Kami selalu berupaya, jangan sampai ada harta yang bukan hak kami, kami makan dan menjadi darah daging di kemudian hari. Saya dan istri sudah sepaham tentang hal tersebut, apa yang saya nafkahkan untuk keluarga, sedikit banyak, harus jelas asalnya dari mana, cara mendapatkannya benar serta halal.
Tahun 2015 lalu, kami mengajukan aplikasi tunjangan untuk keluarga, alhamduillah, disetujui. Vidya mendapat bantuan, karena ibu yang tidak bekerja karena mengurus anak berhak mendapatkan bantuan tersebut. Aqila pun mendapat bantuan tiap bulan, seperti semua anak pada umumnya. Karena bantuan tersebut sangat cukup untuk keluarga kami, kami keluarkan terlebih dahulu kepada yang berhak supaya barokah. Sisanya baru kami pakai untuk keperluan pendidikan dan keperluan lain. Nawaitu 'Alallah.
Setelah beberapa bulan kami pertimbangkan, tunjangan kami pergunakan untuk menyekolahkan Aqila ke taman kanak-kanak. Karena teman bermain seumuran sebaya Aqila tidak banyak, kami berharap Aqila bisa belajar dan bermain dengan kawan barunya. Alhamdulillah, hasilnya kami rasa positif. Aqila jadi lebih mandiri, makannya menjadi lebih banyak, dan banyak belajar dari pedagogin dan teman sebayanya.
Beberapa bulan berselang, ternyata banyak hal baru dan agak mengagetkan kami jumpai.
1. Asuransi Vidya dan Aqila tiba-tiba berhenti dan tidak diperpanjang sejak Februari hingga saat ini (sekarang pertengahan Juni). Saya cek ke kantor asuransi, saya diminta ke kantor Pajak. Saya minta penjelasan, aplikasi perpanjangan yang sudah saya isi sejak Februari "digantung" sampai bulan Juni. Karena saya rasa ada yang tidak benar, saya konsultasikan ke Profesor saya, dan kami menghadap bersama-sama ke kantor Pajak.
Singkat cerita, kontrak beasiswa saya yang 3 tahun belum bisa membuat mereka yakin bahwa saya berhak mendapat bantuan (kesehatan, tunjangan keluarga). Profesor saya pun juga heran, mengapa prosesnya begitu lama dan berbelit-belit. Otomatis, jika asuransi tidak diperpanjang, maka tunjangan keluarga untuk istri dan anak tidak ada lagi. Hari ini, 27 Juni saya datang lagi berkunjung ke dokter anak untuk mendaftarkan anak saya untuk pemeriksaaan 2 tahun, dan hingga sekarang, belum ada kemajuan proses dari asuransi kami.
2. Kami ketiban sampur, musim dingin yang lalu, rumah yang kami tempati cukup dingin, karena tiap malam, pemanas ruangan dimatikan oleh pemilik rumah. Praktis, kami menggunakan pemanas portable sepanjang malam. Karena sistem isolasi rumah yang tidak baik, rumah mengembun dan akhirnya muncul jamur di sisi dalam rumah, dan saya harus mengecatnya. Padahal, si empunya rumah sempat berkata, bahwa rumah bakal dicat selama kami tinggal, nyatanya, 3 hari saya luangkan di bulan Mei untuk mengecat rumah 30 m2. Astaghfirullah hal 'adzim, sabar.
3. Saya akui, saya salah paham ketika saya harus melaporkan tagihan pajak saya selama di Indonesia. Ternyata ada pemasukan 2 tahun lalu yang belum dilaporkan beberapa tahun lalu ke kantor pajak, yang saya kira sudah dilaporkan oleh tempat saya bekerja. Walhasil, saya mendapat surat untuk mengkonfirmasi hal tersebut, dan ya saya sudah mengoreksi laporan pajak tersebut dan menunggu untuk menyetorkan kekurangan pembayarannya.
4. Kali ini, ini kekhilafan saya. Kereta yang akan saya tumpangi akan jalan 3 menit lagi, namun saya belum selesai membeli tiket. Saya salah memencet tombol, seharusnya saya memilih tiket reguler untuk perjalanan kereta 7 menit, saya malah membeli tiket 3 dewasa untuk saya dan istri, dan saya memilih tiket diskon untuk keluarga. Dengan tiket diskon, harga menjadi 50%, asal membawa kartu berlangganan. Saya khilaf, kartu saya expired, hanya istri yang membawa kartu tersebut. Sebenarnya saya mempunyai kartu lain yang bisa digunakan, namun karena kartu tersebut tidak ditanyakan oleh pemeriksa tiket, saya kena "penalti". Walhasil, ketika pengecekan tiket, saya harus membayar 25x lipat dari harga yang seharusnya saya bayar dengan tiket reguler. Saya sudah meminta keringanan, namun hingga kini tidak ada jawaban.
5. Balik lagi ke urusan rumah. Per tengah Juni ini, saya diminta si empunya rumah untuk pindah dengan batas akhir Juli 2016, dengan alasan di dapur, piring basah bakal membuat jamur muncul lagi di rumah ini. Hal lain, konsumsi listrik menjadi meningkat dibanding tahun sebelumnya, dan kami diminta membayar kekurangannya. Sebenarnya ini tidak masalah, karena memang kami berencana pindah di akhir Juli ini. Jadi, kami belum sempat pamitan, sudah diminta untuk pindah.
Rezeki yang tidak diduga datang dari salah satu dosen saya, yang mengirimkan dana SHU untuk pekerjaan yang saya kerjakan, hampir 2 tahun yang lalu. Saya tidak menyangka, rezeki datang dari tempat yang tidak bisa diduga.
Dari cerita di atas, kami pun mengoreksi diri, apa ada kewajiban yang belum kami tunaikan? Itu yang selalu menjadi pertanyaan kami. Akhirnya, kami memutuskan untuk menitipkan rezeki kami ke Ibu di Wonosobo, semoga ke depannya, jalan kami menjadi lebih lapang.
Istri sempat bercerita. Selama tinggal di Jerman, kehidupan Pak Habibie dan Ibu Ainun juga tidak semudah kebanyakan orang, misalnya untuk membeli sepatu layak saja tidak mampu. Bung Hatta juga hanya menyimpan kenangan sepatu Bally yang tidak bisa terbeli hingga beliau wafat. Mereka berdua mengajarkan kesederhanaan, yang akhirnya dikenang banyak orang hingga kini.
Sekarang, kami lah yang harus belajar kepada dua orang besar tersebut. Kami harus berbesar diri dengan cobaan yang kami jalani. Ini hanya sekelumit cerita saya dan istri menjalani hidup di negeri orang. Apa yang banyak dilihat orang, hanya gunung es yang kecil. Kami belajar, Allah lah yang memberikan kami kelapangan, kesusahan, nikmat serta cobaan. Kami hanya bisa berdoa, supaya kami sekeluarga selalu sehat, dicukupkan rezeki, serta tetap berada di jalan yang lurus. Innallaha ma'as shobirin.
Leoben,
Imsak bulan Ramadan malam ke-15
La Tahzan, Yayak dan Vidya