Conversations with the Earth

Endapan mineral di Finlandia dan Swedia

Perjalanan saya ke lingkaran kutub utara

Atlas of ore minerals: my collection

Basic information of ore mineralogy from different location in Indonesia

Sketch

I always try to draw a sketch during hiking

Apa itu inklusi fluida?

Inklusi fluida adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan adanya fluida yang terperangkap selama kristal tumbuh. Gas dan solid juga bisa terperangkap di dalam mineral.

Situ Cisanti di Pengalengan, Bandung

50 km dari Bandung, Situ Cisanti terkenal karena menjadi sumber mata air sungai Citarum

Friday, September 20, 2013

Wafat, moksa, dan kesempurnaan kehidupan

Tiap anak kecil yang berangkat sekolah, selalu menantikan waktu untuk bel selesainya sekolah. Tiap orang yang berangkat bekerja, pasti menantikan waktu untuk pulang ke rumah. Sama seperti peribahasa, gunung akan kudaki, sungai akan ku seberangi, dan laut akan ku salami. Ketika pendaki naik ke atas gunung, pasti suatu saat dia harus berpisah dengan puncak yang dia tunggu. Orang yang menyeberangi sungai, tentunya mengharapkan dia bisa sampai di sisi seberang. Pun juga orang yang menyelami lautan, suatu saat dia harus kembali lagi ke daratan lagi.

Seperti itulah analogi kehidupan ini, semua hanya menumpang sejenak, karena ada awal, dan selalu ada akhir. Semua yang kita usahakan di dunia ini, tidak akan kita bawa sepeser pun ke alam kubur. Hanya nama yang tertulis di nisan lah yang akan mengingatkan orang-orang sekitar kita, bahwa kita telah tiada. Namun apa yang bisa membuat orang di sekitar kita, bahkan orang yang tidak kita kenal mengenal siapa kita? Tidak ada lain hanyalah prestasi. Prestasi seperti apa yang akan kita tinggalkan untuk orang-orang tersebut? Kenangan apa yang akan diingat oleh orang-orang tentang kita? Apa testimoni yang akan kita dengar dari orang-orang ketika kita sudah terbujur kaku kelak?

Suatu saat, Malaikat Izrail akan mencabut nyawa seseorang yang soleh sholekhah, Fulan bin Fulan. Ketika sudah sampai waktunya, Fulan bin Fulan bertanya kepada Malaikat. “Apakah seorang kekasih rela meninggalkan kekasih yang sangat dicintainya (ketika ruh meninggalkan jasad-nya)? Kemudian Sang Malaikat bertanya kepada Allah Yang Maha Tahu segalanya. Allah Yang Maha Bijaksana menjawab dengan jawaban yang sangat indah, “Apakah seorang kekasih (hamba) tidak akan senang ketika dia akan bertemu kekasihnya (Khaliq)? Hanya orang-orang yang beriman dan mempersiapkan kematian lah yang akan bahagia bertemu dengan pencipta-Nya, bukan orang-orang yang tidak mempersiapkan apapun selagi di dunia.”


Maha Suci Allah, kita dengan segala apa yang kita kerjakan sekarang, mungkin belum mempersiapkan bekal ini dengan matang. Pun termasuk juga penulis, yang mendapatkan rahmat ketika bersolat Jumat di Menteng, melihat seseorang bertubuh gemuk, menempelkan badannya pada tiang, kemudian menangis ketika mendengar khutbah yang sangat mengharukan ini. Terutama ketika dia mengingatkan sang Khotib mengingatkan pertanyaan yang ditanyakan oleh sang Khotin, “dengan siapa kah kalian akan masuk ke dalam surga Allah? Hanyakah kalian yang akan masuk ke dalam surga Allah? Dengan orang tua, keluarga, anak, istri? Atau bahkan hanya kalian saja yang akan masuk surga, tanpa orang-orang yang kalian kenal di sekitar kalian? Atau malah lebih miris lagi, kita dan keluarga tidak bisa mencium bau surga Allah. Tidak ada kata terlambat untuk memulai hal yang baik, teman-teman, terutama untuk mempersiapkan kematian.

Betapa indahnya Allah menjanjikan akan adanya kenikmatan sebanyak 99x dan siksaan hampir 99x kepada orang-orang yang sudah meninggal. Dan kita sangat bersyukur, karena kita selalu menyebutkan istilah mati atau meninggal dengan istilah yang sangat indah, yaitu wafat maupun kembali ke rahmatullah.

Di Al Qur’an, ada beberapa istilah yang menyebutkan istilah kematian, salah satunya adalah al wafat atau wafat. Wafat dapat berarti sempurna, dimana ketika dia meninggal, maka seseorang manusia telah mengalami semua hal yang ada dalam hidup, dan Allah menyempurnakan dalam kematian.

Ya Ayyatuhan Nafsul Muthmainnah. Irji'i ila rabbiki raa dhiyatam mardhiyyah. Fadkhuli fi 'ibadi. wadkhuli jannatii...

Wahai jiwa yang tenang, kembalillah kepada tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhoi-Nya. maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba Ku. dan masuklah ke dalam surga-Ku [Qs. Al-Fajr : 27-30]

Sama seperti di dunia pewayangan, yang menyebutkan istilah moksa untuk kematian yang sempurna, seperti ketika werkudara alias Bima, Puntadewa, Arjuna, Nakula dan Sadewa yang meninggal secara sempurna setelah perang Bharatayuda. Gunungan di tengah-tengah kelir dalam pewayangan, yang melambangkan dunia yang fana ini, dan bisa berganti-ganti cerita, tergantung oleh Sang Dalang, sama seperti dunia kita, yang hanya sesaat, tidak ada yang abadi, karena ada Allah yang mengatur semuanya.

Share:

Tuesday, September 10, 2013

Mineralization Study of Ringin Putih Vein, Southern Mountain Part of East Java, Indonesia

Link Download -------> Paper

Abstract

Ringin Putih district is located in the Southern Mountain Part of East Java. This area shows the epithermal system indication which is a part of the Early Cretaceous tectonic evolution of the Sunda-Banda arc. The lithologies of the Ringin Putih area are dominated by an andesitic-basaltic lava, tuff, clay, and pyroclastic rocks. The mineralization indications are characterized by the copper mineralization and the presence of ubiquitous sulphide minerals. Petrography, mineralogy, X-Ray Diffraction (XRD) analysis was conducted in order to obtain the basic data for the mineralization and alteration properties. The indication of quartz-feldspar-actinolite (?)-epidote-chlorite, often with magnetite facies, indicates that the sample represent propylitic alteration, that is caused by the iron and the sulfur-bearing hydrothermal fluids; whilst the pyrophyllite-quartz-sericite-illite is correspond with the illite-kaolinite group minerals, and represent the phyllic alteration. Pyrophyllite-rutile are tend to be formed in the acidic environments and the oxidized fluids; while the smectite-illite-chlorite-epidote-biotite were formed in the near-neutral pH and reduced fluids. The transition from the acidic-oxidized fluids into the near neutral-reduced fluid gives the preliminary indication of fluids from the great depth and fluids from the near surface water.


INTRODUCTION
The magmatic arc system in Indonesia is the result of a complex history of tectonic events including the plate subduction and the arc magmatism. The Sunda-Banda volcanic island arc is the longest arc in Indonesia, extending from Aceh to East Damar (Carlile and Mitchell, 1994). Based on Van Bemmelen (1949) physiography, the area study is located in the Southern Mountain Part of East Java, with normal fault as a dominant structure, that potentially control the circulation of magmatic fluid and mineralization.

The Southern Mountain belt of East Java and the Southern part of Cianjur as a part of the Southern part of mountain belt of Java are thought to have potentially metallic mineral deposits, as well as the products of subduction. In general, these areas are underlain by the various volcanic-sedimentary rocks that are of Tertiary to Quaternary in age and some igneous rocks that are locally attributed to the formation of hydrothermal alteration and mineralization (Widodo et. al., 2002; Widodo, 2003).

Widodo et. Al. (2002) conducted semi-detailed investigations during the cooperative exploration of DIM-JICA in Blitar, East Java and Cianjur, West Java. Widodo (2003) also invent the ore mineral in Malang District, Lumajang District: Tempursari (Lumajang District), Seweden (Blitar District) and Suren Lor (Trenggalek District).

Sulistijo (2010) carried out detail field sampling for the ore minerals in Blitar and Tulungagung District, including Gunung Gede and Ringin Putih, Blitar. The study of geological and hydrothermal alteration in Sumberboto and vicinity were conducted by Permana (2011).
Hakim and Sulistijo (2012) studied the combination of satellite imagery, geological prospecting, geochemical study and mineralogy analysis to analyze the copper prospect in Seweden, Blitar.
This study aimed to elucidate the ore-forming minerals by optical mineralogy and mineragraphy analysis, and obtain basic data for the mineralization characteristics in Ringin Putih district.

GEOLOGICAL CONDITION
Sumatra and Java is a system of Sunda Banda arc, as a results of the convergence betwen Indo-Australian arc and Eurasian arc in Cenozoic. Sunda Banda arc lies from Northern Sumatra (Aceh), Java, Nusa Tenggara, until Banda Island. (Katili, 1975; Hamilton, 1979; Carlille and Mitchel, 1994).
Regional stratigraphy in the area of research is dominated by the product of volcanic activity, intrusive rock, and limestone. Pacitan, Ponorogo, Wonogiri, and Blitar, located in the Old Volcanic Metallogenic, formed in Mandalika Formation, and sediment rock from Arjosari Formation (Samodra et.al., 1992).
Mandalika Formation is the oldest formation (Oligo-Miocene) that appears in the location of study. The most prospective host for mineralization lies on the Mandalika Formation (Oligo-Miocene). Mandalika Formation consists of andesite-lava-basalt, porphyry latite, rhyolite and dacite. Andesite lava is dominated by pyroxene, andesite, hornblende, and trachyte andesite that can be altered into propylitic, further more can be altered into kaolinite.

Campurdarat Formation formed in Early Miocene, consists of crystalline limestone and claystone intercalation (Siregar and Praptisih, 2008). Four carbonate facies have been recognized within this formation. Packstone facies comprising three subfacies i.e. nodular packstone subfacies, algal foraminifera packstone subfacies and milliolid packstone subfacies developed in back-reef, lagoon and tidal channel environments. Float stone facies were deposited in back-reef and reef-zone environments. Rudstone facies interpreted to be deposited on the reef-flat. Boundstone facies which forms the reef-core can be devided in two subfacies i.e. bafflestone subfacies and framestone subfacies. These boundstone facies were deposited in reef-crest – reef-front environments. The Campurdarat carbonate rocks are interpreted to represent a barrier-reef of Early Miocene age with the back-reef part towards the South and the reef front part towards the North (Siregar and Praptisih, 2008).

Intrusive rock (Oligocene-Miocene) that is consisted of dacite, diorite, and tonalite intruded the Mandalika Formation and the Campurdarat Formation. Dacite crystal form in fine-coarse grained, color in white-grey consists of porphyritic with bipiramidal phenocryst quartz, feldspar, hornblende, and ore mineral (Permana, 2011 in Samodra, 1992).


Other section shows in JPG version. Do not hesitate to have a any discussion, with this topic. 











Share:

Tuesday, August 13, 2013

[INVITATION] Pernikahan Vidya dan Yahya



Bismillaahirrahmaanirrahiim


Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Maha suci Allah yang telah menciptakan makhluk-Nya berpasang-pasangan. Ya Allah atas kemurahan-Mu perkenankan kami menikahkan putra-putri kami :

Vidyasari, S.Farm, Apt
Putri bungsu Bpk Sukisnarso dan Ibu Siti Yulaekha
(Wonosobo – Jawa Tengah)

Dengan

Andy Yahya Al Hakim, ST. MT.
Putra Sulung Bpk Dr. Eddy Sutadji, M.Pd. dan Ibu Anis Isrofin, M.Pd.
(Malang – Jawa Timur)

Untuk mengikuti sunnah Rasul-Mu, membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahmah, serta memperoleh keturunan yang soleh dan solehah.

Akad nikah :
Minggu, 1 September 2013
Pukul 07.00 WIB
Bertempat di rumah mempelai wanita (Jl KH Ahmad Dahlan, Gang Cemara Indah 2, Kav. 36, Wonosobo)

Dengan kerendahan hati, kami mengharap kehadiran Bapak/ Ibu/ Saudara/ Saudari pada resepsi pernikahan putra putri kami yang insyaallah diselenggarakan pada :
Minggu, 1 September 2013
Pukul 11.00 – 14.00 WIB
Bertempat di Gedung Sasana Adipura Kencana
Jalan Sindoro 2 – 4 Wonosobo

Unduh mantu :
Sabtu, 14 September 2013
Pukul 10.00 - 13.00 WIB
Bertempat di Gedung Sasana Krida Universitas Negeri Malang
Jl Veteran Malang

Merupakan suatu kehormatan dan kebahagiaan bagi kami apabila Bapak/ Ibu/ Saudara/ Saudari berkenan hadir untuk memberikan do’a restu kepada putra putri kami.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Kami yang berbahagia,

Keluarga Bpk. Sukisnarso dan Ibu Siti Yulaekha

Keluarga Bpk. Dr. Eddy Sutadji, M.Pd. dan Ibu Anis Isrofin, M.Pd.






Share:

Wednesday, July 24, 2013

Gunung Api dan Potensi Tambangnya

Lautan Pasir Bromo berlatarkan Gunung Semeru dan Gunung Batok, 2013

Alhamdulillah, saya masih dipertemukan dengan Ramadhan yang penuh maghfirah di tahun ini. Susah rasanya untuk memejamkan mata malam ini, akhirnya saya mencoba membunuh waktu dengan mencari referensi tentang gunung, kemudian merangkumnya dalam tulisan singkat ini.

Kita di Indonesia tentunya tidak lah asing dengan gunung berapi. Gunung yang ada di Indonesia, umumnya terbentuk akibat adanya tumbukan antara lempeng benua dengan lempeng samudera, yang mengakibatkan adanya bagian yang terangkat, sehingga di sepanjang Aceh hingga Sumbawa, serta Sulawesi hingga Maluku, banyak ditemukan adanya gunung berapi.

Adanya tumbukan antara kedua lempeng tersebut mengakibatkan di sepanjang zona tersebut memberikan manfaat dan musibah untuk Indonesia. Sudah jelas, manfaat yang dijumpai sangat berkaitan erat dengan kehidupan manusia, baik ditinjau dari segi agraria, perkebunan, pariwisata, maupun ditinjau dari segi geologi dan komoditi bahan tambang. Sedangkan musibahnya, sudah jelas pada zona tumbukan dan gunung berapi, banyak dijumpai adanya potensi erupsi, letusan, maupun gempa yang bisa muncul kapan saja. Kali ini, saya mencoba mengupas gunung api dari sisi manfaat terhadap dunia pertambangan dan ilmu geologi. (Gambar subduksi oleh Gertisser dan Keller, 2003)

Mengapa gunung sangat penting bagi seorang eksplorer maupun geolog, atau orang-orang yang berkecimpung di ilmu kebumian? Karena gunung api merupakan salah satu sumber ilmu pengetahuan yang tidak kunjung habis untuk ibahas. Banyak ilmuwan bermunculan, karya iilmiah dihasilkan berkat adanya gunung. Dari kacamata saya yang berkutat di eksplorasi sumberdaya bumi, banyak hal yang dapat ditinjau dari segi kegunung apian, seperti ilmu kegempaan atau seismologi, ilmu tentang kegunung apian atau volkanologi, geothermal, epithermal, sangat berkaitan erat dengan gunung api. (gambar kawah Kereta Api, Kamojang, 2012)
Banyak endapan bahan galian, baik logam maupun bahan galian industri berkaitan dengan adanya gunung api. Sebagai contoh, endapan epithermal, yang menghasilkan komoditi logam emas, perak, tembaga, selalu ditemukan tidak jauh dengan gunung api. Di sepanjang jalur pegunungan di Indonesia, banyak sekali aktifitas penambangan endapan emas epitermal maupun endapan tipe porfiri, muncul akibat adanya proses diferensiasi magma dan segregasi magma, sehingga logam-logam berat dapat terakumulasi secara ekonomis, yang kemudian terkumpul menjadi endapan yang berprospek untuk ditambang. Magma, yang mengandung adanya fluida magmatik, naik ke permukaan dalam bentuk ligan ataupun ion-ion, yang akan bereaksi dengan fluida-fluida lain, serta melalui proses kesetimbangan dalam diagram fasa, akan membentuk logam-logam yang bervariasi berdasarkan temperatur pembentukannya. Darimana asalnya fluida tersebut? Salah satunya berasal dari magma, yang manivestasinya dapat dilihat di banyak gunung berapi di Indonesia. Sebut saja endapan epithermal yang ada Miwah di Aceh, Cikotok dan Cibaliung di Banten, Pongkor dan Ciawitali di Jawa Barat, Tumpang Pitu di Jawa Timur, endapan porfiri di Wonogiri, Jawa Tengah, Newmont Batu Hijau di Nusa Tenggara Barat, merupakan prospek endapan logam berharga yang muncul dan berdekatan dengan aktivitas volkanik dan di dekat zona subduksi. (gambar urat kuarsa dan pirit di tambang emas ANTAM Papandayan, 2011)

Komoditi lain yang dapat dijumpai di sekitar gunung berapi adalah panas bumi, atau yang sering disebut dengan geothermal. Geothermal, terbentuk akibat adanya sumber panas yang bersifat terus menerus(source) yang terperangkap pada batuan yang bersifat impermeable (trap). Panas yang tinggi ini mempunyai temperatur yang tinggi, dan harus mempunyai tekanan yang tinggi supaya dapat dimanfaatkan untuk memutar turbin. (kawah Sikidang, Dieng, 2012)

Karakteristik dari panas bumi adalah renewable resources (sumberdaya terbarukan) dan bersifat clean energy, dimana Indonesia saat ini menduduki 5 besar negara yang mempunyai sumberdaya panas bumi terbesar di dunia. Adanya manivestasi seperti solfatar, fumarol, silika sinter, mud pool, merupakan fenomena alam yang umumnya muncul di sekitar lokasi panas bumi, sering juga dimanfaatkan oleh sektor lain seperti pariwisata. (gambar Pak Umoh, Kawah Kereta Api, Kamojang, 2012)

Hal lain yang bisa dijumpai dari adanya gunung api, adalah produk erupsi gunung api, yaitu pasir besi. Pasir besi yang terbentuk akibat adanya letusan gunung api, umumnya mempunyai kualitas yang baik, dan mempunyai nilai ekonomis, karena mempunyai kandungan silika yang tinggi, serta habit yang meruncing. Pasir besi, umumnya terbawa ke laut melalui media sungai. (gambar batu besi, Rancabuaya, 2012)


Pasir ini tertransport dari gunung melalui sungai, dan mengendap di sepanjang lekuk sungai (meander), yang terbawa hingga muara. Hal ini yang menjelaskan asal muasal pasir yang berwarna kehitaman di sepanjang pesisir laut. Pasir besi kemudian diendapkan dengan arah yang relatif sejajar dengan garis pantai, akibat adanya pengaruh dari ombak dan pasang surut air laut. (gambar tambang pasir Gunung Galunggung, 2009)

Ulasan ini sekelumit komoditi yang berhubungan erat dengan gunung api. Masih banyak endapan lain yang dapat terbentuk, seperti obsidian yang terbentuk akibat adanya pembekuan magma yang sangat cepat sehingga membentuk amorf yang berwarna hitam dengan tekstur glass; perlit batuan piroklastik, salah satu tipe dari volkanik-glass, yang dapat mengembang dan menjadi sangat berpori ketika dipanaskan, terbentuk akibat adanya lava yang membeku dari letusan gunung berapi dan membeku dengan cepat dengan kadar silika yang tinggi, dan lain-lain. (gambar obsidian di Drajat, Garut, 2012)

Betapa banyak hubungan antara gunung dengan pertambangan, dan tentu tidak akan pernah habis untuk dibahas. Dan dalam ayat suci Al Qur'an, gunung juga disebut dalam beberapa ayatnya dengan arti sebagai berikut.

"Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan? dan gunung-gunung sebagai pasak? "(Q.S. An Naba, 6-7)

“Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak) goncang bersama mereka, dan telah Kami jadikan (pula) di bumi itu jalan-jalan yang luas, agar mereka mendapat petunjuk.” (Q.S. Al Anbiya:31)

"Dan Dia menancapkan gunung gunung di bumi supaya bumi ini tidak berguncang bersama kamu" (Q.S. An Nahl, 15) 

Wallahu'allam bisshowab, masih banyak ilmu yang kita tidak ketahui, karena keterbatasan kita sebagai manusia. Sehingga, jangan pernah berhenti untuk terus mencari tahu Kebesaran Allah SWT, supaya kita semakin tunduk dan mengakui, bahwa ciptaan Allah sungguh tiada bandingannya. 

Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa) ?. Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran. (Q.S. An Nahl, 17) 
Saya berlatarkan Gunung Arjuno-Welirang, difoto dari Gunung Panderman, 2007
Share:

Sunday, July 14, 2013

Apa arti sebuah cita-cita?

Cita-cita bagi banyak orang merupakan hal yang menjadi angan-angan, yang sering kali digantung tinggi-tinggi di atas awan, atau digantung langit. Namun, saking tingginya cita-cita itu digantung, sehingga kadang orang mengambil jalan pintas untuk mencapainya, atau bahkan menyerah sebelum cita-citanya tercapai.

Bagi saya, cita-cita bukan hal pencapaian, namun sebuah proses. Apalah arti pencapaian itu kalau kita tidak menikmati proses-nya, yang sering kali berliku, naik turun, bahkan sering membuat orang jatuh bangun. Kenikmatan dari proses itu yang membuat "cerita" dari perjalanan itu menjadi indah untuk dikenang, kemudian untuk diceritakan dan dibagi dengan siapa pun di masa mendatang. 

Seperti saya yang saat ini menggemari nikmatnya bersusah payah mengayuh pedal, pelan-pelan, untuk mencapai tempat yang saya tuju. Pedal akan terkayuh sangat pelan ketika menanjak, dan bisa berputar sangat kencang ketika menemui turunan.
Atau seperti para pendaki gunung, yang ingin mencapai puncak gunung di akhir petualangannya. Hemm,,, walaupun sepertinya kurang pas, karena sering saya jumpai beberapa orang pendaki memilih bukan puncak yang menjadi tujuan utama, namun sampai batas apa dia mampu mendaki. Tidak salah, itu juga betul kok.
Cita-cita kadang bisa menjadi absurd, kalau kita tidak menciptakan titik akhir dari pencapaian kita, namun apa salahnya kita selalu menyiapkan rencana cadangan di balik rencana utama kita, untuk mencegah kekecewaan yang sangat berlebihan ketika kita gagal mencapai cita-cita tersebut, karena kadang kita sangat fokus terhadap hasil, bukan proses.Apalah artinya kalau kita tidak menikmati perjalanan yang sudah kita rancang dari jauh hari?


Dalam proses kuliah, nilai kadang kali menjadi tolok ukur keberhasilan dalam proses kuliah. Atau kelulusan dari siswa SD, SMP maupun SMA, yang ditentukan dalam proses UAN. Proses itu bukan lah yang paling sempurna dan akan selalu terjadi perdebatan mengenai hal tersebut, selama orang memandang dari perspektif yang berbeda. Sama ketika orang yang buta dan bercerita tentang binatang gajah, ada yang bilang gajah itu kurus karena dia memegang buntut,ada yang bilang gakah itu panjang karena dia memegang belalai, atau tipis karena dia memegang telinga. Selama kita tidak berada di satu titik yang sama, pendapat itu akan selalu berbeda-beda.

Biarkan perbedaan itu tetap ada supaya ada diskusi. Biarkan si anak memilih cita-cita nya, dan orang tua harusnya membantu mengarahkan, bukan malah memaksakan.

Hal ini yang membuat saya mencoba untuk lebih menikmati pencapaian untuk menggapai "cita-cita" itu, bukan dengan mengambil jalan pintas supaya cita-cita itu langsung terwujud. Tidak ada bangunan tinggi yang dibangun dalam sekejap seperti kisah Sangkuriang, Candi, maupun kisah-kisah rakyat dari berbagai daerah. Bangunan tinggi selalu dibangun dengan pondasi yang kuat, supaya kuat di kemudian hari. Mengutip dari pepatah asing, 

- Even tall building, build from the ground - 

Saya sendiri pun belum selesai mencapai cita-cita saya, karena saya masih harus melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi lagi, kemudian terus melanjutkan perjuangan, yang belum akan terhentikan langkahnya.

Share:

Wednesday, July 10, 2013

Analisis Mineral Butir, Derajat Liberasi, Tekstur Mineral dan Kadar Mineral

Bagi orang-orang yang banyak berkutat pada mineral, tentu tak asing mendengar istilah analisis mineral butir, atau yang disebut sebagai grain counting. Ketika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia pun, maknanya tidak jauh dari maksud sebenarnya. Grain adalah butiran, counting adalah menghitung butiran mineral. Jika diartikan, maka grain counting adalah salah satu metode yang digunakan untuk mengetahui kadar dari suatu sampel (konsentrat mineral berat, sayatan poles, maupun sayatan tipis), dengan membandingkan antara persen volume suatu mineral tertentu terhadap mineral secara keseluruhan. 

Umumnya analisa ini dilakukan untuk mendeteksi mineral-mineral logam, yang mempunyai densitas yang lebih besar dibanding mineral pengotor. Cara untuk mendapatkan mineral berat dapat dilakukan dengan pengkonsentrasian mineral berat seperti dengan jig, flotasi, maupun yang paling sederhana, dengan pendulangan. Sebagai contoh, kuarsa mempunyai nilai SG 2,59-2,63, akan sangat mudah dipisahkan dengan magnetit yang mempunyai SG 5,17-5,19, dengan pirit yang mempunyai SG 4,95-5,10, atau pun dengan emas yang mempunyai SG 19.

Kembali kepada grain counting, apa yang akan digunakan sebagai perhitungan? Pertama-tama, kita harus mengenal konsep mineral dengan butir bebas dan mineral dengan butir terikat. Mineral dengan butir bebas artinya mineral yang akan kita amati, telah terliberasi/ terbebaskan dan tidak berikatan dengan mineral lain. Adanya proses kominusi (penghancuran) dan liberasi bertujuan untuk memisahkan mineral berharga dengan mineral pengotornya pada ukuran yang optimal (mineral liberation). Rumus dari derajat liberasi adalah:
Keterangan :
α = derajat liberasi
NA = jumlah butir mineral A
SG = Specific Gravity
Sebagai contoh gambar liberasi pada mineral sulfida. Pada kasus 1, mineral sulfida akan mudah dibebaskan, dibandingkan pada kondisi 2, dimana mineral sulfida berada pada kondisi disseminated atau menyebar. Begitu pula ketika mineral sulfida muncul sebagai inklusi, maka perlu dilakukan adanya pemisahan hingga didapatkan butir sulfida yang dapat dibebaskan dari mineral pengotornya.(http://technology.infomine.com/enviromine/ard/Images%20Prediction/Sulphide%20Liberation.gif). 
Analisis grain counting dilakukan dengan cara menghitung jumlah butir tiap jenis mineral yang ditebarkan pada area-area berbentuk bujur sangkar memiliki luas area yang sama (lima atau tiga kotak) dan tersusun secara diagonal. Metode yang umum digunakan adalah metode 5 kotak untuk butiran yang relatif kasar dan metode 3 kotak untuk butiran yang relatif halus.
Metode 3 kotak (2.5 cm x 2.5cm) dan 5 kotak (1cm x 1cm)

Sebelum dilakukan perhitungan, perlu dilakukan sizing ukuran dari mineral, dimana ukuran mineral harus relatif seragam satu sama lain. Butiran yang akan di counting harus memiliki ukuran yang relatif seragam atau berasal dari satu fraksi ukuran tertentu, dengan asumsi bahwa butiran yang berasal dari fraksi ukuran yang sama akan memiliki volume yang sama, sehingga jika diketahui jumlah butiran masing-masing mineral dari analisis grain counting, kemudian berat jenisnya diketahui, maka hasil perkaliannya analog dengan berat masing-masing mineral, dengan demikian kadar masing-masing mineral dalam sampel dapat dihitung dalam % berat.
Berikut beberapa contoh mineral yang pernah saya analisa untuk keperluan analisis mineral butir pada konsentrat mineral dulang.

Mineral magnetit berwarna kehitaman dan mineral silika yang berwarna putih kusam  (sampel dari Blitar, Jawa Timur)
Mineral magnetit berwarna kehitaman dan mineral silika yang berwarna putih kusam, tampak mineral emas berwarna emas (sampel aluvial dari Sulawesi Tenggara, Jawa Timur)
Mineral emas yang teridentifikasi dari sampel konsentrat aluvial  (lokasi sampel Bangka Belitung)
Mineral zirkon, Ilmenit sebagai mineral utama, serta mineral titanit berwarna orange-kemerahan sebagai mineral jejak (lokasi sampel Bangka Belitung)
Emas aluvial bersama-sama ilmenit dan kuarsa (lokasi sampel Sulawesi Tenggara)

Amstutz, 1961 membagi klasifikasi geometri untuk tekstur mineral dan karakteristik liberasinya (dikutip dari http://www.cps-amu.org/sf/notes/lect12.htm)
a. Texture/Interlocking: Equigranular, straight, rectilinear, cuspate margins. Simple locking (Fig 1).
Liberation Properties: Fairly easy liberation. Common occurrence especially in orthomagmatic and highly metamorphosed and recrystallized ores. Also in ores showing successive depositional sequence.

b.Texture/Interlocking: Mutually curving boundaries with negligible interpenetration. Simple locking (Fig 2).
Liberation Properties: Fairly easy liberation. Common occurrence in simultaneously crystallized ores where interfacial free energies are similar.

c. Texture/Interlocking: Mottled, spotty, careous, with partial penetration. Relatively simple locking (Fig 3).
Liberation Properties: Fairly easy liberation. Common occurrence in ores where interreplacement processes have been active.

d. Texture/Interlocking: Graphic, myrmekitic, visceral locking. Deep micropenetration (Fig 4). 
Liberation Properties: Complete liberation difficult or impossible. Not common as a major texture in ores. Produced by exsolution and replacement. Eg. Galena/sphalerite and chalcocite/bornite.

e.Texture/Interlocking: Disseminated, drop like, emulsion, eutectoidal locking. Finely dispersed phases (Fig 5)
Liberation Properties: Complete liberation difficult or impossible; chemical treatment often required. Common occurrence by exsolution (left) Au/arsenopyrite, chalcopyrite/sphalerite; by replacement (right) pyrite/sphalerite.

f. Texture/Interlocking: Intergranular rim; coating mantled, enveloped, atoll-like locking (Fig 6).
Liberation Properties: Liberation may be difficult if free grain is continuously enveloped by layer. Not uncommon, often formed by replacement reaction. Eg. Hematite film on gold; chalcocite or covellite on pyrite, galena or sphalerite.

g. Texture/Interlocking: Concentric, spherulitic, scalloped, colloform-layered locking (Fig 7).
Liberation Properties: Liberation fairly difficult or difficult; common occurrence in Fe, Mn, and Al ores. Also U (pitchblende) intergrained with sulfide. Usually associated with colloidal precipitation.

h. Texture/Interlocking: Planar, lamellar, sandwich-type locking. Lamellae may vary in size (Fig 8).
Liberation Properties: Liberation fairly easy to variable. Produced by exsolution (Eg. Cubanite/chalcopyrite, ilmenite/magnetite). Also by replacement (Eg. Magnetite and hematite).

i. Texture/Interlocking: Reticulate (net-like) boxwork. Finely interpenetrating locking (Fig 9).
Liberation Properties: Liberation variable to difficult. Common occurrence by replacement (Eg.bornite/chalcopyrite, anglesite/covellite/galena). Also by exsolution (Eg. hematite/ilmenite/ magnetite).

Follow me: @andyyahya
Share:

Friday, July 5, 2013

‘Gunung Gamping’, Contoh Buruk Eksploitasi Karst (Budi Brahmantyo)

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Artikel box pada “Geologi Linewatan” Geomagz Vol. 3 No. 2 Maret 2013

Setelah perjalanan panjang langlangbumi (geotravel) dari Bandung, Tasikmalaya, Ciamis dan menembus perbatasan Jawa Barat – Jawa Tengah ke Majenang dan Wangon, beristirahat di hotel kecil di Purwokerto merupakan anugrah tak ternilai. Energi baru terisi kembali untuk melewati hari kedua langlangbumi yang rencananya akan menyusuri jalur lintas selatan Jawa Tengah hingga Yogyakarta.

Di hari kedua, setelah berhenti di beberapa objek seperti di Jembatan Serayu, Rawalo, singkapan lava yang terrendam Kali Tambak, Gombong, Karanggayam, Sokka dan Kali Lukulo, menjelang sore iring-iringan mobil memasuki batas kota Yogyakarta. Teringatlah satu “tugu” pengingat tamaknya industri kapur. Menjelang pudarnya cahaya Matahari, akhirnya mampirlah kami ke suatu tempat yang tidak jauh dari jalur utama, tetapi seolah-olah terpencil dari perhatian, Tugu Gunung Gamping.



Gunung Gamping menjadi inspirasi bagi saya dalam perjuangan menyelamatkan karst Citatah, Bandung Barat di awal hingga pertengahan dekade 2000. Pencarian bermula dari penemuan dokumen tua tak sengaja saat membereskan satu lemari buku di Laboratorium Geologi Rekayasa di Prodi Teknik Geologi ITB. Tersembullah satu cetakan berukuran A5 berjudul “Gunung Gamping, Sebelah Barat Jogjakarta.” Cetakan yang telah menguning itu diterbitkan oleh Pusat Djawatan Geologi Bandung dan dikeluarkan “Pada Peringatan 200 Tahun Kota Jogjakarta,” tertanggal Bandung, 7 September 1956. Masih dengan ejaan lama. Tidak tercantum nama penulis selain Kepala Pusat Djawatan Geologi.

Isinya merupakan keprihatinan Pusat Djawatan Geologi akan satu warisan geologi di Gunung Gamping. Di dokumen tersebut disebutkan perihal catatan Junghuhn yang disertai sketsa indah, dimuat di Java Album 1849, suatu perbukitan karst luas dengan bukit-bukit gampingnya mencapai ketinggian 150 kaki, atau lebih dari 50 m, dari permukaan tanah. Menurut Junghuhn pula, pada 1883 dikeluarkan suatu aturan yang disebut “pranatan” yang membolehkan penggalian batugamping. Maka kota Yogyakarta pun terbangun dengan sumbangan kapur dari Gunung Gamping yang hanya berjarak 4 km dari pusat kota itu. Selain itu, diperkirakan kebutuhan tepung gamping untuk pemurnian gula ikut menyumbang musnahnya Gunung Gamping.


Situasi “angker” beberapa tahun sebelumnya yang dikaitkan pada satu gua yang dipercayai sebagai pesanggrahan Sri Sultan Hamengkubuwono I di Ambarketawang, Gunung Tlogo, tidak menjadikan penggalian kapur berhenti. Akhirnya penggalian yang terus menerus itu hanya menyisakan bongkah setinggi 10 m di tahun 1950-an. Dalam dokumen itu, dua foto hitam-putih yang diambil oleh geologiwan dari Swis, Dr. Werner Rothpletz pada tahun 1956, memperlihatkan bongkah batugamping yang tersisa tampak tersendiri di antara dataran pesawahan.

Kini yang yang tampak hanyalah bongkah berukuran kira-kira 2 x 10 m dan tinggi 10 m. Persis seperti foto Rothpletz 1956. Bedanya, pagar tinggi mengelilinginya dengan sebuah plank bertuliskan: Cagar Alam Gunung Gamping 0,015 Ha dikeluarkan 16 Desember 1989 melalui SK Menhut No. 758.Kpts.II-1989. Rupanya “desakan” Pusat Djawatan Geologi pada tahun 1956 untuk melindungi sisa-sisa terakhir Gunung Gamping yang berumur Eosen dan tergolong langka tersebut, baru terwujud 33 tahun kemudian!




Foto Rothpletz 1956 dan insert kondisi tahun 2013 sbg bangkah yg dilindungi


Tentu keputusan perlindungan itu baik walaupun sangat sangat terlambat! Gunung Gamping menjadi contoh buruk bagaimana kita selalu terlambat melindungi warisan atau pusaka geologi. Tindakan muncul setelah penyesalan ketika semuanya musnah dan hanya meninggalkan puing-puing saja. Sebagai penghiburan yang kecut, puing-puing ini hanya menjadi tugu pengingat bahwa dulu ada perbukitan karst luas yang bernama Gunung Gamping.

(Budi Brahmantyo, Teknik Geologi ITB)., dikutip dari 

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Menurut pendapat saya, tidak semua penambangan itu berdampak negatif bagi lingkungan, namun tidak dipungkiri, tidak semua penambangan telah dikelola dengan baik. Kawasan karst, yang banyak banyak diperdebatkan oleh banyak ahli mengenai status kegiatan nya, memang harus dikelola dengan sangat berhati-hati. Penambangan yang kelewat batas, sebenarnya bisa dipandang dari beberapa aspek, karena akan menyangkut prinsip ekonomi "supply, demand, dan regulasi".

Adanya pembangunan yang bersifat intensif di seluruh aspek kehidupan, baik sebagai sarana konstruksi, perumahan, jalan raya, membuat permintaan akan semen meningkat. Hal ini berimplikasi pada target produksi yang meningkat, sehingga eksploitasi dapat menjadi berlebihan. Namun, eksploitasi ini haruslah berwawasan lingkungan, dimana tidak semua kawasan batugamping dapat ditambang. Kawasan karst, yang memiliki karaktersitik banyak memiliki rongga dengan bentuk terumbunya yang indah, perlu untuk dilindungi keberadaaannya.

Tambang gamping batukumbung, Tuban



Share:

Tuesday, July 2, 2013

Kalsit, marmer, kuarsa,batu mulia, bagaimana membedakannya?



Saya mendapat kesempatan berkeliling di Padalarang untuk meninjau lokasi pengabdian nmasyarakat dari dosen Teknik Pertambangan ITB kepada masyarakat di sekitar tambang, yang difasilitasi oleh LPPM. Memang ini bukan pertama kalinya saya berkesempatan untuk "berjalan-jalan" di Padalarang, karena sebelumnya, saya sudah beberapa kali mengantar adik kelas saya untuk mempelajari struktur dan morfologi pada kuliah Pemetaan Eksplorasi.


Apa oleh-oleh kali ini? Biasanya, sering kali jika kita berjalan-jalan di Padalarang, kita akan melihat kenampakan Goa Pawon, Gunung Masigit, Pasir Bancana dari jalan raya. Atau kita bisa melihat variasi batugamping, baik batugamping yang klastis maupun batugamping yang menyerupai terumbu. Kali ini saya mendapati mineral kalsit (rumus kimia: CaCO3), merupakan kelompok batuan karbonatan, yang mempunyai kekerasan Mohs skala 3. Apa sih yang menarik dari batu ini, perasaan sering kita jumpai di dekat laut. Masih ingat dengan terumbu karang yang ada di pinggir laut? Nah, kalau masih ingat, sekarang bayangkan, kenapa ya bisa ada komplek batu gamping di Padalarang, padahal kan jarak dengan laut sangat jauh? hmmmm,,, kalau kita flash back, ternyata Padalarang dulu merupakan sebuah basin atau cekungan, dimana dulu sempat mengalami penurunan permukaan, terendam laut, baru kemudian terangkat seperti sekarang. Hal ini yang mendasari mengapa kita bisa menjumpai fosil kerang di Padalarang.
Kenapa saya ulas mineral yang umum dijumpai ini? Saya masih terkesan dengan belahan-nya yang terlihat jelas pada ketiga arahnya, dengan sistem kristal trigonal, kilap kaca, dengan menunjukkan adanya birefringence atau rangkap ganda. Kalsit mempunyai belahan konkoidal atau jelas, dengan warna gores putih. Kalsit mempunyai polimorfisme dengan mineral aragonit, dimana umumnya aragonit dibedakan karena mempunyai bentuk yang menyerupai terumbu.


Bagaimana membedakan kalsit dengan mineral lain? Seringkali kita susah membedakan antara kalsit dengan kuarsa, karena keduanya kadang-kadang sedikit membingungkan satu sama lain. Hal paling mudah yang harus kita lakukan, adalah dengan mencari asam klorida (HCl), dan meneteskannya ke atas mineral yang akan kita cek. Jika mineral tersebut bereaksi dengan mengeluarkan buih, maka mineral yang kita identifikasi tersebut adalah kalsit, karena terjadi reaksi antara kalsium karbonat dengan asam klorida. Namun, jika tidak bereaksi dengan HCl, maka mineral yang kita identifikasi adalah kuarsa. Reaksi antara kalsit dengan HCl adalah sebagai berikut:

CaCO3(s) + 2 HCl(aq) --> CaCl2(aq) + CO2(g) + H2O(l)

Sering kali, kita tidak membawa HCl ke lapangan, sehingga kita tidak dapat menentukan apakah mineral tersebut kalsit atau kuarsa. Maka, kita dapat memanfaatkan sifat fisik lain yang berbeda kontras, yaitu dengan menggunakan skala kekerasan Mohs. Kalsit mempunyai kekerasan 3, sedangkan kuarsa mempunyai kekerasan 7. Sehingga kita perlu mencari mineral atau bahan lain yang mempunyai kekerasan antara 3-7, kemudian menggoreskannya. Sebagai contoh, kita dapat menggunnakan belahan kaca yang mempunyai kekerasan relatif 4-5, atau pun paku besi yang mempunyai kekerasan 5-6. Jika mineral tersebut dapat menggores mineral yang kita cari, maka confirm , mineral tersebut adalah kalsit.

Di tengah maraknya batu mulia ini, sifat kekerasan di atas dapat digunakan untuk mengetahui batu mulia yang akan kita cek itu asli atau tidak. Pada beberapa kasus, karena kadang kita menjumpai batu yang sangat menarik ketika sudah dipoles, namun ternyata, batu yang kita jumpai bukan merupakan batu yang asli. Sebagai contoh, lihat gambar batu di bawah ini. Melihat perlapisannya, sangat menarik bukan? Tertarik untuk menjadikan sebagai batu mulia? Hmm, batu yang anda lihat itu adalah marmer, yang mineral asalnya adalah kalsit, bukan kuarsa atau pun mineral lain yang bisa dijadikan sebagai batu mulia pada kebanyakan. Jadi, tidak semua batu bisa dijadikan batu akik.



Marmer dari Nusa Tenggara Timur (http://www.kidnesia.com/var/gramedia/storage/images/kidnesia2014/indonesiaku/teropong-daerah/nusa-tenggara-timur/hasil-tambang/marmer/541423-1-ind-ID/Marmer.jpg)






Yup, sekian dulu oleh2 cerita tentang kalsit, marmer dan cara mengenalinya, nanti kita sambung lagi di tulisan yang lain. Salam hangat untuk kemajuan pendidikan di Indonesia.







Gamping terumbu (sebelah kanan gambar) dan gamping klastis/ masif (sebelah kiri gambar)


Bukit-bukit gamping terumbu di Cipatat, Padalarang


Gunung Masigit dan Pasir Bancana tampak dari kejauhan

Berikut foto-foto lain yang saya ambil, bukan dari Cirawa, Padalarang, namun dari sekitar Cipatat, Padalarang, ketika saya menemani adik-adik tambang eksplorasi ITB melakukan ekskursi kuliah Pemetaan Eksplorasi.























Pisau komando, Citatah


Bacaan lain yang bermanfaat tentang bukit kapur sepanjang Padalarang:


1.http://geologi.iagi.or.id/2010/06/17/kawasan-karst-citatah-bandung-memasuki-babak-baru/


2.http://cekunganbandung.blogspot.com/2010/10/karst-citatah-great-barrier-reef-di.html


3.http://blog.fitb.itb.ac.id/BBrahmantyo/?p=54





follow me: @andyyahya


GeoEducative Blogspot



















Share:

Blog Archive

Kontak ke Penulis

Name

Email *

Message *