Sudah 5 bulan saya tinggal di kaki Pegunungan Alpen, di sebuah kota kecil bernama Leoben, di provinsi Styria, Austria. Austria merupakan negara dengan populasi sebesar 8,5 juta penduduk, yang jumlahnya hampir sama kalau kita bandingkan dengan penduduk 1 kota Jakarta. Penduduk satu provinsi Styria hanya 1,2 juta, jauh lebih sedikit dibandingkan penduduk kota Bandung sebesar 2,5 juta. Hal ini membuat jalanan sangat lengang dan membuat banyak orang tersenyum atau menyapa karena sangat jarang melihat orang bersepeda ke arah luar kota, seperti yang saya lakukan.
Bersepeda di Bandung dan berkenalan dengan banyak komunitas pesepeda menempa diri saya, baik fisik maupun mental. Maklum, topografi di Austria sangat bergunung-gunung, menyerupai Bandung. Bermodalkan tekad dan uang beasiswa yang saya sisihkan, bulan kedua saya mencari sepeda bekas di toko jual beli online dan mendapatkan sebuah sepeda bekas yang sangat cukup untuk keperluan komuter menuju kampus, serta menunjang hobi yang saya bersepeda dengan beban.
Saya mulai bersepeda dan beradaptasi dengan cuaca, karena ketika saya datang bulan Februari yang lalu, suhu terendah di kota saya mencapai -10 derajat dengan suhu rata-rata berkisar 0-2 derajat. Sepeda Wheeler 6600 mulai saya coba kayuh ke kota terdekat (Bruck a.d. Mur) yang berjarak 35 km pulang pergi untuk mulai membiasakan dengan suhu dan lalu lintas di Austria.
Awal bulan Maret di Austria, saya mulai dibuat gatel oleh teman-teman penggemar bike camping yang sering melakukan acara kemping bersama-sama di sekitaran Bandung. Hal ini membuat saya bersepeda lebih jauh menuju kota Graz, yang berjarak 150 km pulang pergi dari Leoben. Walaupun tidak bisa kemping dan belum punya pannier sendiri, saya sudah cukup senang dengan tas ransel di belakang sepeda saya ketika pesepeda lain melenggang dengan sepeda road bike.
Perjalanan dua hari menuju Graz memberikan semangat lebih, sehingga saya melanjutkan perjalanan ke kota lain bernama Klagenfurt yang berjarak 190 km dari Leoben. Perjalanan umumnya saya lakukan dalam 2 hari karena hanya mempunyai waktu untuk bersepeda pada hari libur. Kendala yang saya hadapi adalah angin gunung yang kencang, terutama ketika bersepeda dengan suhu rata-rata 8 derajat celcius, yang bertahan hingga bulan April. Bulan Mei, suhu sudah mulai agak menunjukkan rata-rata 12 derajat celcius dan hujan sering turun pada beberapa daerah. Pada bulan ini, saya melakukan perjalanan dari kota Salzburg, tempat kelahiran Wolfgang Amadeus Mozart menuju kota saya. Di tengah perjalanan dari Salzburg menuju Leoben, saya dibuat kagum oleh banyaknya danau dan gunung-gunung gamping yang membentang dengan pemandangan yang indah.
Alpen merupakan rangkaian pegunungan kapur yang terdeformasi (istilah geologi untuk menjelaskan kondisi batuan terubah karena tekanan) membentuk rangkaian pegunungan, membentang dari Perancis, Italia, Swiss, Jerman dan Austria. Danau terisi gleiser (lelehan es dari gunung) sehingga jumlah air menyusut pada musim dingin dan melimpah di musim panas. Termasuk sebuah danau yang berjarak 35 kilometer dari Leoben yang bernama Grunner See (dalam bahasa Indonesia berarti danau yang berwarna kehijauan), yang merupakan destinasi wisata alam terfavorit yang di seluruh penjuru Austria. Sepanjang jalan dihiasi pepohonan pinus yang mengingatkan saya akan Lembang atau perjalanan ke Kawah Putih bersama-sama teman-teman Federalis Bandung Indonesia. Suasana ini yang membuat saya kangen dengan Bandung, walaupun bukan merupakan kota kelahiran saya, tapi suasana keakraban ngliwet dan bersenda gurau membuat saya kangen Bandung.
Bulan Juni yang lalu sebelum berpuasa, ketika teman-teman di Bandung kemping sebelum puasa, membuat saya ingin melakukan hal yang sama. Namun karena membuka tenda di sembarang tempat di Austria dilarang (dan saya sendiri tidak punya tenda), saya selalu memilih untuk mencari losmen murah di pinggiran kota. Kali ini saya melakukan perjalanan menuju Grossglockner Hochalpenstrasse, yang merupakan jalan tol tertinggi di Austria. Grossglockner sendiri adalah gunung tertinggi di Austria dengan ketinggian 3.798 m.
Jalan tol ini dibangun tahun 1930 dan hanya dibuka pada bulan Mei hingga September. Salju menutupi jalan dan harus selalu dibersihkan dengan mesin pengeruk salju, jika tidak sangat membahayakan pengendara. Sepanjang jalan, hampir ribuan mobil dan pesepeda motor besar memacu jalan tol sepanjang 48 km ini. Jalan tol ini dimulai dari ketinggian 757 m di kota bernama Bruck a.d. Grossglockner, dengan titik tertingginya Fuscher Torl dengan tinggi 2.428 m dan Hoch Tor dengan ketinggian 2.504 m dari kota awal. Rata-rata kemiringan jalan sebesar 9-12 derajat, yang membuat jalan ini berkelok-kelok. Hochtor juga merupakan titik tertinggi dari sebuah kompetisi balapan sepeda bernama Race Around Austria yang menempuh jarak 2.200 km yang ditempuh dalam 3-5 hari.
Latihan fisik yang saya persiapkan selama ini ternyata masih kurang, karena ketika melewati ketinggian 2.000 m, kepala terasa pusing dan nafas juga menjadi tidak teratur. Saya baru ingat betapa pentingnya adaptasi bukan hanya dengan cuaca namun juga dengan ketinggian, karena kelembapan udara menjadi lebih rendah. Saya harus menghentikan kayuhan sepeda di Fuscher Torl di hari pertama, dan menikmati malam di kamar yang terletak di gudang sebuah restoran di puncak gunung karena semua kamar sudah penuh. Keesokan paginya saya lanjutkan perjalanan menuju Hoch Tor, dan mengabadikan gunung-gunung yang masih diselimuti salju walaupun suhu rata-rata sudah berkisar 15 derajat.
Kenangan terindah saya bersepeda di Austria, di titik tertinggi Fuscher Torl berkibar bendera merah putih. Walaupun sebenarnya itu adalah bendera dari kota Wina dan bukan bendera negara tercinta kita, namun ketika jarak 10.000 km memisahkan Austria dan Indonesia, kangen mendalam terhadap ibu pertiwi membuat saya harus bisa menyelesaikan tujuan saya berada di Austria, menyelesaikan studi dan harus kembali untuk berbakti untuk ibu pertiwi. Aku cinta bersepeda, tapi lebih cinta lagi dengan Indonesia.