Conversations with the Earth

Endapan mineral di Finlandia dan Swedia

Perjalanan saya ke lingkaran kutub utara

Atlas of ore minerals: my collection

Basic information of ore mineralogy from different location in Indonesia

Sketch

I always try to draw a sketch during hiking

Apa itu inklusi fluida?

Inklusi fluida adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan adanya fluida yang terperangkap selama kristal tumbuh. Gas dan solid juga bisa terperangkap di dalam mineral.

Situ Cisanti di Pengalengan, Bandung

50 km dari Bandung, Situ Cisanti terkenal karena menjadi sumber mata air sungai Citarum

Sunday, May 25, 2014

Menanjak ke Wagirsambeng dan Dakah, Mengagumi Amphiteater Karangsambung

Terhitung enam kali sudah saya mengunjungi kampus geologi Karangsambung, yang berlokasi 19 km di Utara Kebumen, Jawa Tengah. Memang jauh lebih sedikit dengan kunjungan senior-senior saya, yang sudah berinteraksi dengan kampus geologi ini, namun walaupun begitu, saya begitu bersyukur, pelan-pelan saya mulai mengenal lebih intim dengan batuan-batuan dan bentukan alam yang bisa dibilang "tumplek bleg" di lokasi yang tidak terlalu luas. Seperti biasanya, saya selalu membuat spesial tulisan yang saya buat. Ide untuk menulis memang sudah ada, tapi ilham-nya baru turun di hari terakhir di Karangsambung sebelum saya pulang ke Bandung.

Sudah banyak peneliti meneliti daerah ini, seperti yang dikaji oleh:
- Verbeek (1891) tentang keterdapatan batuan Pra Tersier yang berumur 140 juta tahun lalu di Kali Luk Ulo;
- Harloff (1933) yang melakukan pemetaan geologi seluruh daerah Karangsambung;
- Tjia (1966) dan Sukendar Asikin (1974) yang melakukan pemetaan detail, serta mengulas Karangsambung dalam penelitiannya; dan
- Sukendar Asikin (1974) yang mengulas daerah Karangsambung menggunakan Teori Tektonik Lempeng.
Dari nama-nama di atas, hanya beberapa yang saya kenal. Verbeek karena namanya diabadikan sebagai nama Pegunungan di Sulawesi Tengah; Prof Tjia yang termasuk geologis senior, dan mengajar di University Kebangsaan Malaysia; serta Prof. Sukendar Asikin, kalau boleh saya bilang "Bapak"-nya Karangsambung, karena beliau lah akhirnya Karangsambung menjadi kampus geologi seperti sekarang.

Di lokasi ini, banyak bentang alam yang menarik yang bisa dilihat oleh semua orang, baik oleh orang awam maupun orang-orang yang berkecimpung di ilmu kebumian, mulai dari kampus geologi ataupun pertambangan di Pulau Jawa dan luar Jawa. Di lokasi ini, tersingkap beraneka batuan dari berbagai umur di lokasi yang berdekatan satu sama lain, serta ditemukannya berbagai komoditi tambang, baik yang masih aktif ditambang hingga sekarang maupun yang sudah dikonservasi oleh LIPI. Banyak tempat yang menarik dikunjungi di kampus lapangan Karangsambung ini. Informasi ini bisa dilihat di web resmi LIPI Karangsambung di web ini.  Kalau kita berselancar di dunia maya, banyak penulis yang terkesan dengan keindahan ini, dan menulis tulisan dalam blog nya, dan informasi geologi yang ditampilkan juga sudah banyak. Saya coba ulas beberapa tempat yang menarik untuk dikunjungi ketika Anda berkunjung ke kampus lapangan ini.

1. Kampus LIPI dan Batugamping Numulites
Kampus ini berada di depan Kantor Kecamatan dan Puskemas Karangsambung. Lokasi nya ditandai oleh adanya gapura yang bertuliskan LIPI, dan pengelolaan di dalamnya boleh saya bilang cukup profesional. Disediakan ruang kuliah, asrama, guest house, ruang rapat, perpustakaan, bengkel dan penjualan batumulia, serta koleksi batuan-batuan yang ada di sekitar kampus geologi ini.
Di depan kampus ini, dapat dijumpai batugamping numulites, yang masih menunjukkan adanya fosil-fosil di masa batuan tersebut. Lokasi lain untuk melihat batugamping ini adalah di BPR yang berada di sebelah Utara kampus, namun sayang singkapan yang ada di jalan raya di antara kampus dan BPR sudah di tutup dengan cor-coran untuk jalan desa. 


2. Puncak Wagirsambeng
Dari banyak lokasi yang ada di kampus ini, saya mendahulukan lokasi ini karena setelah enam kali datang ke kampus geologi ini, baru sekali saya mengunjungi Wagirsambeng, yang terletak di sebelah Barat dari Kampus, dan harus menyeberangi dulu Jembatan yang melintasi  Kali Luk Ulo dan Kali Cacaban. Wagirsambeng terletak di Desa Wonotirto, Kecamatan Karanggayam. Untuk mencapai puncaknya, diperlukan perjalanan sekitar 45 menit dari Jembatan di Luk Ulo hingga puncaknya. Jalanan bervariasi, namun didominasi oleh tanjakan, namun setelah sampai di puncak, kita dapat melihat dengan jelas amphiteater Karangsambung, dengan pemandangan yang indah. Fenomena meandering Kali Luk Ulo, sinklin di Gunung Paras, rekonstruksi antiklin, serta fenomena alam lain seperti Gunung Brujul, Paras, Dakah dan Jatibungkus teramati dengan sangat baik. Sampai di atas, kita akan menjumpai perselingan antara batugamping merah dengan baturijang dengan ukuran yang sangat besar, yang sempat membuat saya terheran-heran, mengapa batuan laut dalam yang biasa dijumpai di sungai di sekitar daerah Totogan dan zona Melange (bancuh) tiba-tiba bisa berada di puncak bukit. Hmmmmm....


3. Gunung Parang
Kekar kolom diabas, menurut beberapa ahli merupakan sill yang terbentuk dari baruan beku basa dengan tekstur batuan diabasik, dapat kita jumpai ketika kita berjalan dari kampus menuju arah Utara sekitar 1 km. Sebagian dari Gunung Parang sudah di konservasi oleh LIPI, namun sisanya ditambang oleh warga untuk dijadikan sebagai split atau bahan konstruksi. Ironis memang kalau harus selalu dihadapkan dengan kondisi tambang rakyat. Memberikan pembinaan kepada penambang sering disalahartikan dengan memberi ijin legal kepada kegiatan penambangan tersebut, padahal tidak seharusnya kita mengambil mentah-mentah seperti itu. Coba bayangkan, dengan bentukan lereng yang tegak, bagaimana jadinya jika tiba-tiba terjadi longsoran, mengingat banyaknya rekahan-rekahan yang di diabas tersebut. Dengan pemberian pemahaman geoteknik atau K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) kepada para penambang, resiko kecelakaan tambang dapat dicegah. Namun tetap, perlu ada pemahaman bahwa tambang merupakan bahan galian yang tidak terbarukan. Ketidakbijaksanaan dalam pengelolaan tambang akan berakibat fatal di masa mendatang.

4. Watukelir dan Lava Bantal
Di komplek Melange, dimana seluruh batuan tercampur aduk, yang semula ada di bawah tiba-tiba ada di atas, hukum perlapisan batuan menjadi membingungkan karena bentuknya yang tegak, nah, di Kali Muncar itulah semuanya dapat kita temui. Adanya perselingan rijang dan batugamping merah, yang semula mengikuti prinsip horizontal, akhirnya menjadi tegak. Begitu pula dengan fenomena lava bantal. Lava yang ditemui sebagai akibat pemekaran dari tengah lantai samudera akibat proses divergen, bentukannya dapat kita jumpai seperti menumpang di atas rijang dan batugamping tersebut. Batuan yang berasal dari laut yang sangat dalam, muncul menyerupai bantal. Lava bantal ini sama seperti lava pahoehoe yang ada di Hawaii, atau pun yang berbentuk seperti selendang yang ada di THR Juanda, Dago. Di Karangsambung sendiri, lava bantal juga bisa kita jumpai di Kali Mandala, yang hanya berjarak sekitar 100 meter di bawah Gunung Parang.





=======================================================================
Di samping ulasan di atas, masih banyak sebenarnya lokasi di Karangsambung yang dapat kita lihat dan kita pelajari, namun karena belum keluar lagi inspirasi untuk menulis, suatu saat nanti penulis akan tambahkan lagi di masa mendatang. Saya coba kutip beberapa tempat yang disarankan untuk dikunjungi, yang ulasannya menyusul kemudian.

5. Sekis Mika



6. Microstructure Filit

7. Serpentinit

8. Batupasir, Formasi Waturanda

9. Batugamping, Bukit Jatibungkus

10. Konglomerat, Pesanggrahan

11. Panorama Dakah

12. Breksiasi Kali Mandala

13. Mata Air Panas, Krakal

14. Lempung Formasi Panosogan, Kedung Grigis

15. Efek Bakar di Lempung, Formasi Karangsambung

Share:

Friday, April 25, 2014

Sawahlunto, Menatap Masa Depan Menjadi Kota Wisata Tambang



Sudah hampir 120 tahun yang lalu, kota ini merupakan saksi awal mula aktivitas penambangan batubara yang ada di Indonesia. Adanya bekas peninggalan semasa kolonialisme Belanda  terekam secara baik dan tersusun rapi di kota yang tersembunyi di balik perbukitan yang lebat. Kota ini berjarak sekitar 90 km dari Kota Padang ke arah Timur Laut, ditempuh dengan perjalanan mobil selama hampir 3 jam.


Sawahlunto, dulunya merupakan kota tambang, mempunyai visi mendatang yang baik, yaitu menjadikan Kota Wisata Tambang yang Berbudaya di tahun 2020. Hal ini sepertinya mendorong Sawahlunto untuk tidak lagi ter-stereotype kan dengan aktivitas penambangan di masa lalu, yang merupakan masa kelam bagi orang-orang rantai dan para penambang liar yang kerap kali mendapat musibah dengan meledaknya tambang akibat gas metan. Andai saja, di daerah lain bisa meniru kota ini, dengan tidak meninggalkan lubang-lubang bukaan yang dibiarkan menganga tanpa adanya reklamasi dan penutupan tambang yang baik.


Di kota ini, geolog Belanda, Ir C De Groot van Embden pada tahun 1867 dan Willem Hendrik De Greve pada 1870 menemukan endapan batubara, yang berlanjut dengan publikasi dari De Greve pada tahun 1871 di negara asal Kincir Angin. Hal ini yang membuat eksploitasi di daerah tersebut dimulai sejak 1892. Sayangnya, sang penemu endapan tersebut, De Greve tidak sempat melihat hasil temuannya di Sawahlunto. Dia meninggal ketika hanyut pada saat mengeksplorasi endapan di Sungai Batang Kuantan pada tahun 1872. Hal ini yang membuat saya kagum, dimana Dinas Pariwisata Pemerintah Kota Sawahlunto mengabadikannya dalam sebuah buku yang berjudul "Jejak de Greve Dalam Kenangan Sawahlunto."




Di lokasi tempat saya mengambil foto ini, terdapat Gedung Pertemuan Buruh, yang kini berubah nama menjadi Galeri Info Box pada tahun 1947. Tempat ini dulunya merupakan tempat dilaksanakannya berbagai aktivitas buruh dan karyawan, mulai dari hiburan wayang kulit hingga layar tancap, terutama setelah buruh menerima upah. Tidak jauh dari lokasi itu, terdapat sebuah lubang yang bernama Lubang Mbah Suro/ Soero, yang dibuka pertama kali pada tahun 1898 dan ditutup pada tahun 1932 karena topografi yang lebih rendah dibanding sekitarnya, mengakibatkan air masuk dengan sangat deras dan membanjiri lubang tersebut. 

Mbah Suro sendiri, menurut Juru Kunci dan pemandu wisata, bernama Sami Suro Santiko, merupakan mandor yang tegas, pekerja keras, dan disegani oleh orang-orang di sekitarnya. Mbah Suro merupakan mandor bagi orang-orang rantai, yaitu sebutan bagi buruh tambang yang kakinya diberi rantai, yang berasal dari seluruh jajahan Belanda di negara Hindia (Indonesia pada jaman dahulu). Dari referensi yang saya baca dari buku "Lorong-lorong Kelam Perantaian", Sawahlunto merupakan daerah buangan dari penjara-penjara yang ada di Jawa, Manado, Bukittinggi, dan daerah-daerah lain, yang mempunyai reputasi negatif karena perlakuan hukuman cambuk yang tidak manusiawi kepada para pekerjanya.
Di Galeri Info Box, saat ini berfungsi sebagai museum yang menunjukkan genesa atau asal batubara, sejarah penambangan batubara di Sawahlunto, serta peralatan yang digunakan yang digunakan untuk kegiatan penambangan tersebut. Menurut opini saya, informasi yang diberikan di dalam museum ini sangat informatif, menarik, dan mudah dicerna oleh orang awam. Umumnya, di museum ini disajikan dokumentasi baik dalam foto maupun maket/miniatur dari hal yang berhubungan dengan tambang batubara Sawahlunto, yang boleh saya nilai tidak kalah dengan museum tambang batubara yang pernah saya datangi di distrik Omuta, Fukuoka, yang ulasannya pernah saya tulis dimari



Ketika kita masuk ke dalam lubangnya, portal masuknya miring ke bawah sekitar 45 derajat, dan di bagian tengah dari tunnel atau terowongan sudah dipasang pegangan untuk membantu pengunjung masuk ke dalam terowongan. Tangga sudah dibuat, dan pada beberapa level penambangan, telah ditutup dengan paving block sehingga berada di dalam di terowongan, tidaklah semenakutkan cerita yang mungkin terjadi di jaman dahulu. Pemompaan secara reguler juga dilakukan dengan drainase yang baik, perkuatan juga sudah dilakukan di sepanjang lubang bukaan, membuat pengunjung tidak perlu khawatir dengan keselamatannya di dalam lubang bukaan ini. Udara pun sudah dimasukkan menggunakan kipas (fan), sehingga pengunjung tidak merasa kepanasan dan dapat bernafas dengan normal. Patut diapresiasi memang upaya Sawahlunto untuk mengubah citra dari kota tambang, menjadi kota wisata tambang.


Tidak jauh dari Lubang Mbah Soero, kita dapat menjumpai bekas peninggalan kolonialisme yang lain, yaitu Museum Kereta Api Sawahlunto, dan Gudang Ransoem. Di Museum Kereta Api ini, kita dapat melihat gerbong kereta api Mak Itam, yang dulu digunakan untuk mengangkut batubara, yang kini sudah berubah menjadi kereta wisata. Disini juga kita dapat menjumpai kereta yang berbahan bakar diesel. Kalau saya tidak salah, lokomotif dan gerbong Mak Itam pernah digunakan untuk mengangkut rombongan peserta Tour De Singkarak pada tahun 2012 menuju garis start-nya. Kereta itu merupakan kereta wisata yang beroperasi pada hari Minggu. Namun sayangnya, Tour De Singkarak tahun ini mungkin tidak akan menggunakan kereta Mak Itam , karena masih dalam tahap reparasi di Dipo Kereta Api Solok.
Di dalam museum ini, terdapat segala hal yang berhubungan dengan perkereta apian, mulai dari jam yang biasa kita lihat di Stasiun, timbangan, miniatur lokomotif, dokumentasi fotografer, dan sejarah kereta api di Indonesia. Tiketnya pun sangat terjangkau, hanya Rp 3.000,- untuk dewasa, beda tipis dengan tiket masuk Lubang Mbah Suro, yang ga kalah murahnya, Rp 8.000,- untuk dewasa. 





 

Dan Sawahlunto masih punya satu lagi museum yang ikonik menunjukkan kolonialisme Belanda di jaman dahulu, yaitu Museum Goedang Ransoem. Di tempat ini, terdapat peninggalan alat-alat masak yang dipergunakan untuk makanan sehari-hari dari seluruh buruh yang bekerja di Sawahlunto. Mulai dari kuali, wajan, tungku, ukurannya sangat besar. Kalau iseng, tinggal lompat masuk ke dalam kualinya, bisa tuh buat maen petak umpet, hehehe. Selain digunakan sebagai alat masak, di sisi depan dari Museum ini adalah museum kebudayaan masyarakat Minang, serta beberapa ras yang ada di Indonesia. Pakaian adat, kebudayaan, dan tradisi pernikahan di beberapa daerah juga terekam baik di Museum ini, yang membuat pengunjung tidak hanya dimanjakan oleh rekam jejak kolonialisme Belanda, namun kekayaan budaya Indonesia.










 



kalau bukan kita sendiri yang mengenang dan menghargai sejarah nenek moyang kita di masa lampau, lantas, siapa lagi....?

Baca Juga



sumber:
1. Buku "Lorong-lorong Kelam Perantaian" karya Erwiza Erman
2. Buku "Jejak De Greve Dalam Kenangan Sawahlunto" karya Yonni Saputra
3. Buku "Pekik Merdeka dari Sel Penjara dan Tambang Panas" karya Erwiza Erman
4. http://www.sawahluntokota.go.id/pariwisata/wisata-kota-tua/lubang-mbah-soero.html

Share:

Saturday, April 12, 2014

Asrinya Situ Cisanti


Untuk mencapai kaki Gunung Wayang dengan tinggi 2.182 m ini, sebenarnya tidak terlalu jauh dari Bandung, hanya sekitar 50 km dari Bandung ke arah Selatan. Namun karena memang hobi saya untuk menikmati indahnya alam dari atas sepeda, saya berangkat sore hari dari Dago sekitar jam 4 sore, berharap 6 jam, paling lama 7 jam saya bisa sampai di Situ Cisanti. Saya mulai kayuh sepeda tua saya, Federal Mt Everest dengan gembolan di rak belakang saya.



Prediksi salah, karena ternyata banyak sekali faktor teknis yang saya jumpai selama perjalanan. Bersepeda malam hari memang tidak dilarang, namun saya sempat mendapat masalah karena salah satu baut rak sepeda saya yang terlepas selama menanjak, yang ternyata membuat beban di pannier belakang saya tidak berimbang, sehingga perjalanan saya kurang efektif karena pannier yang menempel di ban, yang baru saya sadari kurang dari 10 km mencapai lokasi. Belum lagi saya sempat diminta untuk menginap di Polsek Kertasari karena saya memakai jaket warna orange di malam hari, yang dipikir saya mewakili ormas tertentu dan akan melancarkan serangan fajar di desa tersebut.



Walhasil dari 00.30 hingga jam 01.00 saya diinterogasi di kantor polisi tersebut, selagi ke-9 teman yang lain menunggu di luar. Memang, semenjak tragedi Almarhum Joan Tobit, adik angkatan saya yang meninggal ketika mendaki Gunung Kendang, nama ITB di Polsek Kertasari sempat mencuat. Hal ini yang menjadi kami "dilarang" neko-neko lagi, apalagi kalau mengaku sebagai pencinta alam, bisa-bisa jauh-jauh saya mengayuh sepeda dari Bandung, harus berakhir menginap di Polsek. Setelah negosiasi yang cukup panjang, akhirnya berhujung dengan ditahannya kartu identitas saya, alias SIM A, sehingga saya bisa melanjutkan kembali perjalanan ke Situ Cisanti.





Mari kita lupakan celotehan tentang urusan non teknis selama perjalanan ke Situ Cisanti, mari kita gali lebih dalam tentang Situ Cisanti. Situ merupakan istilah bahasa Sunda dari Danau, terbentuk akibat adanya tujuh mata air yang ditemui di sekitar daerah tersebut. Mata air Pangsiraman, Cikoleberes, Cikahuripan, Cisadane, Cihaniwung dan Cisanti. Saya memang tidak bisa menjumpai semua mata air tersebut, namun saya hanya terfokus akan Mata Air Pangsiraman, yang sangat jernih, jernih dan sangat jernih. Warna hijau dan biru, merupakan warna yang menyegarkan mata, ketika saya dan kawan-kawan melihat langsung mata air tersebut. Mata air tersebut berlokasi di sebelah petilasan Dipati Ukur, seorang wedana yang memimpin pasukan untuk menyerang Belanda di Batavia pada tahun 1600-an.



Mata air ini, jika di plot ke Peta Geologi Garut berlokasi di Formasi yang terbentuk pada masa Quarter, dengan kode Qopu, yang merupakan Endapan Rempah Lepas Gunungapi Tua Tak Teruraikan. Penjelasan dari Peta Geologi, Qopu adalah tuf hablur halus kasar dasitan, breksi tufan  mengandung batuapung dan endapan lahar tua bersifat andesit basalan. Mata air ini terbentuk akibat adanya kontak dengan Formasi Qwb, yang berumur lebih tua yang merupakan Andesit Waringin-Bedil, Malabar Tua. Adanya kontak antara batuan yang impermeabel dari Formasi Andesit Waringin-Bedil (Qwb), dengan Endapan Rempah Lepas Gunungapi Tua Tak Teruraikan (Qopu), diperkirakan menjadikan di sekitar daerah ini ditemukan banyak mata air, yang akhirnya membentuk mata air yang mengalir ke sungai-sungai di sekitarnya, yang salah satunya mengalir hingga Laut Utara Jawa di Muara Gembong, Bekasi. Belum lagi di daerah tersebut, banyak struktur yang memotong Gunung Wayang dan Gunung Windu, yang selain membawa air melalui media-media yang porous, juga membawa fluida lain sehingga membawa mineralisasi dari logam berharga dan panas bumi ke dekat permukaan. Mengenai penjelasan geologi tentang mata air, saya dulu pernah mengulasnya ketika saya berkunjung ke Situ Sangkuriang, yang berlokasi di Bandung Utara melalui tulisan "Indahnya Situ Sangkuriang di Kaki Gunung Bukit Tunggul"

Yap, di daerah itu, memang lokasi dari Pembangkit Listrik Panas Bumi yang menghasilkan daya terbesar di Indonesia, mencapai 200 MW, yaitu pembangkit Wayang Windu yang dikelola oleh Star Energy. Pembangkit listrik panas bumi, pernah saya ulas sebelumnya di web "Serba-serbi Tentang Geothermal: Gunung Ciremay yang "katanya" dijual ke Chevron" , kala itu saya sempat terbingung-bingung, karena banyak sekali pemberitaan yang salah mengenai pemanfaatan panas bumi di Ciremay, yang katanya Gunung tertinggi di Jawa Barat itu akan dijual kepada Chevron. Hal ini yang memicu pencinta alam di Indonesia banyak termakan info yang tidak bertanggung jawab, yang menggelitik saya untuk menulis tulisan saya di link di atas.


Di Situ Cisanti, yang terletak di Desa Cibeureum, Kecamatan Kertasari, danau ini masih terjaga dengan asri. Kabut di pagi hari yang menyeruak di antara Pegunungan di Malabar ini, membuat daerah ini semakin indah dan eksotis yang banyak dicari oleh orang-orang yang ingin melupakan penatnya kota besar. Banyak orang yang menghabiskan waktu untuk memancing ikan nila ataupun ikan mas. Kebanyakan dari mereka pada hari libur menghabiskan waktu dari malam hingga pagi menunggu joran untuk mendapatkan ikan tersebut. Tidak terlepas dengan keempat teman saya yang juga memancing sejak pagi hingga siang di Situ Cisanti, yang hanya mendapat 1 ikan mas berukuran besar, dan 1 ikan mas yang berukuran sangat kecil. Tidak mudah memang mendapatkan ikan di daerah tersebut, karena saya juga melihat, pemancing lokal yang memancing pada hari libur itu tidak banyak membawa banyak ikan dari jaring tempat menyimpan ikan mereka.





Sangat disayangkan, tak jauh dari mata air tersebut, banyak warga lokal yang mempunyai sapi untuk diternakkan, yang limbahnya dibuang ke sungai, sehingga bahkan kurang dari Situ Cisanti, air dari Situ Cisanti yang bersih sudah berubah menjadi kecokelatan. Hal ini diperparah dengan sampah yang dibuang oleh warga ke sungai yang melintas sepanjang 300 km dari hulu hingga muara. Kalau ingin melihat lebih jelas tentang Citarum, ada sebuah organisasi yang bernama Cita Citarum, yang bertujuan untuk menjaga sungai yang termasuk tercemar di dunia. Detail tentang Citarum, mampir saja ke web sebelah, yang bisa diakses disini (foto : Keterangan foto: Foto udara di Situ Cisanti. Photo by: Saleh Sudrajad and team/Doc. Cita-Citarum) .


Kelak, ingin sekali saya mengajak orang-orang terdekat saya untuk mengunjungi danau ini, supaya mereka juga sadarm bahwa alam ini adalah milik kita bersama, supaya nantinya, kita tidak hanya bisa menikmati dan merekam indahnya Situ ini, namun juga ikut menjaga alam, dan melestarikannya untuk anak cucu kita.

A short story from Natupala HMT ITB

Baca Juga














Share:

Blog Archive

Kontak ke Penulis

Name

Email *

Message *