karena sebagian dari warganya mempunyai pekerjaan utama berdagang, maka di dekat rumah umumnya terdapat rumah adat Suku Sasak, bertingkat, dan digunakan sebagai tempat penyimpanan beras. Konon katanya, hanya laki-laki yang boleh masuk ke dalam lumbung tersebut, karena menurut kepecayaan Sasak, jika wanita masuk, maka dapat mandul.


Tradisi lain yang masih berlangsung adalah kawin lari, dimana ketika seorang laki-laki ingin meminang wanita dari suku Sasak, maka mereka harus menyiapkan mahar sekitar 4-5 ekor kerbau (namun tidak di Sade, yang hanya cukup dengan mahar seperangkat alat solat dan uang), dimana laki-laki harus bisa mencuri wanita yang akan dinikahinya dan dibawa lari ke kampung kerabatnya. Si wanita harus terlebih dahulu bisa menenun sebagai syarat wajib sebelum menikah. Kemudian setelah wanita dicuri, harus ada perwakilan dari laki-laki yang datang ke keluarga istri dan menyampaikan bahwa wanita sudah diamankan di kampung yang lain, dengan istilah "nyelabar". Hanya sebagian dari Suku Sasak yang masih menjalankan ritual tersebut, terutama yang masih menganut kepercayaan adat yang masih kuat.

Masuk ke Selatan dari perkampungan adat Sade, maka kita akan menjumpai pantai berpasir putih yang indah, yaitu Pantai Kuta. Memang, namanya sama dengan pantai Kuta yang ada di Bali, namun yang membedakan, pantai di Lombok Selatan ini jauh lebih tenang dibandingkan Kuta Bali. Yang disayangkan, modernisasi Barat sudah mulai masuk ke daerah tersebut, seperti adanya bar, kafe, minuman beralkohol, yang datang mengingat jumlah wisatawan asing yang datang ke daerah tersebut untuk berlibur cukup banyak. Di sebelah Timur dari Pantai Kuta,kita akan menjumpai Pantai Seger,dan juga pantai di Tanjung Aan. Menurut logat suku Sasak,Tanjung Aan dibaca tidak seperti mengucap "A'an",namun dibaca panjang,sehingga dituliskan sebagai "Aan". Di daerah ini,terkenal mitos akan Dewi Mandalika,yang saya juga kurang "copy" sejarahnya seperti apa,namun diyakini,ketika Dewi Mandalika muncul 1x dalam setahun,akan muncul cacing dalam jumlah yang sangat melimpah yang dapat dimakan langsung. Sejenak saya teringat pelajaran biologi jaman SMP ato SMA,tentang cacing wawo dan cacing palolo yang dapat dimakan karena berprotein tinggi.

Ada fenomena menarik di daerah tersebut, yaitu adanya gunung-gunung purba, yang merupakan komplek "old andesite" yang akan saya jelaskan nanti, serta ada fenomena batu payung, yang merupakan sisa-sisa peninggalan endapan piroklastik atau letusan gunung api, yang diyakini merupakan gunung api bawah laut, yang tersisa hingga saat ini. Saat ini, fenomena sisa-sisa gunung, dan batu payung dapat kita lihat di sepanjang Pantai Kuta, Pantai Seger, dan Tanjung Aan, Lombok Selatan.

Kalau kita lihat peta geologi Lombok (Andi Mangga dkk, 1994) daerah Pantai Kuta tersebut merupakan bertanda Tomp, yaitu Formasi Penggulung yang terdiri dari breksi lava, tuf, dengan lensa batugamping yang mengandung mineral sulfida dan urat kuarsa dan endapan yang lebih muda bertanda Qa yang merupakan endapan aluvium. Di sebelah Timur dari pantai tersebut, terdapat kenampakan batuan-batuan intrusif (Tmi), serta para geolog meyakini bahwa di daerah tersebut merupakan komplek gunung api bawah laut.







Saya coba mengutip pernyataan dari Pak Budi Brahmantyo, dosen mata kuliah geomorfologi saya pada tahun 2007 mengenai Tanjung Aan di Lombok Selatan 



"Endapan piroklastik gunung api bawah laut Oligosen di Tanjung Aan, Lombok selatan, memang menarik setelah diukir gelombang Samudera Hindia.  (foto Pak Budi saat Ekspedisi Geografi Indonesia Bakosurtanal 2010)."










Jika menurut Pak Awang H Satyana yang saya kutip dari http://geologi.iagi.or.id/2011/07/26/kompleks-gunungapi-bawahlaut-old-andesites-tanjung-aan-lombok/, bahwa Tanjung Aan merupakan komplek "Old Andesite" yang melingkari sisi Barat Daya-Selatan-Tenggara Sunda Land pada Kala Oligo-Miosen. Mengutip dari beliau, 

Old Andesites” pertama kali digagas oleh Verbeek dan Fennema (1896) sebagai ‘Oud Andesiets‘ dalam sebuah buku magnum opus “Geologische Beschrijving van Java en Madoera“. Tetapi adalah van Bemmelen dalam buku magnum opus-nya, “The Geology of Indonesia” (1949) yang memopulerkan dan menganalisis Old Andesites dengan detail dalam analisis-analisisnya meskipun masih dikemas dalam teori geosinklin atau undasi yang dikembangkannya."


Dengan keterbatasan saya sebagai Oemar Bakrie di Teknik Eksplorasi Tambang ITB, yang mengetahui sekelumit dari ilmu geologi, berbeda dengan kedua ilmuwan di atas, saya ingin menunjukkan, betapa indahnya ketika kita bisa menggabungkan antara sisi keilmuan dengan sisi pariwisata. Adanya papan penunjuk yang menceritakan geologi di daerah tersebut pada masa lampau dalam bahasa yang lebih sederhana dan mudah dipahami oleh orang awam, maka potensi wisata di Indonesia, terutama di Lombok Selatan, dapat meningkat menjadi taman-taman geologi di Indonesia. Akses yang bagus menuju lokasi, bisa memberi nilai positif ketika ingin mengembangkan menjadi daerah geowisata di Pulau Lombok. 
Berwisata? Semua orang bisa, cukup dengan meluangkan waktu dan menyisihkan dana. Cita-cita saya suatu hari nanti, saya bisa mengajak anak cucu saya (semoga punya banyak) ke tempat ini, atau ke tempat wisata lain, dimana mereka bisa langsung membaca plang-plang yang bertuliskan penjelasan dari aspek keilmuan geologi, sehingga nantinya bukan hanya sekelumit orang yang mengerti tentang ilmu geologi, namun semua orang mengerti geologi, supaya nantinya makin banyak orang yang ikut menjaga alam ini, terutama keindahan alam dan budaya di Lombok Selatan. 
Share:

Wednesday, October 30, 2013

Jasper, Bongkah Merah Delima dari Pedalaman Tasikmalaya

 
Untuk menuju kesana,diperlukan waktu 4-6 jam,tergantung dari kondisi jalanan,dan cuacanya. Lokasi calon geopark ini bisa dibilang sangat terpencil,dan secara geografis,sudah hampir mendekati Kabupaten Ciamis. Sungai Cimedang, Desa Buniasih, Kecamatan Pancatengah, Kabupaten Tasikmalaya merupakan lokasi terdapatnya taman batu permata, taman Jasper. Bongkah Jasper, atau disebut juga Jaspis,atau batu merah hati,tersebar di persawahan,dan juga di sepanjang sungai Medang. Jasper merupakan varian dari kalsedon, opak, kaya akan silika, dan dapat berwarna merah, cokelat, kuning bahkan hijau, tergantung pengotor yang menyusun mineral tersebut. Jasper termasuk batu mulia, karena kekerasannya yang lebih dari 7. Ada berbagai jenis batu mulia yang bisa kita jumpai, yang saya halaman blog saya yang lain tentang jenis-jenis batu mulia, dan cara membedakan marmer dengan batu mulia.






 
Sama seperti silika, jasper mempunyai specific gravity 2.5-2.9 dan sangat umum digunakan sebagai perhiasan. Istilah jasper umumnya digunakan pada batuan yang kaya akan silika, yang telah mengalami proses metasomatik atau metamorfisme. Nama Jasper berasal dari bahasa Yunani - ϊασπις (entah apa bacanya ya), dan bahasa Latin - iaspis , yang berarti menyerupai api. Jikalau orang awam melihat sekilas,mungkin mengira batu berwarna merah ini hanyalah batu bata biasa,atau yg mengenyam ilmu geologi pun bisa mengatakan batu merah ini adalah rijang (chert). Lalu apa yang membedakannya dengan rijang?

Rijang, atau chert merupakan silica dalam ukuran butir yang sangat halus, mikro-kristalin atau kripto-kristalin, dan merupakan varian dari batuan sedimen, yang dapat mengandung fosil di dalamnya. Rijang sendiri dapat berwarna-warni, bisa merah, hitam, abu, cokelat, dan sebagainya. Rijang umumnya terbentuk pada pengendapan laut dalam, sehingga jika kita menemukan adanya rijang, maka bisa jadi kita sedang berada di lingkungan pengendapan yang dulunya adalah laut dalam. Seperti di Karangsambung, terlihat adanya perselingan antara lempung merah-rijang-lava bantal. (Ilustrasi: rijang di Kali Muncar, Kampus Karangsambung).




Gambar perselingan antara batu lempung merah dan jasper, pada bagian atas nampak lava bantal
Jasper ini sudah banyak diangkut oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, dan melarikan batu yang langka ini keluar negeri. Memang, secara dimensi jasper ini sangatlah besar, dan untuk menuju ke tempat ini, diperlukan perjuangan yang tidak mudah. Namun sempat tersiar kabar, bahwa investor siap mendatangkan gergaji intan, yang dapat memotong jasper dalam ukuran yang lebih kecil, sehingga lebih mudah untuk dipindahkan. Hmmm, alangkah naifnya orang yang sudah terlupakan dengan harta, sehingga keserakahan sampai membuat dia ingin mengambil sangat banyak dari dunia ini.


Daya tarik ini yang membuat banyak peneliti yang menyayangkan eksploitasi dari situs geologi yang sangat langka, yang bahkan tidak akan dijumpai di tempat lain. Sehingga muncul usulan untuk membuat lokasi ini sebagai geopark, atau taman wisata geologi. Namun untuk menjadikan daerah ini menjadi geopark tentu tidaklah mudah. Akses yang sangat terpencil menuju lokasi ini, jalan yang berbatu, dan tidak adanya dukungan dari pemerintah, membuat banyak yang akhirnya meragukan rencana geopark ini. Memang, dengan mengeluh seperti ini, tentu tidak akan membawa dampak yang signifikan, namun yang ingin saya angkat disini, bahwa untuk menjadikan suatu hal yang tidak mungkin menjadi hal yang besar, perlu adanya bantuan dari berbagai pihak. Perjuangan dari kalangan pemerhati jasper ini tidak lah cukup, kalau tidak dibantu dengan dukungan dari Pemerintah, seperti dengan membuatkan akses, sehingga wisatawan yang ingin berkunjung untuk melihat taman jasper ini, dapat melihat keindahan batu


Keelokan dari Jasper ini sudah memikat banyak peneliti, sebut saja Pak Sujatmiko dan Pak Eko Yulianto, yang sampai menerbitkan buku berjudul "Merahnya Batu Merah - Taman Jasper Tasikmalaya". Saya kutip dari http://cekunganbandung.blogspot.com/2012/02/mimpi-taman-jasper-di-tasikmalaya.html
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------



"Batu-batu ini bahkan tersebar hingga persawahan dan halaman-halaman rumah penduduk yang bermukim di Kampung Pasirgintung, Desa Buniasih, Kecamatan Pancatengah, Kabupaten Tasikmalaya. Awalnya jumlahnya lebih banyak, namun kini menyusut secara dramatis. Berton-ton lainnya kini sudah hijrah ke negeri sakura. Lagi-lagi, bangsa ini kecolongan.

Menurut Sujatmiko, seorang geologis yang juga pengusaha batu mulia, fenomena Ci Medang ini sangat langka. “Di 20 negara yang pernah kami kunjungi, kami belum pernah menemukan yang seperti ini,” ujarnya. Jika dipetakan, serakan batuan merah ini tak hanya terdapat di Kecamatan Pancatengah saja, melainkan juga di wilayah-wilayah tetangganya seperti Karangnunggal, Cipatujah, hingga Cisasah.


Mengapa batuan merah ini demikian menarik perhatian, bahkan Jepang begitu meminatinya? Batuan merah yang terserak di Ci Medang adalah salah satu jenis batu mulia yang dikenal dengan nama jasper. Batu mulia dari keluarga mineral kuarsa (SiO2) ini tak hanya berwarna merah, melainkan ada juga coklat, kuning, dan hijau. Sejarah terbentuknya batuan jasper terkait dengan aktivitas kegunungapian.

Diketahui bahwa pada 25-30 juta tahun lalu, di sekitar wilayah Kampung Pasirgintung terdapat komplek gunung api bawah laut. Komplek gunung api ini dengan indahnya mengitari laut dangkal di wilayah ini.

Singkat cerita, gunung-gunung bawah laut ini meletus. Dia mengeluarkan material vulkanisnya, antara lain lava pijar. Karena bersentuhan langsung dengan air laut, maka material vulkanis yang dikeluarkan gunung api ini mengalami proses hidrotermal, suatu tahap awal pembentukan—salah satunya—batuan jasper.

Sebelum pihak Kabupaten Tasikmalaya mengeluarkan aturan menghentikan penambangan jasper di kawasan ini, penduduk setempat yang tanahnya diseraki batuan jasper sudah sempat menyewakan lahan-lahannya ke para penambang yang antara lain “berbendera” selain Jepang juga Korea Selatan. Salah satu kasus penyewaan lahan mengungkapkan bahwa untuk sewa satu tahun, pemilik lahan mendapat imbalan hingga Rp 60 juta. Jumlah yang menggiurkan, apalagi untuk warga desa yang hidup jauh dari perkotaan, tanpa harus kehilangan tanahnya. Namun jumlah tersebut sebenarnya menjadi tidak sebanding dengan nilai batuan yang ditambang, belum lagi kemungkinan kerusakan ekosistem akibat penambangan.

Sayangnya, warga setempat tampaknya kurang memiliki kepekaan terhadap lingkungannya sendiri. Padahal jika saja mereka masih memegang teguh kearifan lokal warisan nenek moyangnya, tentunya menyerahkan lahan untuk ditambang habis-habisan adalah keputusan yang bertentangan dengan keseimbangan lingkungan yang biasanya secara tradisional diwariskan temurun oleh penduduk asli setempat. Namun apa daya, kapitalisme tampaknya sudah teramat jauh menggerogoti pola hidup warga yang hidup nun di Kampung Pasirgintung, pun. (disarikan dari buku “Merahnya Batu Merah”) "
------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Setelah melihat keindahan jasper, banyak akhirnya yang terkagum-kagum dan akhirnya menulis tentang taman jasper ini, termasuk saya. Memang, yang bisa kita lakukan sekarang adalah menyebarluaskan tentang apa yang kita ketahui kepada orang-orang awam di luar kita, sehingga nantinya, mereka pun akan mengerti jalan pemikiran kita yang umunya berkutat dengan batu dan batu, dan semoga mereka akan ikut menjaga keindahan alam yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa.

Klik Gambar di bawah untuk melihat artikel lain









Referensi:
1. Review Of The Mineralogical Systematics Of Jasper And Related Rocks, Ruslan I. Kostov, University of Mining and Geology “St. Ivan Rilski”, Sofia 1700, Bulgaria
2. http://cekunganbandung.blogspot.com/2012/02/mimpi-taman-jasper-di-tasikmalaya.html

Bacaan lain:
1.http://iqbalputra.wordpress.com/2010/05/29/jalan-berbatu-menuju-taman-jasper-tasikmalaya/
2.https://m.facebook.com/notes/kelompok-riset-cekungan-bandung/taman-jasper-warisan-geopark-batu-mulia/10150563522391215/?_ft_
3. http://perhimagi.blogspot.com/2010/11/taman-jasper-di-tasikmalaya.html
4.http://www.tekmira.esdm.go.id/currentissues/wp-content/uploads/2008/07/selamatkan-taman-jaspes-tasikmalaya.jpg
Share:

Tuesday, September 10, 2013

Mineralization Study of Ringin Putih Vein, Southern Mountain Part of East Java, Indonesia

Link Download -------> Paper

Abstract

Ringin Putih district is located in the Southern Mountain Part of East Java. This area shows the epithermal system indication which is a part of the Early Cretaceous tectonic evolution of the Sunda-Banda arc. The lithologies of the Ringin Putih area are dominated by an andesitic-basaltic lava, tuff, clay, and pyroclastic rocks. The mineralization indications are characterized by the copper mineralization and the presence of ubiquitous sulphide minerals. Petrography, mineralogy, X-Ray Diffraction (XRD) analysis was conducted in order to obtain the basic data for the mineralization and alteration properties. The indication of quartz-feldspar-actinolite (?)-epidote-chlorite, often with magnetite facies, indicates that the sample represent propylitic alteration, that is caused by the iron and the sulfur-bearing hydrothermal fluids; whilst the pyrophyllite-quartz-sericite-illite is correspond with the illite-kaolinite group minerals, and represent the phyllic alteration. Pyrophyllite-rutile are tend to be formed in the acidic environments and the oxidized fluids; while the smectite-illite-chlorite-epidote-biotite were formed in the near-neutral pH and reduced fluids. The transition from the acidic-oxidized fluids into the near neutral-reduced fluid gives the preliminary indication of fluids from the great depth and fluids from the near surface water.


INTRODUCTION
The magmatic arc system in Indonesia is the result of a complex history of tectonic events including the plate subduction and the arc magmatism. The Sunda-Banda volcanic island arc is the longest arc in Indonesia, extending from Aceh to East Damar (Carlile and Mitchell, 1994). Based on Van Bemmelen (1949) physiography, the area study is located in the Southern Mountain Part of East Java, with normal fault as a dominant structure, that potentially control the circulation of magmatic fluid and mineralization.

The Southern Mountain belt of East Java and the Southern part of Cianjur as a part of the Southern part of mountain belt of Java are thought to have potentially metallic mineral deposits, as well as the products of subduction. In general, these areas are underlain by the various volcanic-sedimentary rocks that are of Tertiary to Quaternary in age and some igneous rocks that are locally attributed to the formation of hydrothermal alteration and mineralization (Widodo et. al., 2002; Widodo, 2003).

Widodo et. Al. (2002) conducted semi-detailed investigations during the cooperative exploration of DIM-JICA in Blitar, East Java and Cianjur, West Java. Widodo (2003) also invent the ore mineral in Malang District, Lumajang District: Tempursari (Lumajang District), Seweden (Blitar District) and Suren Lor (Trenggalek District).

Sulistijo (2010) carried out detail field sampling for the ore minerals in Blitar and Tulungagung District, including Gunung Gede and Ringin Putih, Blitar. The study of geological and hydrothermal alteration in Sumberboto and vicinity were conducted by Permana (2011).
Hakim and Sulistijo (2012) studied the combination of satellite imagery, geological prospecting, geochemical study and mineralogy analysis to analyze the copper prospect in Seweden, Blitar.
This study aimed to elucidate the ore-forming minerals by optical mineralogy and mineragraphy analysis, and obtain basic data for the mineralization characteristics in Ringin Putih district.

GEOLOGICAL CONDITION
Sumatra and Java is a system of Sunda Banda arc, as a results of the convergence betwen Indo-Australian arc and Eurasian arc in Cenozoic. Sunda Banda arc lies from Northern Sumatra (Aceh), Java, Nusa Tenggara, until Banda Island. (Katili, 1975; Hamilton, 1979; Carlille and Mitchel, 1994).
Regional stratigraphy in the area of research is dominated by the product of volcanic activity, intrusive rock, and limestone. Pacitan, Ponorogo, Wonogiri, and Blitar, located in the Old Volcanic Metallogenic, formed in Mandalika Formation, and sediment rock from Arjosari Formation (Samodra et.al., 1992).
Mandalika Formation is the oldest formation (Oligo-Miocene) that appears in the location of study. The most prospective host for mineralization lies on the Mandalika Formation (Oligo-Miocene). Mandalika Formation consists of andesite-lava-basalt, porphyry latite, rhyolite and dacite. Andesite lava is dominated by pyroxene, andesite, hornblende, and trachyte andesite that can be altered into propylitic, further more can be altered into kaolinite.

Campurdarat Formation formed in Early Miocene, consists of crystalline limestone and claystone intercalation (Siregar and Praptisih, 2008). Four carbonate facies have been recognized within this formation. Packstone facies comprising three subfacies i.e. nodular packstone subfacies, algal foraminifera packstone subfacies and milliolid packstone subfacies developed in back-reef, lagoon and tidal channel environments. Float stone facies were deposited in back-reef and reef-zone environments. Rudstone facies interpreted to be deposited on the reef-flat. Boundstone facies which forms the reef-core can be devided in two subfacies i.e. bafflestone subfacies and framestone subfacies. These boundstone facies were deposited in reef-crest – reef-front environments. The Campurdarat carbonate rocks are interpreted to represent a barrier-reef of Early Miocene age with the back-reef part towards the South and the reef front part towards the North (Siregar and Praptisih, 2008).

Intrusive rock (Oligocene-Miocene) that is consisted of dacite, diorite, and tonalite intruded the Mandalika Formation and the Campurdarat Formation. Dacite crystal form in fine-coarse grained, color in white-grey consists of porphyritic with bipiramidal phenocryst quartz, feldspar, hornblende, and ore mineral (Permana, 2011 in Samodra, 1992).


Other section shows in JPG version. Do not hesitate to have a any discussion, with this topic. 











Share:

Blog Archive

Kontak ke Penulis

Name

Email *

Message *